Warisan Tanah Keluarga

Tourtaleslights
Chapter #1

Ladang, Mimpi, Hujan, dan Singkong

Marta berdiri di tengah ladang yang luas, tubuhnya membeku dalam diam seperti patung yang lupa bernapas. Tanah di bawah kakinya kering dan retak-retak, seolah-olah dunia telah menyerah, membiarkan guratan tak beraturan itu menganga seperti luka yang tak pernah sembuh. Di sinilah ia, di tengah ladang singkong yang dahulu pernah hijau, kini berubah menjadi gurun kecil di kaki bukit. Setiap jengkal tanah di depannya seperti mencerminkan nasib keluarganya rapuh, tergantung pada ketidakpastian yang semakin hari semakin terasa menyesakkan.

Angin tipis berembus, membawa aroma debu dan kenangan. Seperti sebuah simfoni yang dulu pernah ia dengar dengan hati terbuka, setiap getar daunan yang jatuh, dulu, pernah membisikkan janji janji tentang kehidupan, tentang kesejahteraan yang pernah ia impikan. Namun, simfoni itu kini bisu, tergantikan oleh sunyi yang menghimpit. Marta menghela napas panjang, matanya menatap jauh, berusaha mengais harapan dari horizon yang perlahan memudar.

“Apakah ladang ini masih bisa memberi hidup?” pertanyaan itu menggantung di udara, tak dijawab oleh siapapun kecuali gumaman angin yang samar.

Dia meraih segenggam tanah di tangannya, merasakan kekasaran yang membelai telapak tangannya dengan dingin. Tidak ada kelembutan, tidak ada janji. Hanya butiran yang mudah terlepas, seperti harapan-harapan keluarganya yang dulu begitu nyata, kini terbang terbawa angin. Seolah keluarga Marta, sama seperti ladang ini, berada di ujung tanduk. Ladang kering ini lebih dari sekadar lahan mati ini adalah cerminan nasib mereka, nasib yang sudah sekian lama bertarung melawan kekeringan, tidak hanya dari hujan yang enggan datang, tapi dari harapan yang perlahan kering.

“Dulu, ini adalah surga kecil di kaki bukit,” gumam Marta, suaranya serak menembus kebisuan. “Sekarang... apa yang tersisa? Serpihan kenangan yang mengering seperti tanah ini.”

Kenangan itu kembali, menderu di dalam kepalanya seperti badai yang tak bisa dihentikan. Hujan terakhir datang hanya sesaat, seperti tamu yang tidak diundang, mampir sekilas, lalu pergi meninggalkan jejak yang lebih hampa dari sebelumnya. Ladang itu tak pernah sama lagi setelahnya, dan dalam diam, Marta merasa hatinya ikut retak bersama tanah yang tak lagi subur. Setiap inci ladang yang ia lihat adalah cermin kehidupan keluarganya, terancam hilang, musnah bersama mimpi-mimpi yang tak lagi memiliki akar.

“Mungkin... sudah waktunya kita menyerah,” pikirnya sejenak. Namun, dalam hatinya, ada suara lain yang berbisik pelan, menolak menerima kekalahan begitu saja. Harapan itu kecil, nyaris tak terlihat, namun masih ada. Seperti embun pagi yang tipis, yang datang tanpa disadari, namun tetap ada, menunggu saatnya menyentuh kehidupan sekali lagi.

Langit di atasnya kelabu, tapi bukan kelabu hujan. Lebih seperti selimut abu-abu yang menolak memberi jawaban. Ia tahu betul, seperti yang dirasakan keluarganya, bahwa setiap harapan tertinggal di dalam ladang ini. Jika tanah ini mati, begitu pula nasib mereka. Mereka sudah terlalu lama menggantungkan hidup pada setiap umbi yang ditarik dari tanah, pada setiap daun yang tumbuh dari batang, pada setiap tetes keringat yang jatuh ke bumi. Tapi sekarang, tak ada yang tersisa.

Matanya perlahan bergerak ke arah barat, ke kaki bukit di mana ia pernah bermain sebagai anak kecil, tempat ia berlari-lari mengejar bayangan ayahnya yang dulu adalah pahlawan dalam matanya. Dulu, ayahnya sering berkata bahwa ladang ini adalah kehidupan mereka, bahwa selama tanah ini masih ada, keluarga mereka akan terus bertahan. Namun kini, kenyataan seolah menertawakan harapan itu. Apa yang tersisa dari janji-janji itu selain tanah kering yang pecah-pecah?

