"Ruangan itu berbau debu dan kesunyian." Setiap langkah yang diambil Marta menggema samar, seperti bisikan di rumah yang telah lupa akan ceritanya sendiri. Suara kecil di dalam dirinya turut tenggelam dalam keheningan yang menyesakkan. Di sini, di kamar almarhum kakeknya, Abah Semar, waktu seolah tak berani bergerak. Rak buku kayu tua berdiri tegar di pojok ruangan, penuh dengan buku-buku yang tak lagi tersentuh, seperti mimpi-mimpi yang tertunda.
Marta berjalan perlahan menuju rak itu, setiap inci ruangan mengalirkan kenangan yang tergantung di udara hal-hal yang tak pernah dikatakan, janji yang tak pernah terwujud. Jari-jarinya menyentuh permukaan kayu yang halus, usang oleh waktu dan penggunaan yang begitu lama. Di sinilah kakeknya, sang pengajar bijak, pernah duduk, membaca dan merangkai kata-kata yang penuh makna. Namun kini, semuanya hanya tinggal kenangan.
"Mungkin mimpi-mimpi Abah tak pernah mencapai langit," pikir Marta, memandangi debu yang melayang lembut di bawah sinar matahari yang menembus jendela. "Tapi mereka tetap ada di sini, terperangkap dalam rak-rak ini, dalam halaman-halaman yang tak pernah terbuka lagi."
Udara di kamar itu begitu berat, bukan hanya karena debu yang tebal, tapi karena warisan yang ditinggalkan oleh kakeknya, sebuah warisan yang terabaikan. Warisan itu tak berwujud pada ladang kering yang mereka perjuangkan selama bertahun-tahun, tetapi dalam harapan dan cinta yang dituangkan dalam setiap tindakan, kata-kata yang terukir dalam buku-buku di depan Marta. Namun, apa gunanya semua itu, jika mereka tak lagi bisa bertahan hidup dari tanah yang kian tandus?
"Mungkin sudah waktunya menyerah," bisik suara kecil di dalam hatinya. Namun, seperti sebuah nada yang tak selesai, ada perlawanan dalam dirinya, kecil tapi kuat. Suara itu mengingatkan pada Abah, pada tekad yang tak pernah padam di dalam hati sang kakek, meski dunia di sekitarnya runtuh.
Desa Sinar Loka, di mana Marta dan keluarganya tinggal, adalah tempat di mana angin berbisik cerita masa lalu, dan setiap sudutnya menyimpan sisa-sisa kehidupan yang pernah begitu hidup. Tanah merah yang pecah-pecah, pepohonan tua yang rindu akan hujan, dan rumah-rumah kecil yang berjajar seperti saksi bisu dari masa-masa kejayaan yang sudah lama berlalu. Di sini, setiap orang mengenal satu sama lain, dan setiap langkah membawa sejarah.
Pohon-pohon singkong yang dulunya menghijau sekarang hanya meninggalkan bayangan kering di ladang yang tandus. Kicauan burung yang dulu menjadi pengiring pagi kini hilang, digantikan dengan sunyi yang mencekam. Marta merasa terasing di tanah yang dulu pernah menjadi pelindung mereka, tanah yang menghidupi keluarga dan mengikat mereka bersama.
"Mungkin tanah ini menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa kulihat," pikir Marta, berdiri di depan rak buku kakeknya. Buku-buku yang terletak di sana seperti harta yang tak ternilai, tetapi apa artinya semua itu sekarang?
"Kebenaran itu, Nak," suara Abah Semar terdengar kembali di benaknya, "seperti sebutir pasir. Di tangan orang yang tepat, ia bisa menjadi mutiara. Tapi jika kau biarkan, ia hanya akan tertiup angin."
Marta mengingat dengan jelas kata-kata kakeknya. Abah Semar selalu memandang dunia dengan cara yang berbeda filosofis, penuh simbolisme, seolah setiap tindakan, setiap peristiwa kecil adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Tapi bagaimana jika dunia ini, pikir Marta, terlalu keras untuk hal-hal seperti itu?
"Apa kau masih percaya, Abah?" bisiknya pada udara di sekelilingnya. "Masihkah kau percaya bahwa kita bisa menemukan mutiara di antara pasir-pasir ini?"
Di tengah semua keraguan yang menggerogoti hatinya, Marta merasakan sesuatu yang berbeda tumbuh di dalam dirinya. Ada keteguhan, meski kecil, yang mulai terbentuk. Ia tahu, hidup bukan hanya soal mimpi atau harapan yang diucapkan dengan indah. Hidup adalah soal bertahan.
