Langit di luar mulai berubah warna menjadi ungu pekat saat Marta melangkah masuk ke rumah. Setiap gerakannya lamban, seolah beban yang tak terlihat menarik tubuhnya ke bawah. Hari itu ia habiskan dengan berdiri di tepi ladang singkong yang kering, merasakan setiap retakan di tanah di bawah kakinya, seperti retakan di hatinya sendiri. Sekarang, saat ia memasuki rumah, keheningan menggantung di udara, berat dan menyesakkan, seperti asap yang tertinggal setelah api dipadamkan.
Dinding-dinding rumah tampak lebih tipis hari ini, seolah-olah mereka mulai terkikis oleh ketegangan yang tak terucap. Setiap langkah yang diambil Marta di lantai kayu menghasilkan gema yang menggema, namun di balik keheningan itu, ia bisa mendengarnya ketegangan yang menggelegak di dalam rumah ini. Seperti berdiri di tepi kawah gunung berapi, panas dari kedalaman siap menyembur kapan saja. Bau kayu terbakar dari dapur hanya menambah kesan berat yang memenuhi udara. Marta tahu, hari ini adalah hari di mana sesuatu akan pecah, sesuatu yang tak bisa lagi ditahan.
Di dalam rumah, Marta bisa merasakan getaran ketegangan yang menyusup dari celah-celah jendela, membawa aroma dingin senja dan debu dari ladang di luar. Ladang yang dulu menjadi kebanggaan keluarganya, tempat ayahnya dan Uwa Neman bertukar tawa dan kerja keras, kini terasa seperti bayang-bayang masa lalu yang perlahan-lahan memudar. Di sekeliling desa, kesunyian menjadi penguasa. Pohon-pohon tua yang tumbuh di sepanjang jalan berbisik cerita lama, sementara masa depan desa ini tampak tergantung di atas udara yang dipenuhi oleh ketidakpastian.
Desa Sinar Loka bukan lagi seperti dulu. Desa ini adalah tempat di mana setiap rumah menyimpan cerita, namun akhir-akhir ini, cerita itu semakin terbungkus dalam kesunyian yang tidak wajar. Marta dapat merasakannya dengan setiap hembusan angin sebuah kehampaan yang semakin mendekat. Sebuah keputusan besar akan segera diambil, dan rumah ini, yang dulu menjadi pusat kehangatan dan kebersamaan, kini seperti terancam runtuh oleh perpecahan yang semakin nyata.
Ketika Marta melangkah lebih dalam, ia mendengar percikan percakapan yang sudah dipenuhi ketegangan dari dapur. Suara ayahnya dan Uwa Neman terdengar seperti dua aliran sungai yang bertabrakan, masing-masing berusaha mendominasi, namun saling menghantam tanpa hasil.
"Tanah ini adalah warisan kita, Neman," suara Marta terdengar tegas. "Kau tidak bisa begitu saja menjualnya hanya karena kita sedang kesulitan. Apa kau tidak paham, darah dan keringat kita tertanam di setiap jengkal tanah itu?"
"Tapi, Kak," balas Uwa Neman dengan nada tenang namun penuh kekuatan, "darah dan keringat itu tidak akan membuat kita bertahan. Tanah ini kering, mati. Tidak ada lagi yang bisa kita harapkan darinya. Apa kau ingin kita tenggelam bersama kenangan masa lalu?"
Kata-kata itu menyerang Marta seperti semburan api yang tak terlihat, membakar di dalam dirinya. Ia tahu bahwa tanah ini lebih dari sekadar ladang. Ini adalah akar kehidupan mereka, tempat mereka tumbuh dan bertahan. Namun, apa yang diucapkan Uwa Neman tidak sepenuhnya salah. Di balik setiap kata, ada kebenaran pahit yang sulit diterima. Marta merasakan dirinya terjepit di antara dua dunia tradisi yang ia hormati dan masa depan yang ia takuti.
"Kebenaran, Neman," suara Marta bergetar, "bukan sesuatu yang bisa dipilih dengan mudah. Seperti sebutir pasir, kebenaran itu sendirian tampak kecil dan tak berarti, tetapi di tangan orang yang tepat, ia bisa menjadi mutiara. Tanah ini adalah mutiara kita. Jangan kau hancurkan hanya karena kau takut pada dunia di luar sana."
