Batu kecil itu terasa dingin di telapak tangan Marta, seolah-olah menyerap semua ketegangan yang menumpuk di hatinya. Batu itu tak lebih besar dari telur burung, halus dan mulus, dengan ujung-ujung yang sempurna, seperti dipoles waktu. Abah Semar, kakeknya, pernah berkata bahwa batu itu bukan sekadar benda mati batu itu adalah pengingat, sebuah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Kini, di tengah ladang keluarganya yang gersang, batu kecil itu terasa jauh lebih berat daripada sebelumnya.
Ia berdiri di tepi ladang, menatap hamparan tanah yang terbentang hingga ke batas pandangan. Langit mendung menggantung rendah, seolah siap menumpahkan hujan kapan saja. Namun, sama seperti tanah di bawahnya, Marta tahu bahwa hujan mungkin tak akan cukup untuk menyembuhkan apa yang telah rusak. Batu di tangannya adalah simbol dari apa yang dulu kokoh dan pasti tradisi, akar keluarga, sejarah yang mengalir dalam darahnya. Tapi di kejauhan, angin dari kota membawa bisikan masa depan yang belum terjamah. Sebuah pilihan yang belum pernah ia hadapi sebelumnya bertahan dengan apa yang sudah ia kenal atau melangkah ke sesuatu yang tak pasti.
Langit di atasnya tampak seperti kanvas tak terjawab. Awan-awan gelap itu bergerak perlahan, tapi pasti, mengingatkan Marta pada keputusan yang terus ia tunda. Di dalam dadanya, pertanyaan-pertanyaan itu semakin berat, menghimpit, seperti janji yang belum terpenuhi. Sebesar apa pun Marta ingin melarikan diri dari kenyataan ini, ia tahu bahwa waktu sudah habis. Keputusan harus diambil.
Batu itu, kecil dan tampak remeh, kini seperti membawa seluruh bobot keluarganya impian ayahnya, kerja keras kakeknya, bahkan harapan ibunya yang tersembunyi di balik senyum lelahnya setiap hari. Marta menggenggam batu itu lebih erat, merasakan dinginnya menembus kulit, mencoba mencari kekuatan dari dalam benda kecil itu, seakan Abah Semar ada di sampingnya, berbicara pelan di telinganya.
“Apa yang kau cari, Marta?” suara itu seolah menggema di kepalanya, mengingatkannya pada semua pelajaran yang pernah ia dapat dari kakeknya. "Kau tahu, batu ini tak akan memberikanmu jawaban. Tapi ia bisa mengingatkanmu pada apa yang penting."
Marta memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan kembali masa kecilnya, saat ia dan Abah Semar sering duduk di tepi ladang ini, berbincang tentang segala hal tentang alam, tentang kehidupan, dan tentang tanah yang selalu menjadi pusat keluarga mereka. Bagi Abah Semar, ladang ini bukan hanya sumber kehidupan, tapi juga pusat dari segala sesuatu yang berarti. “Tanah ini adalah jantung kita, Marta,” kata Abah suatu ketika. “Jika kau mencintainya, ia akan memberikan hidup. Jika kau mengabaikannya, ia akan mati bersamamu.”
Namun, sekarang, ladang ini lebih terlihat seperti padang yang hampir mati, tanahnya retak dan kering, seperti sebuah pertanda akan akhir yang tak terhindarkan. Marta membuka mata lagi, menatap hamparan tanah itu dengan perasaan bercampur kesedihan, ketakutan, dan keraguan. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa bertahan di sini akan memerlukan lebih dari sekadar tekad. Tapi meninggalkan semua ini? Bagaimana mungkin?
Jauh di kejauhan, di balik barisan pohon, suara samar-samar dari kota terdengar, bagaikan bisikan yang memanggilnya, menariknya keluar dari tempat yang sudah ia kenal sepanjang hidupnya. Kota itu seperti janji yang tak terucapkan sebuah masa depan yang penuh kemungkinan, tapi juga penuh risiko. Kota adalah tempat di mana semua pertanyaan mungkin terjawab, tetapi juga tempat di mana akar-akarnya bisa tercerabut dengan mudah. Marta tahu, sekali ia melangkah ke sana, mungkin tak ada jalan untuk kembali.