"Jika kau tidak menanam," pikir Marta, menggenggam buku lama milik kakeknya dengan kuat, "maka kau tak akan menuai apa pun." Marta mengerti bahwa tidak ada yang diberikan begitu saja. Kakeknya, dengan segala kearifan dan cintanya pada tanah, tahu bahwa hidup harus diperjuangkan.
Mungkin ia tidak sebijak Abah Semar, tetapi satu hal yang pasti Marta tidak akan menyerah.
Marta membuka buku pertama di rak. Halaman pertama terbuka dengan suara kertas tua yang terlipat, dan di sanalah ia menemukan tulisan tangan kakeknya, kalimat-kalimat yang telah memudar, namun masih bisa terbaca
"Jangan pernah menyerah pada tanah yang masih menyimpan kehidupan, bahkan ketika ia tampak mati di permukaan."
Marta tertegun. Kata-kata itu terasa seperti pesan langsung untuknya, seolah kakeknya tahu bahwa suatu hari, ia akan berdiri di tempat ini, mempertanyakan semuanya.
Dan pada saat itu, ketika Marta menatap rak buku yang berdebu itu, ia tahu satu hal Perjalanannya belum selesai.
Marta berdiri, memegang buku kakeknya erat di tangannya. Di luar, suara angin berhembus lebih keras, membawa butiran debu dari ladang yang tandus. Langit tampak berat dengan awan kelabu, seolah-olah hujan yang dinanti sedang dalam perjalanan.
"Jika hujan turun, ladang akan siap," pikirnya. Tapi apakah hujan itu akan datang dari langit, atau dari tekad yang baru saja ia temukan di dalam dirinya sendiri?
Meski angin terus berhembus kencang, Marta tidak tergoyahkan. Matanya tetap tertuju pada buku tua yang dipegangnya, seolah mencari petunjuk di antara debu dan kenangan yang bersembunyi di dalam halaman-halaman kertas usang itu. Di balik semua kebingungannya, ada satu hal yang mulai menyelinap ke dalam pikirannya surat-surat yang pernah ditulis oleh kakeknya, yang mungkin menyimpan jawaban atas keraguan yang ia rasakan.
"Setiap barang di ruangan itu tampak seperti penanda dari masa yang telah lama berlalu, sebuah jejak cerita yang perlahan-lahan terkubur oleh waktu." Marta berjalan perlahan di dalam kamar tua itu, matanya menyapu setiap sudut yang dipenuhi oleh barang-barang peninggalan kakeknya, Abah Semar. Ruangan ini, meski sederhana, dipenuhi dengan sejarah dan kenangan yang menunggu untuk ditemukan kembali.
Udara di dalam kamar terasa berat, bukan karena debu, tapi karena muatan emosi yang tersimpan dalam setiap benda. Rak-rak kayu di dinding penuh dengan buku-buku tua, masing-masing dengan punggung yang sudah memudar, seolah-olah mereka juga ikut menua bersama pemiliknya yang telah tiada. Marta menyentuh permukaan buku-buku itu, jemarinya menggesek debu yang tebal, merasakan keheningan yang dalam. Buku-buku ini dulu sering dibaca Abah Semar, kata-kata di dalamnya menjadi teman saat malam-malam terasa panjang dan sunyi.
"Abah selalu mengatakan bahwa buku-buku ini menyimpan dunia lain," gumam Marta pelan, suaranya nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan.
Matanya kemudian tertuju pada tumpukan barang-barang tua di sudut ruangan. Sebuah kotak kayu kecil tampak tersembunyi di antara tumpukan buku-buku harian usang. Kotak itu hampir tak terlihat, hanya sedikit ujungnya yang mencuat dari bawah setumpuk kertas. Marta berjalan mendekat, berlutut, dan mengangkat kotak itu dengan kedua tangannya.
Ruangan ini adalah cerminan dari hidup Abah Semar sederhana namun penuh makna. Meja kayu tua di pojok ruangan masih dipenuhi oleh tumpukan kertas yang telah menguning oleh waktu, pena-pena yang sudah tak lagi dipakai, dan jam tangan antik yang berhenti berdetak. Di dinding, foto-foto hitam putih dari masa lalu menggantung dalam bingkai kayu, menampilkan wajah-wajah yang pernah hidup dan bermimpi.