“Kebenaran, kawan, seperti sebutir pasir,” kata ayahnya suatu hari saat mereka duduk bersama di bawah pohon besar di tepi ladang. “Sendirian, tak berarti apa-apa. Tapi jika kau tahu cara membentuknya, ia bisa jadi mutiara.”

Kata-kata itu sering bergema di kepala Marta, terutama di saat-saat seperti ini, saat semuanya tampak hampa dan tak memiliki makna. Apakah ia benar-benar mampu, seperti ayahnya, melihat sesuatu yang lebih dari sekadar tanah mati ini? Apakah ia bisa menemukan mutiara di antara pecahan-pecahan harapan yang semakin tipis? Ataukah semua yang tersisa hanyalah pasir, yang perlahan-lahan tersapu angin, meninggalkan kekosongan yang tak bisa lagi diisi?

 Marta menatap tanah di tangannya untuk terakhir kalinya sebelum perlahan membiarkannya jatuh kembali ke bumi. Angin mengangkat butiran-butiran tanah itu, menerbangkannya jauh ke udara, seolah menegaskan betapa rapuhnya segalanya. Namun di tengah kehampaan itu, ada sesuatu yang tertinggal di hatinya sebuah tekad, meski kecil, yang tak mau padam begitu saja.

“Tidak, aku belum selesai,” bisiknya pada dirinya sendiri.

Langkahnya perlahan meninggalkan ladang, tapi dalam hati, Marta tahu ia akan kembali. Karena di tengah keringnya ladang ini, di balik retakan-retakan itu, masih ada harapan, sehalus apapun. Ia hanya perlu menemukan cara untuk membuatnya hidup kembali. Mungkin tidak sekarang, mungkin tidak besok, tapi ia tak bisa membiarkan segalanya berakhir di sini. Ladang ini adalah simbol keluarganya, dan selama masih ada tanah, selama itu pula ia akan mencoba.

Hujan belum datang, tapi ia tahu, suatu saat nanti, langit akan kembali meneteskan airnya, membasahi tanah yang sekarang mati. Dan ketika saat itu tiba, ia harus siap. Tidak ada waktu untuk menyerah.

Meski ladang kering di depannya tampak mematikan harapan, Marta masih teringat bagaimana dahulu tempat ini begitu hidup. Di setiap inci tanah yang kini gersang, ada kenangan manis yang dulu menumbuhkan cinta dan kebersamaan di keluarganya. Kenangan-kenangan itu datang bagaikan angin, menyelinap di sela-sela pikirannya, membawa ia kembali ke masa-masa ketika ladang singkong ini hijau dan subur, di mana setiap hari adalah cerita baru.

Desa kecil itu, yang terletak di kaki bukit dengan ladang-ladang hijau menghampar sejauh mata memandang, adalah tempat di mana setiap jengkal tanah menyimpan cerita. Angin yang bertiup lembut membawa harum daun-daun yang segar, bercampur dengan aroma tanah basah setelah hujan semalam. Suara kicauan burung beradu dengan gemericik air sungai kecil yang mengalir di pinggir desa, sementara langkah-langkah warga yang melintasi jalan setapak menyanyikan irama kehidupan yang damai. Desa ini adalah dunia kecil Marta, tempat ia lahir, dibesarkan, dan di mana kenangan masa kecilnya tertambat kuat.

Ladang singkong yang kini kering, dulu adalah surga kecil bagi Marta dan Abah Semar, kakeknya. Ia teringat betapa setiap pagi, Abah akan membangunkannya sebelum matahari terbit, mengajaknya berjalan ke ladang dengan langkah-langkah mantap yang penuh keyakinan. “Ayo, kita harus sampai sebelum matahari terbit, Marta. Tanah harus disentuh sebelum ia terjaga,” kata Abah Semar, seolah tanah itu adalah makhluk hidup yang perlu perhatian penuh kasih setiap saat. Marta masih bisa merasakan tangan kasar kakeknya menggenggam tangannya, membawanya menyusuri jalan setapak yang kini hanya dipenuhi debu.

Mata Marta menyusuri bekas jejak kakinya di tanah yang retak, dan ia memejamkan mata, membiarkan ingatan-ingatan tentang masa lalu kembali memenuhi pikirannya. Saat itu, dunia terasa lebih sederhana, lebih bersahabat. Abah Semar selalu mengajarkan bahwa ladang ini adalah kehidupan mereka, tempat segala sesuatu dimulai dan berakhir. Di bawah matahari pagi yang hangat, Abah akan menunduk, menyentuh daun singkong dengan lembut seolah menyapa teman lama. “ Marta, tanah ini hidup,” katanya, suaranya berat namun penuh kasih. “Jika kau merawatnya, ia akan membalas dengan kehidupan. Singkong ini bukan hanya tanaman, ia bagian dari keluarga kita.”