“Langit ini luas, tapi apa yang akan kau temukan di ujungnya?” gumam Marta dalam hati, mengulang pertanyaan yang pernah dilontarkan Abahnya bertahun-tahun yang lalu. Batu di tangannya masih terasa berat, seolah menuntut jawaban yang belum bisa ia berikan.
Hembusan angin lembut membawa embun pagi yang menyegarkan kulitnya. Di antara kelembutan udara itu, Marta merasakan bahwa embun itu adalah simbol dari semua hal kecil yang masih hidup, yang masih memberikan harapan di tengah kekeringan ini. Embun, meski kecil, mampu memberi kehidupan pada tanah yang hampir mati. Sama seperti keputusan kecil yang mungkin bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Tapi keputusan apa yang harus ia buat?
Saat itulah suara langkah-langkah halus terdengar dari belakang. Marta tak perlu menoleh untuk tahu bahwa itu ibunya. Kehadiran ibunya, meski tak berbicara, selalu membawa kedamaian yang aneh. Ia hanya berdiri di samping Marta, tak mengatakan apa pun, hanya menatap ke arah yang sama ladang yang menjadi sumber perdebatan dalam keluarga mereka.
“Abahmu pernah bilang,” ibunya akhirnya membuka suara, “tanah ini tidak pernah meminta apa pun selain cinta dan kerja keras.” Suaranya lembut, penuh kenangan. “Tapi cinta saja tak cukup, Marta. Kau juga harus tahu kapan harus melepaskannya.”
Marta menoleh sedikit, menatap wajah ibunya yang kini mulai dipenuhi kerutan-kerutan halus. Di balik kelelahan yang terpancar dari wajah itu, ada kebijaksanaan yang ia tahu tak bisa ia abaikan. Ibunya benar, dan itulah yang membuat keputusan ini semakin sulit. Cinta pada tanah ini adalah satu hal, tapi hidup dari tanah ini adalah hal yang berbeda.
“Mungkin sudah waktunya kita membuka pintu baru,” kata ibunya pelan, matanya masih menatap jauh ke ladang. “Terkadang, yang kita pertahankan bukan karena kita butuh, tapi karena kita takut kehilangan apa yang sudah kita kenal.”
Marta tidak menjawab. Kata-kata ibunya menggema di kepalanya, sama seperti nasihat dari Abah Semar. Batu di tangannya terasa semakin dingin, semakin berat. Ia tahu bahwa keputusan ini bukan hanya tentang memilih antara dua jalan ini adalah soal memilih siapa dirinya dan apa yang akan ia wariskan pada generasi berikutnya.
Langit mulai gelap, angin yang tadinya lembut kini berubah menjadi lebih dingin. Di kejauhan, suara kota semakin jelas, seolah mendekat, menawarkan sebuah janji. Tapi ladang ini, tanah ini, adalah rumahnya sebuah warisan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Apa yang harus ia lakukan?
Marta menunduk, menatap batu kecil itu sekali lagi. Apakah ini akan menjadi simbol dari warisan yang ia bawa terus, ataukah akan ia tinggalkan di sini, bersama semua kenangan yang pernah ada?
Marta berdiri di tepi ladang dengan batu di tangan, di ambang keputusan yang akan mengubah segalanya. Langit mulai menutup, embun pagi yang menyejukkan kini terasa lebih dingin, dan suara kota semakin keras di kejauhan. Di depannya, ladang yang hampir mati menunggu, sementara di dalam dadanya, dua dunia bertarung tradisi yang menahannya dan masa depan yang memanggilnya.
Dengan sekali embusan napas yang panjang, Marta menggenggam batu itu lebih erat, lalu melangkah maju, meninggalkan jejak di tanah yang retak. Namun, langkah ini, ia tahu, bukan hanya langkah biasa. Ini adalah langkah menuju keputusan yang akan mengubah seluruh hidupnya.