Desa Sinar Loka, tempat keluarga Marta telah tinggal selama beberapa generasi, adalah sebuah desa kecil yang seolah terhenti di masa lalu. Rumah-rumah di sini dibangun dari kayu dengan atap daun rumbia yang mulai lapuk. Jalan-jalan kecil berdebu, diapit oleh ladang-ladang yang kini kering dan retak. Setiap sudut desa tampaknya memiliki ceritanya sendiri, cerita yang perlahan-lahan memudar seiring berjalannya waktu.
Udara di desa ini selalu dipenuhi dengan aroma singkong dan kayu terbakar, memanggil kembali kenangan masa kecil Marta ketika ia berlari-lari di antara pepohonan bersama teman-temannya. Sekarang, desa itu sepi, tak lagi ramai dengan suara tawa anak-anak atau obrolan para petani di sore hari.
Di dalam kamar Abah Semar, Marta membuka kotak kayu itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan surat-surat. Puluhan surat, semuanya belum pernah dibuka. Setiap amplop ditulis dengan tulisan tangan kakeknya, tulisan yang indah dan rapi, seolah-olah setiap kata di dalamnya telah dipilih dengan hati-hati.
"Mengapa surat-surat ini tidak pernah dibuka?" Marta bertanya pada dirinya sendiri. Amplop-amplop itu tanpa nama penerima, seolah-olah Abah Semar menulis untuk seseorang, tapi tak pernah tahu kepada siapa surat itu harus dikirim.
Surat-surat itu adalah simbol dari sesuatu yang lebih dalam mimpi-mimpi yang belum terwujud, harapan-harapan yang tak pernah sampai. Marta memegang salah satu surat dengan hati-hati, jemarinya sedikit gemetar. Di dalam amplop itu, ia merasakan beban yang lebih berat dari sekadar kertas. Itu adalah warisan yang tak terlihat, warisan yang sekarang berada di pundaknya.
"Kebenaran, seperti yang sering dikatakan Abah, kadang tersembunyi di dalam hal-hal kecil," Marta mengingat lagi kata-kata kakeknya, suara Abah yang lembut dan penuh makna. "Tapi kau harus punya keberanian untuk membuka pintu yang menutupnya."
Marta tahu, apa pun yang tertulis di dalam surat-surat ini, akan membawa jawaban atau mungkin beban yang lebih besar. Namun, ia tak bisa membiarkan surat-surat ini tetap terkunci selamanya. Dengan hati-hati, ia membuka amplop pertama, suara kertas yang rapuh menggesek, seolah-olah surat itu telah menunggu untuk dibaca selama bertahun-tahun.
Isi surat itu adalah pesan yang penuh kebijaksanaan, pesan dari masa lalu yang terasa relevan dengan apa yang sedang Marta hadapi sekarang. Setiap kata yang tertulis seolah berbicara langsung kepadanya, mendorongnya untuk tidak menyerah.
"Mimpi tidak diberikan, Marta. Mereka diperoleh, satu langkah pada satu waktu." Tulis Abah Semar. "Ketika aku masih muda, aku berpikir bahwa tanah ini adalah segalanya. Tapi yang tidak kusadari, bukan tanah yang memberi kita kehidupan melainkan cinta dan kerja keras kita terhadap tanah itu."
Marta terdiam, merenungkan kata-kata itu. Ia merasa seolah-olah kakeknya berbicara langsung kepadanya, mengingatkan bahwa keberhasilan tidak datang dari luar, melainkan dari dalam dirinya sendiri. Abah Semar mengerti bahwa tanah bisa tandus, tetapi jiwa manusia harus tetap subur dengan harapan dan usaha.
Marta mengepalkan tangannya, merasakan kekuatan baru yang tumbuh dalam dirinya. "Aku tidak akan menyerah," pikirnya. "Apa pun yang terjadi, aku akan berjuang untuk ladang ini, untuk keluargaku, seperti yang Abah lakukan dulu."
Saat Marta membuka surat-surat lainnya, ia mulai menyadari bahwa tidak semua surat itu hanya berisi nasihat bijak. Ada surat-surat yang ditujukan kepada orang-orang yang tak pernah disebutkan di keluarganya. Nama-nama yang asing, dan cerita-cerita tentang masa lalu yang tampaknya tersembunyi dari pengetahuan umum.
Salah satu surat berbicara tentang seseorang bernama "Nina" seorang wanita yang Marta belum pernah dengar sebelumnya. Surat itu penuh dengan penyesalan dan cinta yang tertahan, seolah-olah Abah Semar pernah memiliki hubungan yang mendalam dengan wanita ini, namun sesuatu membuat mereka terpisah.
"Nina, jika kau membaca surat ini, ketahuilah bahwa aku selalu mencintaimu. Tapi takdir kita tidak pernah berpihak. Tanah ini, keluarga ini, telah menjadi bebanku, namun juga duniaku."