Marta berdiri diam di ambang pintu, mendengar pertukaran kata-kata yang semakin memanas. Setiap kalimat adalah pertarungan, dan ia bisa merasakan ketegangan di udara semakin tebal. Perdebatan ini bukan hanya tentang ladang atau tanah, tetapi tentang hidup dan mati warisan keluarganya. Marta tahu, apapun yang terjadi hari ini, keputusan yang diambil akan mengubah segalanya.
Langkah kakinya perlahan, berat oleh beban yang tak terlihat. Setiap gerakan terasa penuh dengan makna yang tak terucapkan, seolah dia sedang bergerak menuju sesuatu yang tak terhindarkan. Dia berhenti di ambang pintu dapur, melihat ayahnya berdiri dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya, sementara Uwa Neman menyilangkan tangan di dada, menatap dengan mata penuh keyakinan bahwa ia sedang melakukan hal yang benar.
Marta menatap mereka berdua. Ayahnya, yang selalu percaya pada kekuatan tradisi, pada ladang yang telah membesarkan mereka. Dan Uwa Neman, yang melihat dunia di luar desa ini sebagai peluang untuk bertahan hidup. Marta merasakan detak jantungnya semakin cepat, seolah dipaksa untuk memilih, tetapi ia tahu, ini bukan saatnya untuk terburu-buru.
"Marta!" seru Marta, suaranya menggetarkan dinding kayu yang mulai terasa semakin rapuh. "Apa yang kau pikirkan? Kau tahu tanah ini, kau tahu betapa pentingnya ini bagi keluarga kita."
Uwa Neman menghela napas panjang, lalu memandang ke arah Marta. "Tanyakan pada dirimu sendiri, Nak," katanya lembut. "Apa yang lebih penting mempertahankan sesuatu yang tak lagi memberi kita kehidupan, atau mencari masa depan yang baru? Aku tahu ini berat, tapi kau harus paham, kadang kita harus melepaskan sesuatu agar bisa bertahan."
Marta terdiam, pikirannya berputar-putar, mencari jawaban yang belum ia temukan. Di satu sisi, ia merasakan panggilan tanah ini, ladang yang telah menghidupi mereka selama bertahun-tahun. Tapi di sisi lain, ada kenyataan pahit yang mulai merayap ke dalam pikirannya tanah ini mungkin tak lagi bisa menyelamatkan mereka. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan ketakutan yang tak bisa ia abaikan: ketakutan bahwa apa yang dipegang erat selama ini bisa saja memudar menjadi debu.
Suasana di dalam rumah itu semakin tegang. Marta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Di luar, angin mulai bertiup lebih kencang, memukul jendela dengan suara gemerisik, seolah mengingatkannya bahwa dunia di luar sana sedang menunggu.
"Aku akan pergi ke kota," kata Marta akhirnya, dengan suara yang lebih tenang dari yang ia rasakan. "Aku akan melihat sendiri apa yang bisa kita dapatkan di sana. Baru setelah itu, kita bisa memutuskan."
Marta menatap anaknya dengan mata yang penuh rasa sakit, tetapi juga pengertian. Uwa Neman tersenyum tipis, meskipun ada kesedihan di balik senyumnya. Marta tahu, keputusan ini tidak akan mengakhiri ketegangan di antara mereka, tapi setidaknya, itu memberi mereka sedikit waktu.
Dan saat Marta melangkah keluar, meninggalkan rumahnya yang terasa lebih rapuh dari biasanya, ia tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai. Namun, di balik itu semua, ia masih merasakan ketegangan yang tak terpecahkan seperti api yang menyala di dalam perapian, menunggu untuk membakar semuanya.
Pagi harinya, rumah yang dulu menjadi tempat perlindungan bagi Marta terasa lebih dingin dan jauh. Di setiap sudutnya, ada bayangan konflik yang perlahan-lahan mulai tampak. Dan ketika ia memasuki dapur, perasaan itu semakin kuat bahwa rumah ini, yang dulu penuh dengan kehangatan, kini di ambang pecah.