Dan di langit, angin membawa suara yang belum selesai sebuah pertanda bahwa apa pun yang ia pilih, dunia di sekitarnya akan berubah selamanya.
Marta berdiri di tepi ladang keluarganya, menggenggam batu kecil yang pernah diberikan oleh kakeknya, Abah Semar. Batu itu terasa dingin di telapak tangannya, sebuah pengingat akan masa lalu yang seakan terpaku di sana. Langit di atasnya tampak mendung, menandakan hujan yang mungkin segera datang. Namun, di dalam hati Marta, badai sudah berkumpul sejak lama.
Seiring beratnya batu di tangan Marta, demikian pula pertanyaan yang bergema di dalam dadanya. Ia menyadari bahwa berdiri di tepi ladang selamanya tidak akan memberikan jawaban. Jarak antara dirinya dan pintu tua di ujung ladang seakan menjadi simbol dari keputusan yang harus ia ambil. Dengan tarikan napas panjang, ia mulai melangkah, meninggalkan ladang dan menuju pintu itu tempat di mana dunia luar, yang selama ini ia hindari, menunggu.
Jalan setapak itu melengkung seperti sulur tua, dihaluskan oleh langkah-langkah yang telah bertahun-tahun melaluinya. Setiap belokan di jalan itu membawa kenangan, seolah-olah waktu tidak benar-benar pergi tetapi bersembunyi di balik pohon-pohon dan bebatuan. Marta berjalan perlahan, membiarkan setiap sudut desa ini berbicara padanya, memberikan cerita yang seakan tumbuh dari tanah dan berakar di ingatannya.
Di sebelah kiri, berdiri tegak sebuah pohon tua yang ditanam kakeknya, Abah Semar, ketika Marta masih bocah. Pohon itu kini besar dan kuat, akarnya menancap jauh ke dalam bumi, mencengkeram tanah seperti tangan yang tak mau melepaskan. "Akar kita seperti itu," kata Abah Semar suatu hari, "semakin dalam mereka tumbuh, semakin sulit kita untuk berpindah." Pohon itu tidak hanya tumbuh sebagai bagian dari alam, tetapi juga sebagai simbol dari kedalaman hubungan keluarga mereka dengan tanah ini. Namun, di setiap langkahnya, Marta merasa jarak antara dirinya dan pohon itu semakin melebar.
Jalan setapak itu terus membawanya melewati pemandangan yang akrab. Di depan, pagar tua yang setengah rusak berdiri setengah hati, seolah tak yakin apakah ia masih bisa berdiri tegak setelah badai besar yang pernah menerjangnya. Pagar itu adalah saksi bisu dari banyak hal yang telah terjadi, dari perayaan panen hingga hujan tangis saat gagal panen. Namun, seperti kehidupan itu sendiri, pagar itu tak pernah sepenuhnya kembali seperti sedia kala. Mungkin, pikir Marta, ada beberapa hal dalam hidup yang tak akan pernah bisa kembali seperti dulu, tak peduli seberapa keras kita berusaha memperbaikinya.
Angin lembut meniup rambut Marta, membawa aroma tanah yang basah oleh embun pagi. Di desa ini, semua terasa akrab, bahkan udara yang ia hirup. Setiap bau, setiap hembusan angin, seolah membawa pesan dari masa lalu, mengingatkan Marta pada hari-hari ketika segalanya terasa lebih sederhana. Di desa ini, tak ada suara bising kendaraan atau hiruk pikuk kota. Hanya angin, suara burung yang menyapa pagi, dan suara alam yang seolah berbisik di telinganya, "Ini rumahmu."
Namun, di kejauhan, suara samar-samar kota mulai terdengar, seperti gumaman yang belum jelas, namun pasti. Suara itu selalu ada, meski terdengar jauh dan asing. Kota itu, tempat yang menjanjikan masa depan yang berbeda, selalu terasa dekat namun tetap tak terjangkau, seolah-olah dunia di luar desa ini tak pernah benar-benar ingin mengganggu kehidupan yang tenang di sini. Tapi Marta tahu, suara kota itu semakin keras. Ia bisa mendengarnya, dan semakin ia mendekati pintu tua itu, semakin nyata panggilan itu.