 Marta ingat betapa ia dulu menganggap ladang itu seperti dunia magis, penuh misteri dan keajaiban. Di balik setiap gundukan tanah, ia yakin ada kehidupan tersembunyi, menunggu untuk bangkit. Setiap pohon singkong tampak seperti prajurit yang berdiri tegak, melindungi keluarga mereka dari segala ancaman. Ladang itu dulu hijau, penuh kehidupan, setiap sudutnya dipenuhi suara alam yang bersahabat suara angin yang mengalun di antara daun-daun, cicit burung yang bersarang di pohon-pohon, dan gemerisik semak-semak yang sering kali disebabkan oleh biawak atau kelinci liar yang berlari cepat. Setiap kali ia mendengar suara itu, Abah akan tertawa kecil, “Itu sahabat-sahabat kita, Marta. Mereka menjaga ladang ini.”

Namun kini, suasana itu hanya tinggal kenangan. Marta membuka matanya kembali dan yang ia lihat hanyalah kesunyian. Ladang itu sunyi, kosong, seperti potongan sejarah yang terlupakan. Tak ada lagi gemerisik semak-semak, tak ada lagi burung yang berkicau. Seolah-olah kehidupan yang dulu pernah ada telah pergi bersamaan dengan kakeknya. Abah Semar telah meninggalkan dunia ini beberapa tahun lalu, dan sejak itu, ladang singkong juga perlahan-lahan kehilangan nyawanya.

Matahari mulai memanjat langit, sinarnya menusuk tanah yang kering dan pecah-pecah. Marta berjongkok, tangannya menyusuri tanah yang dulu lembut dan subur, kini terasa keras dan tak ramah. “Abah, apakah ladang ini masih bisa hidup?” bisiknya pelan, meski ia tahu tak ada jawaban yang akan datang dari tanah yang diam.

Di sekeliling ladang, desa itu masih bertahan. Meski waktu telah berlalu dan dunia berubah, Desa Sinar Loka masih setia pada akar tradisionalnya. Di kejauhan, terdengar suara peluit kereta api tua yang melintasi rel di pinggir desa, seperti napas terakhir dari zaman yang semakin terkikis modernitas. Anak-anak berlarian di jalanan tanah merah, membawa keranjang kecil berisi hasil panen atau sekadar bermain-main dengan bola yang terbuat dari anyaman bambu. Warga desa, meski tak lagi sebanyak dulu, masih tersenyum hangat setiap kali bertemu Marta. Mereka semua ingat bagaimana ladang singkong keluarganya pernah menjadi tumpuan desa tempat di mana semua orang saling bantu-membantu, memanen bersama, dan berbagi hasil bumi.

“ Marta, kamu belum ke pasar, ya?” tanya Pak Sidik, tetangga tua yang masih kuat berjalan sambil membawa sekarung sayuran di bahunya. Senyumnya lebar, meski kerutan di wajahnya semakin dalam.

“Belum, Pak Sidik. Mungkin nanti siang,” jawab Marta sambil membalas senyuman kecil.

Pak Sidik melirik ke arah ladang, menghela napas. “Ladangmu dulu juaranya desa ini. Saya ingat waktu Abah Semar masih ada, orang-orang sering mampir ke sini, menanyakan rahasia suburnya singkongmu. Mereka bilang singkong Abah Semar seperti punya ilmu.”

 Marta hanya tersenyum tipis, meski hatinya terasa sesak. Abah Semar memang selalu punya cara khusus dengan ladang ini. Bagi orang lain, mungkin ladang hanya sekadar tempat menanam. Tapi bagi Abah, ladang ini adalah sahabat lama yang perlu dirawat dengan penuh cinta. “Tanah, Marta, adalah tempat semua mimpi bermula,” kata Abah suatu pagi. “Kita menanam mimpi di dalamnya, dan tanah akan memberikan kita hasil yang setimpal.”

Desa ini juga menyimpan kenangan tentang kerja keras dan kebersamaan. Ada kebiasaan yang masih terpelihara di sini semangat gotong royong, di mana warga berkumpul untuk membantu panen satu sama lain, berbagi hasil bumi dan cerita. Hari panen adalah hari pesta kecil-kecilan, di mana ibu-ibu memasak bersama di bawah pohon besar di tengah desa, sementara para lelaki bekerja di ladang. Gelak tawa dan canda riang terdengar sepanjang hari, diiringi suara gamelan yang dimainkan oleh anak-anak muda desa.