Marta mendorong pintu rumah, dan seketika hawa panas dari dapur menyambutnya, mengalir bersama udara yang berat oleh ketegangan. Setiap sudut ruangan tampak berbeda hari ini lebih rapuh, lebih mudah retak. Rumah ini, tempat ia dibesarkan, yang selama ini menjadi benteng dari dunia luar, kini seolah terancam runtuh oleh ketegangan yang tak terlihat namun terasa sangat kuat. Dada Marta terasa sesak, seolah mimpi-mimpinya yang terpendam menekan dari dalam, mencari celah untuk keluar. Dia belum melihat ayah atau Uwanya, tapi dia tahu, hari ini mereka akan berhadapan.
Langkah Marta di lantai kayu yang berderak seolah menggema, setiap suara kecil memperbesar perasaan tak menentu yang sudah bergelut di hatinya. Ruangan itu, meskipun dipenuhi oleh benda-benda yang tak pernah berubah, terasa asing, seperti ia telah menjadi pengamat di rumahnya sendiri.
Rumah ini, meski kecil dan sederhana, memegang sejarah panjang keluarga Marta. Di dinding yang mulai pudar catnya tergantung lukisan-lukisan lama, potret keluarga dari zaman yang tampak begitu jauh. Sebuah kursi rotan di sudut ruangan yang dulu sering diduduki kakeknya kini terlihat sunyi, hanya menyisakan bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui. Meja kayu di ruang tengah penuh dengan goresan-goresan kecil, bekas tangan-tangan yang pernah bekerja keras, berjuang untuk mempertahankan hidup di tanah ladang ini.
Di dapur, Marta bisa merasakan energi yang berbeda. Dapur yang dulu menjadi tempat penuh kehangatan, tempat ibu memasak dengan penuh cinta, kini terasa penuh ketegangan. Sebuah panci tanah liat tua, berlapis jelaga, masih bertengger di atas tungku kayu bakar, menjadi saksi bisu ribuan makan malam keluarga yang kini hanya tersisa dalam kenangan. Tikar rotan yang mulai usang dan terkoyak oleh waktu masih terhampar di lantai, dulu pusat dari obrolan ringan dan canda tawa. Tapi hari ini, hangatnya api di dapur tidak cukup untuk menghalau dinginnya ketegangan di udara.
Marta berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan piring-piring di meja yang tampak bergetar sedikit, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang bergetar di dalam hati orang-orang yang duduk di sekitarnya.
Di meja itu, Marta duduk dengan tubuh tegap, meskipun sorot matanya tampak lelah. Wajahnya yang biasanya penuh dengan keteguhan kini menyiratkan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Di hadapannya, Uwa Neman duduk dengan tangan yang mencengkeram kuat pinggiran kursi, seolah mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. Dan di sudut ruangan, Ibu Marta duduk dengan tangan saling menggenggam di pangkuannya, tatapan matanya penuh dengan kekhawatiran, seolah ia sedang menunggu badai besar yang akan segera tiba.
"Kau tidak mengerti, Kak," Uwa Neman akhirnya berbicara, suaranya datar namun tajam, "kita tidak bisa terus seperti ini. Ladang ini mati. Tanah ini tak lagi memberi apa-apa. Apa kau akan terus menunggu sampai kita semua tenggelam bersama ladang ini?"
Marta tidak mengalihkan pandangannya dari meja. "Apa kau ingin kita menyerah begitu saja, Neman?" suaranya rendah namun mengandung ketegasan. "Tanah ini lebih dari sekadar ladang. Ini adalah hidup kita, warisan yang tak bisa dijual begitu saja. Apa yang akan tersisa dari kita jika kita menjual akar kita?"
"Kebenaran, Kak," balas Uwa Neman, matanya kini beralih ke Marta, "seperti pasir yang digenggam terlalu erat, akhirnya akan hilang di antara jari-jari kita. Tanah ini mungkin akar kita, tapi kita tidak bisa hidup dari akar yang tak lagi berbuah."