Pintu tua di ujung ladang keluarganya berdiri di sana, tegak namun usang, terbuat dari kayu jati yang sudah mulai lapuk oleh waktu. Pintu itu adalah simbol perbatasan, batas antara desa dan dunia di luar sana. Di balik pintu itu, dunia baru menanti kota, kebisingan, kesempatan, dan perubahan. Namun, di sisi lain pintu ini, ada tradisi, ada warisan, ada akar yang mengikatnya. Berjalan menuju pintu itu, Marta merasakan setiap langkahnya membawa makna yang lebih besar daripada sekadar perjalanan fisik.
“Batu, langit, pintu, dan embun,” gumam Marta dalam hati, mengulang kata-kata Abah Semar yang selalu ia dengar. “Batu adalah dasar, langit adalah cita-cita, pintu adalah pilihan, dan embun adalah pengingat bahwa setiap hal besar selalu dimulai dengan sesuatu yang kecil.”
Saat ia berjalan, tangannya masih menggenggam batu kecil yang diberikan Abah Semar bertahun-tahun lalu. Batu itu terasa berat di tangannya, meski kecil dan tak berarti di mata orang lain. Bagi Marta, batu itu adalah simbol stabilitas, akar, dan tradisi yang telah diwariskan keluarganya. Tapi di sisi lain, batu itu juga terasa seperti beban, beban tanggung jawab yang tak mudah dilepaskan.
Di sepanjang perjalanan menuju pintu tua itu, setiap langkah Marta dipenuhi oleh pikiran tentang apa yang harus ia lakukan. Desa ini, dengan segala kenangan yang tertanam di dalamnya, adalah rumah. Tapi di balik pintu tua itu, ada janji yang belum ia kenal sebuah dunia yang tak pasti, tetapi penuh dengan kemungkinan. Setiap pohon, setiap batu di jalan ini mengingatkannya pada hidupnya yang sudah begitu terikat dengan tempat ini. Namun, ia juga tahu bahwa jika ia ingin maju, jika ia ingin tumbuh, ia harus berani melangkah melewati pintu itu.
Kakinya berhenti di depan pohon tua lainnya pohon yang tumbuh tepat di sebelah pagar setengah rusak. Akar pohon itu begitu kuat, menyembul dari tanah, menciptakan jalur-jalur yang rumit dan kuat. Pohon itu adalah simbol dari keluarga Marta, yang akarnya telah tertanam begitu dalam di desa ini, di tanah ini. Tapi ia juga melihat ranting-ranting yang mati, dahan yang mulai mengering, tanda-tanda bahwa bahkan pohon yang paling kuat pun tak bisa bertahan selamanya tanpa perubahan.
"Akankah aku juga seperti pohon ini?" pikir Marta dalam hati. "Bertahan, tapi lambat laun kehilangan bagian-bagian dari diriku? Atau akankah aku mencari tempat baru, di mana aku bisa tumbuh kembali?"
Langkah-langkahnya menjadi lebih lambat, lebih berat, seolah tanah di bawahnya mencoba menahannya, mengikatnya pada akar yang telah ia kenal sepanjang hidupnya. Tapi suara kota di kejauhan semakin jelas, semakin keras, seolah memanggilnya, menariknya menuju masa depan yang belum pernah ia bayangkan.
Ketika ia akhirnya tiba di depan pintu tua itu, Marta berhenti. Pintu itu tidak berubah sejak terakhir kali ia melihatnya masih kokoh meski kayunya mulai lapuk, masih menghadap ke arah yang sama, seolah menunggu seseorang untuk membukanya. Di satu sisi pintu itu adalah semua yang ia kenal keluarga, desa, tanah yang ia cintai. Di sisi lain, ada dunia yang tak pasti, namun penuh dengan janji baru.