Tapi sejak Abah Semar meninggal, sejak hujan-hujan mulai jarang datang, ladang Marta seolah kehilangan sihirnya. Kehangatan desa yang dulu mengelilingi ladang itu lambat laun memudar. Panen menjadi lebih sulit, tanah lebih keras, dan warga desa tak lagi sering datang untuk bergotong royong di ladang keluarganya. Marta tahu, semua orang sedang berjuang dengan tanah mereka masing-masing, mencari cara agar mimpi yang mereka tanam di bawahnya tidak layu bersama waktu.

“Apa yang salah, Abah?” tanyanya dalam hati. Ia merindukan kebersamaan yang dulu pernah begitu kuat. Marta memejamkan mata, mengingat pagi-pagi di mana ia dan Abah duduk di tepi ladang, mendengarkan bunyi alam yang mengalun seperti nyanyian tanpa suara. Seolah ladang itu berbicara kepada mereka, menjanjikan kehidupan yang tak pernah berakhir. Tapi sekarang, semua itu terasa jauh, seakan-akan ia berada di dunia yang berbeda.

Suara burung yang dulu sering menyambut pagi kini digantikan oleh keheningan yang sunyi. Di kejauhan, suara kereta tua masih sesekali terdengar, tapi tidak ada yang menyahut. Waktu telah bergerak, dan desa ini, meskipun masih hidup, seakan perlahan-lahan menuju kehampaan yang sama dengan ladang singkongnya.

“ Marta, singkong itu seperti kita,” kata Abah suatu kali saat mereka menanam bibit bersama. “Ia tumbuh dari akar, tersembunyi di bawah tanah, tapi kuat. Selama akarnya tidak tercabut, pohon itu bisa bertahan hidup, bahkan saat daunnya layu. Begitulah juga dengan kita, selama kita ingat dari mana kita berasal, kita akan selalu punya kekuatan untuk bangkit.”

Kata-kata Abah itu kembali menggema dalam pikiran Marta. Mungkin itu yang ia butuhkan sekarang untuk mengingat akar-akarnya, mengingat asal-usulnya. Desa ini, ladang ini, keluarganya... semuanya adalah bagian dari dirinya. Meski ladang ini tampak mati, seperti tak ada lagi kehidupan yang bisa diselamatkan, Marta tahu bahwa akarnya masih ada, tersembunyi di bawah tanah yang retak.

“Tanah ini hidup,” bisiknya lagi, mengulang kata-kata Abah. Meski sekarang, sulit rasanya percaya pada kalimat itu.

Matahari semakin meninggi, sinarnya semakin panas di atas kepala. Tapi di dalam hati Marta, sebuah keputusan mulai terbentuk. Ia tak bisa membiarkan ladang ini mati begitu saja. Ladang ini adalah simbol dari segalanya keluarga, tradisi, dan harapan. Dan selama akarnya masih ada, selalu ada kesempatan untuk membangkitkan kehidupan lagi.

 Marta berdiri, mengusap debu dari lututnya. Ia menatap sekeliling, melihat desa yang perlahan-lahan mulai bergerak, kembali ke ritme hariannya. Orang-orang beraktivitas di kejauhan, kehidupan tetap berjalan. Begitu pula ia harus melangkah maju. Ladang ini, kehidupannya, mungkin bisa diperbaiki, satu langkah demi satu langkah, seperti yang dulu sering Abah ajarkan kepadanya.

Dan mungkin, dengan waktu dan cinta yang tepat, ladang ini akan kembali hijau.

Seiring waktu berlalu dan langit di atasnya berubah dari biru ke jingga, kenangan itu perlahan mulai mereda, digantikan oleh perasaan rindu yang mendalam. Di malam hari, ketika lelah dan putus asa mulai menyergap, Marta menemukan dirinya terlelap dalam ingatan-ingatan yang terasa begitu hidup. Ia terjatuh ke dalam mimpi yang mengembalikannya pada sosok yang selalu memberikan ketenangan Abah Semar. Dan di dalam mimpi itulah, percakapan mereka yang sudah lama terkubur kembali terdengar jelas.

Malam itu, Marta tertidur di sudut kamarnya, letih setelah seharian berkutat dengan ladang kering yang tak kunjung memberikan harapan. Angin malam berhembus lembut melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma tanah yang tertinggal setelah panas terik hari. Di tengah-tengah lelapnya, Marta terjebak dalam mimpi yang terasa begitu nyata, seolah dunia di sekitarnya memudar dan ia terhisap ke dalam kenangan yang begitu hidup.