Marta bisa merasakan setiap kata menusuk ke dalam hatinya. Ayah dan Uwanya sama-sama benar dalam cara mereka sendiri. Ia merasa terperangkap di antara dua kebenaran yang tak bisa disatukan.
Marta tetap berdiri diam di ambang pintu, mendengarkan setiap pertukaran kata di antara dua pria yang paling ia hormati. Ayahnya, dengan keyakinannya yang kokoh pada warisan keluarga, selalu percaya bahwa tanah ini adalah sumber kekuatan mereka. Sementara itu, Uwa Neman, dengan pandangannya yang lebih realistis, melihat ladang ini sebagai beban yang tak bisa lagi mereka tanggung. Marta tahu, keputusan yang akan diambil hari ini tidak hanya akan mengubah kehidupan mereka, tapi juga masa depan seluruh keluarga.
Tiba-tiba, Marta berdiri, menatap Uwa Neman dengan sorot mata yang penuh dengan perlawanan. "Kau bicara tentang kebenaran, Neman, tapi kebenaran tidak sesederhana itu. Jika kita menjual tanah ini, apa yang akan kita wariskan pada anak-anak kita? Apa yang akan tersisa dari nama keluarga kita?"
Uwa Neman menggelengkan kepala, suaranya mulai meninggi. "Apa yang tersisa jika kita tetap di sini, Kak? Hanya keputusasaan. Aku tak mau melihat keluargaku hancur karena kita terlalu keras kepala untuk melihat kenyataan."
Di tengah percakapan yang semakin memanas, Ibu Marta akhirnya angkat bicara, suaranya lembut tapi penuh dengan ketegasan yang jarang ia tunjukkan. "Kalian berdua...," katanya, matanya menatap kedua pria itu dengan penuh kesedihan, "ini bukan hanya soal tanah. Ini tentang kita, tentang keluarga. Apa pun yang kita putuskan, itu harus untuk kebaikan kita semua. Aku tidak mau melihat kita terpecah hanya karena ladang ini."
Marta menatap istrinya dengan mata yang sedikit melembut, tapi tetap dipenuhi kekhawatiran. "Aku hanya ingin kita tetap utuh," bisiknya. "Tanah ini adalah cara kita untuk tetap bersama."
Ibu Marta menunduk sejenak, sebelum akhirnya menatap Marta, yang sejak tadi berdiri diam di ambang pintu. "Marta... apa yang kau pikirkan?" tanyanya, seolah berharap anaknya bisa memberikan jawaban yang belum ditemukan oleh suaminya maupun adiknya.
Semua mata kini tertuju pada Marta, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan beratnya beban tanggung jawab yang selama ini belum sepenuhnya ia sadari. Pilihan ini bukan lagi tentang ayah atau Uwanya, tapi tentang masa depan yang harus ia tentukan sendiri.
Marta menghela napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang kini memenuhi ruangan. "Bu.., Uwa," katanya dengan sedikit senyum di wajahnya, meskipun dadanya masih terasa berat. "Mungkin kita bisa mulai dengan minum teh dulu sebelum lanjut berdebat? Kupikir sedikit air panas bisa mendinginkan suasana."
Uwa Neman menghela napas panjang, dan senyum tipis muncul di bibirnya. "Anakmu benar, Kak. Mungkin kita perlu tenang sejenak."
Marta, meskipun masih tampak tegang, mengangguk pelan. "Baiklah. Kita bisa berbicara setelah minum."
Ketegangan di ruangan itu sedikit mereda, meskipun Marta tahu ini hanya jeda sementara dari konflik yang lebih besar.
Tapi bahkan ketika mereka duduk kembali, Marta bisa merasakan bahwa keputusan yang akan datang tidak akan mudah. Apa pun yang mereka putuskan, hasilnya akan mengubah segalanya. Dan saat Marta mengambil cangkir teh yang baru dituangkan, dia tahu bahwa waktu untuk mencari jawaban semakin dekat.
Di luar, angin malam mulai berhembus, membawa kabar dari dunia luar yang penuh tantangan. Dan di dalam, meskipun sementara ada kedamaian, Marta tahu konflik yang lebih besar masih mengintai, menunggu untuk meledak.