Ia menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk, jantungnya berdebar lebih kencang. "Langit dan bumi hanya dipisahkan oleh pintu ini," pikirnya. “Apakah aku siap untuk membuka pintu itu dan melihat apa yang ada di seberang?”
Langit di atasnya semakin gelap, pertanda hujan yang mungkin akan turun. Tapi Marta tetap berdiri di sana, di depan pintu tua yang menjadi batas antara hidup yang ia kenal dan hidup yang mungkin akan berubah selamanya.
Marta menapaki jalan setapak yang sudah sangat dikenalnya, berkelok seperti sulur tua yang dipenuhi akar kenangan. Setiap langkah membawa kilas balik pohon yang ditanam Abah Semar saat Marta masih kecil kini akarnya menjalar jauh ke dalam tanah, mengingatkan pada hubungan mendalam yang mengikatnya pada tempat ini. Di sana, pagar yang rusak setengah hati diperbaiki setelah badai, menjadi lambang bahwa tidak semua yang hancur bisa kembali seperti sediakala.
Namun, meski begitu, kota yang berada di kejauhan tetap terasa jauh, seolah-olah dunia luar selalu puas untuk menunggu di batas desa ini, menanti saat Marta akhirnya siap untuk menyeberangi batas tersebut.
Saat Marta mendekati pintu tua di ujung jalan, ia melihat sosok yang tak asing lagi Uwa Neman, berdiri dengan tenang, seperti sebuah tanda batas yang menunggu di persimpangan hidupnya. Marta tahu, percakapan ini akan menjadi titik kunci antara keputusan dan keraguan yang selama ini menggelayuti hatinya.
Marta tiba di depan pintu tua itu. Langit mulai menggelap, seolah-olah menandakan bahwa waktu untuk mengambil keputusan semakin mendekat. Di sana, di tepi ladang yang menjadi batas antara desa dan dunia di luar sana, ia melihat Uwa Neman berdiri, menunggu dengan sabar. Marta tahu, sejak lama Uwanya berharap ia akan melangkah ke luar, meninggalkan semua yang selama ini mereka kenal, dan memilih hidup yang berbeda.
Pintu kayu itu, tua dan rapuh, masih berdiri kokoh meskipun berderit di beberapa tempat. Pintu itu adalah batas. Di baliknya, ada kehidupan yang tak pernah Marta alami gemerlap kota, peluang yang tak terduga, dan mungkin juga kemerdekaan dari masa lalu yang selama ini menahannya.
"Sudah sampai juga, Nak?" suara Uwa Neman pelan namun penuh makna. Ia menatap Marta dengan senyum lembut yang selalu tampak tenang, tapi kali ini dengan sorot mata yang berbeda seolah-olah ia menunggu sesuatu yang besar dari Marta.
Marta mendekat, mengangguk sedikit sebagai jawaban. Ia merasakan ketegangan yang menghimpit dadanya, seolah-olah pintu di depannya membawa seluruh beban pilihan yang harus ia ambil.
Uwa Neman menganggukkan kepalanya ke arah pintu tua itu, lalu mengetuknya pelan dengan buku-buku jarinya. “Pintu ini,” katanya, dengan suara yang dalam namun tenang, “sudah berdiri lebih lama dari usiaku, bahkan lebih lama dari usiamu. Tapi hanya karena sesuatu sudah lama berdiri, bukan berarti itu tak bisa runtuh. Apa yang kau pertahankan, Marta? Warisan yang sudah mulai rapuh? Atau sekadar kebiasaan yang tak pernah kau pertanyakan?”
Marta menatap pintu itu dengan lebih saksama. Kayu jati tua itu masih kokoh, namun di beberapa tempat sudah mulai mengelupas dan lapuk. Setiap hentakan angin membuatnya berderit, seperti tubuh tua yang sedang berjuang untuk tetap berdiri. “Kau pikir kita harus pergi?” tanya Marta, suaranya hampir tak terdengar, diembuskan bersama angin yang membawa aroma lembab hujan.