Dalam mimpinya, Marta berdiri di tengah ladang singkong. Namun kali ini, ladang itu tidak kering seperti yang biasa ia lihat sehari-hari. Ladang ini subur, hijau, dipenuhi tanaman singkong yang berdiri gagah, daun-daunnya bergerak lembut tertiup angin. Langit di atasnya biru cerah, sementara sinar matahari pagi menerpa ladang dengan kehangatan yang menenangkan. Marta menyentuh tanah dengan jemarinya, merasakan kelembutannya, seolah-olah tanah itu masih penuh dengan kehidupan yang berdetak.

Lalu, dari kejauhan, sesosok bayangan yang familiar muncul, berjalan perlahan mendekatinya. Marta terdiam. Sosok itu tinggi, dengan langkah yang kokoh dan keyakinan yang begitu akrab. Ketika sosok itu semakin dekat, hatinya bergetar itu Abah Semar.

“Abah…” bisik Marta, hampir tak percaya. Abahnya tampak persis seperti dalam ingatannya: pakaian sederhana, caping yang bertengger di kepalanya, dan senyum yang selalu penuh ketenangan. Marta terdiam, matanya tak lepas memandangi kakeknya yang seolah hidup kembali, berjalan di tengah ladang mereka yang kembali subur.

Abah Semar tersenyum hangat, seolah tidak ada waktu yang telah memisahkan mereka. Ia menunduk, meraih sebatang singkong yang kokoh di dekatnya, dan mengelus daunnya dengan lembut, seperti yang selalu ia lakukan dulu. “Kau lihat ini, Marta? Ladang ini masih hidup, seperti dulu.”

 Marta tidak menjawab. Hatinya dipenuhi keharuan yang tak tertahankan. Sudah lama ia ingin berbicara lagi dengan Abah, mendengar suara bijaknya yang selalu membuat segalanya terasa lebih ringan. Abah Semar berdiri, memandang jauh ke hamparan ladang yang hijau di sekeliling mereka.

“ Marta,” suara Abah terdengar pelan namun tegas, “apa yang kau lihat di sini?”

“Ladang kita, Abah,” jawab Marta cepat, suaranya nyaris pecah. “Ladang yang dulu, seperti saat masih ada Abah.”

Abah tersenyum tipis, lalu menatap Marta dengan tatapan penuh makna. “Kau lihat singkong ini? Setiap daun, setiap akar, mereka adalah cerminan dari kehidupan yang kita tanamkan di dalamnya. Marta, tanah ini tidak hanya sekadar tanah. Ini adalah hati yang berdetak. Setiap butir tanah adalah sejarah, harapan, dan keinginan yang kau dan keluargamu tanamkan di sini.”

 Marta terdiam, merenungkan kata-kata kakeknya. Ada sesuatu yang lebih dalam dari yang ia sadari selama ini. Ladang ini bukan sekadar tempat untuk bertani ladang ini adalah warisan, simbol dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang bisa dilihat oleh mata.

Abah melanjutkan, “Jika kau berhenti percaya, Marta, tanah ini akan mati. Jika kau membiarkannya tanpa cinta, ia akan kering. Apa yang ingin kau wariskan, Nak? Sebuah padang pasir atau sebuah kehidupan?”

 Marta menunduk, merasakan berat dari pertanyaan itu menghantam dadanya. Dalam beberapa waktu terakhir, ia memang merasa lelah. Ladang itu tak lagi memberikan hasil, tanahnya retak, dan harapan mulai memudar. Mungkinkah ia telah menyerah, meskipun ia tak mau mengakuinya?

“Abah, aku sudah berusaha… tapi ladang ini…” suara Marta tertahan, berusaha menahan keraguan yang mendalam di hatinya. “Semua ini tampak seperti sia-sia. Tanahnya kering, tak ada yang tumbuh. Harapan itu, Abah, sudah lama hilang.”

Abah Semar tersenyum, tetapi kali ini senyumnya mengandung kedalaman yang penuh arti. “ Marta, harapan tidak hilang begitu saja. Ia ada di dalam dirimu, seperti akar singkong yang tersembunyi di bawah tanah. Kau mungkin tak melihatnya sekarang, tapi selama kau tetap percaya, selama kau terus merawatnya, akar itu masih ada, menunggu saat yang tepat untuk tumbuh.”

Lihat selengkapnya