Setelah perdebatan yang panjang di dalam rumah, Marta memutuskan untuk mencari jawaban di luar. Langit mulai mendung, awan kelabu menggantung rendah seperti pikiran-pikiran yang berat di dalam kepalanya. Perjalanan ke ladang sore itu terasa berbeda, seolah tanah yang selalu ia kenal perlahan berubah, memantulkan ketidakpastian yang ada di dalam hatinya.
Langit di atas kepala Marta terlihat berat, seperti menanggung beban masa depan yang tak pasti. Hembusan angin ladang sore itu terasa asing, dingin, dan tak menentu. Dada Marta dipenuhi dengan ribuan mimpi yang tak terucapkan, yang menghimpit batinnya seolah udara lembap sebelum badai tropis membuncah dengan janji yang mungkin tak akan pernah terwujud.
Di tengah ladang yang semakin kering, Uwa Neman berdiri di hadapannya. Senja mulai turun, warna-warna jingga yang mencerminkan perdebatan yang akan segera meletus, bukan sekadar tentang tanah dan singkong, tapi tentang hidup dan mati sebuah warisan.
Ladang singkong yang luas ini telah menjadi saksi bisu dari generasi demi generasi keluarga Marta. Setiap jengkal tanah di sini telah menahan kaki-kaki para petani yang membungkuk di bawah terik matahari, berharap bahwa hasil panen mereka cukup untuk menghidupi keluarga. Desa Sinar Loka sendiri pernah dikenal sebagai salah satu lumbung pangan daerah, dengan singkong yang tumbuh subur, daun-daunnya melambai seperti tangan-tangan yang penuh harapan.
Namun, dunia luar telah berubah, dan desa kecil ini perlahan ditinggalkan oleh anak-anak mudanya, yang berbondong-bondong menuju kota mencari sesuatu yang lebih besar, lebih modern, lebih berkilau. Tapi di sini, di antara retakan tanah dan ladang yang mulai gersang, tradisi masih bernafas, meskipun kian lemah.
"Marta, kau tahu ini tak bisa terus begini," suara Uwa Neman terdengar tenang, namun ada nada frustrasi di dalamnya. Ia melihat ladang yang kini seolah tak berdaya lagi melawan waktu dan cuaca. "Ladang ini... desa ini... seperti kapal yang perlahan tenggelam. Kita tak bisa terus berpegang pada sesuatu yang jelas-jelas tak lagi bisa menopang kita."
Marta, dengan sorot mata tajam yang dipenuhi kenangan dan cinta pada tanah ini, membalas, "Dan bagaimana dengan warisan kita? Setiap tetes keringat, setiap tetes darah nenek moyang kita tertanam di setiap butir tanah ini. Apakah kita akan meninggalkannya hanya demi janji-janji kosong dari kota yang akan menghancurkan kita seperti orang lain sebelum kita?"
Uwa Neman menghela napas panjang. "Warisan itu tak ada di tanah, Marta. Warisan itu ada pada kita, pada jiwa kita. Kita bisa membawanya ke mana saja, selama kita punya keberanian untuk maju, untuk meninggalkan masa lalu yang tak lagi mampu memberi kita apa-apa."
Marta terdiam sejenak. Di dalam hatinya, perdebatan ini bukan sekadar tentang ladang, tapi tentang kehormatan, tentang identitas. "Jadi kau pikir meninggalkan tanah ini, yang telah memberi kita hidup selama bertahun-tahun, adalah solusi?" tanyanya dengan nada sinis.
"Ini bukan soal meninggalkan. Ini soal bertahan hidup. Dunia di luar sana berubah, dan jika kita tidak berubah bersama dunia, kita akan tenggelam dalam nostalgia yang tak berarti."
Marta mengepalkan tangannya, matanya berkilat penuh amarah, bukan hanya pada Uwa Neman, tapi juga pada keadaan yang memaksanya berpikir seperti ini. Tapi di balik kemarahan itu, ada tekad yang tumbuh, seperti akar singkong yang kuat menembus tanah keras.