Marta terhenyak. Siapakah Nina? Dan mengapa surat ini tak pernah sampai padanya? Ada sesuatu yang lebih besar tersembunyi dalam kehidupan Abah Semar, sesuatu yang selama ini tak pernah diceritakan.
Marta tersenyum kecil di tengah keheningan saat membuka surat terakhir. Dalam surat ini, Abah Semar menulis tentang harapan-harapannya untuk cucunya, Marta.
"Mungkin ketika kau membaca ini, Nak, aku sudah tak ada lagi. Tapi ketahuilah, aku selalu percaya bahwa kau bisa melakukan hal-hal besar. Jangan biarkan tanah yang tandus mengeringkan semangatmu. Jika singkong tidak tumbuh, mungkin mereka hanya sedang malas," tulis Abah, diakhiri dengan senyum yang tergambar dalam kata-kata itu.
Marta tertawa pelan. Humor kakeknya selalu sederhana tapi penuh makna, bahkan dalam surat-surat yang begitu serius. Di balik nasihat dan kebijaksanaan, ada cinta dan kasih yang membuat semua masalah terasa lebih ringan, meski hanya sejenak.
Namun, surat-surat itu tidak hanya berbicara tentang keluarga atau cinta yang hilang. Ada juga kritik tajam terhadap dunia di luar sana, dunia yang perlahan-lahan mengambil alih tanah yang pernah mereka miliki. Dalam salah satu suratnya, Abah Semar menulis tentang ketidakadilan yang dirasakan para petani, tentang bagaimana mereka dipaksa berjuang melawan sistem yang tidak pernah berpihak pada mereka.
"Mereka yang di atas selalu mengatakan bahwa kita harus bekerja lebih keras, namun mereka lupa, ladang kita tidak hanya kering oleh cuaca. Tanah ini diambil sedikit demi sedikit, oleh mereka yang punya kuasa, dan kita hanya bisa melihat dari jauh."
Marta merasa dadanya sesak membaca kata-kata itu. Bukan hanya dia yang merasakan ketidakadilan ini, tetapi sudah berakar dalam keluarganya selama beberapa generasi. Pertanyaan yang muncul di benaknya sekarang bukan lagi soal bertahan hidup, tetapi soal melawan.
Saat Marta menutup surat-surat itu, ia menyadari bahwa hidup kakeknya penuh dengan rahasia dan mimpi yang tak pernah terwujud. Tapi surat-surat itu juga memberinya kekuatan dan arah baru.
"Aku harus mencari tahu siapa Nina," pikir Marta. "Dan aku harus melakukan sesuatu tentang tanah ini, tentang desa ini."
Dia tahu, perjalanan barunya baru saja dimulai. Dan kali ini, ia tidak hanya akan melangkah untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk warisan yang ditinggalkan oleh kakeknya.
Semakin lama Marta memandangi surat-surat itu, semakin jelas bahwa di balik setiap amplop dan tulisan terdapat lebih dari sekadar nasihat. Ada perasaan yang belum tersampaikan, mungkin rahasia yang tak pernah diceritakan kepada siapa pun. Dan sekarang, dengan hujan yang mulai turun di luar, suara rintik-rintik air yang membasahi atap rumah menambah suasana berat yang memenuhi ruangan. Marta tahu bahwa ia harus membuka surat-surat ini lebih dalam untuk menemukan apa yang kakeknya sembunyikan dari dunia.
"Cahaya redup senja menembus tipis kaca jendela, seperti sisa-sisa harapan yang masih tersisa di ujung langit." Hujan turun perlahan, bunyinya lembut namun stabil, menetes di atas atap dan rerumputan di luar. Marta duduk di kursi tua di dekat jendela, memegang surat-surat peninggalan Abah Semar. Pandangannya tertuju pada ladang kering yang kini mulai menerima tetesan hujan, meskipun sangat tipis, seolah-olah alam tengah menguji apakah tanah itu masih mampu menumbuhkan kehidupan kembali.
Surat-surat di tangannya terasa berat, bukan karena fisiknya, tapi karena beban emosi yang terkandung di dalam setiap kata yang ditulis oleh kakeknya. Kertas yang rapuh dan berwarna kekuningan itu membawa nasihat dan kenangan dari seseorang yang sudah tak ada, namun tetap hadir melalui goresan tinta. Hujan di luar jendela menjadi cermin dari pergulatan di dalam hati Marta perlahan namun tak terhindarkan, seperti perubahan yang tak bisa dicegah.