"Dinding-dinding kayu rumah itu berbicara dalam bisikan yang hanya bisa didengar Marta." Di ruang tengah rumah keluarga yang tua, segala sesuatu terasa bergerak lambat. Setiap retakan di kayu yang melapisi dinding seperti garis waktu yang tak terhitung, menyimpan kenangan yang sulit diabaikan namun semakin menjauh. "Kenangan yang tersimpan di sana bagaikan tumpukan beban tak terlihat, bertambah berat seiring dengan langkah-langkah waktu."
Marta duduk diam di kursi rotan tua yang berderit setiap kali ia bergeser. Matanya terpaku pada lantai, yang berderit setiap kali anggota keluarganya melangkah, sebuah suara yang dulu menandakan kehidupan kini menjadi gema yang mengganggu seperti peringatan tentang fondasi yang mulai goyah. Lantai itu, dulu kokoh di bawah kaki ayahnya, kini rapuh di bawah kaki-kaki generasi yang semakin lelah oleh beban tanggung jawab.
"Rumah ini dulu adalah benteng," pikir Marta, namun sekarang terasa lebih seperti penjara emosional yang tak kasat mata. "Dulu, dinding-dinding ini adalah pelindung dari dunia luar. Sekarang, mereka membatasi, mempersempit ruang yang dulu menjadi tempat perlindungan." Setiap sudut rumah tampak mengeras, seolah setiap bagian bangunan menekan Marta lebih dalam ke dalam dirinya sendiri. Rumah itu, yang dulunya penuh tawa, kini hanya dipenuhi dengan jarak yang tak terlihat namun kian membesar.
Langit-langit rendah terasa lebih menekan dari sebelumnya, membuat napas Marta terasa berat. Ia memandang ke atas, ke kayu yang mulai lapuk di beberapa tempat. "Berat dari mimpi-mimpi yang tak terucapkan menekan dada, seperti udara lembap sebelum badai tropis," pikirnya. Mimpi-mimpi yang pernah hidup di rumah ini, sekarang terkubur dalam diam.
Di luar rumah, senja menutup hari dengan warna keemasan yang perlahan-lahan meredup. Desa Sinar Loka yang dulu ramai kini sunyi, suara angin yang berhembus di antara pepohonan singkong yang meranggas menjadi satu-satunya saksi dari hidup yang mulai memudar di tempat ini. Desa ini adalah cerminan dari rumah Marta, penuh dengan cerita yang semakin jarang diucapkan, tetapi masih berbisik dari setiap sudut dan jalan berdebu. Pohon-pohon besar yang dulu menaungi sekarang tampak merunduk ke tanah, layu oleh waktu dan harapan yang tak lagi tumbuh.
"Setiap sudut desa ini penuh dengan sejarah," pikir Marta, namun sejarah itu tampak semakin jauh dari jangkauan. Desa yang dulu menjadi tempatnya bertumbuh, tempat di mana setiap orang saling mengenal, kini terasa asing. Debu berputar pelan di bawah langkah-langkah yang tergesa-gesa, seolah membawa ingatan masa lalu yang tak lagi bisa dipertahankan.
Sambil memandangi lantai yang berderit, Marta teringat pada percakapan dengan Abah Semar bertahun-tahun lalu. "Kebenaran itu seperti retakan di kayu, Marta," kata Abahnya suatu kali. "Di mata orang lain, retakan itu kecil dan tak berarti, tapi kalau kau perhatikan lebih dalam, di sana ada cerita yang tak terucapkan."
Sekarang, Marta merasa dinding-dinding dan lantai rumah itu penuh dengan retakan kecil, penuh dengan kebenaran-kebenaran yang belum pernah ia pahami sepenuhnya. "Mungkin kebenaran rumah ini bukan hanya tentang tanah dan keluarga," gumamnya dalam hati, "tapi tentang sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang sudah lama kami abaikan."
Namun, di tengah kerumitan emosinya, ada sesuatu yang mendorong Marta untuk bertindak. Ia tahu bahwa waktu tidak akan menunggu, dan keputusan harus segera diambil. "Aku tidak bisa terus seperti ini," pikirnya. Di balik segala kesulitan yang ia rasakan, Marta sadar bahwa ladang keluarganya tidak akan bertahan tanpa perjuangan. Ladang itu, seperti rumah ini, mulai retak, menunggu tangan yang kuat untuk memperbaikinya atau melepaskannya.
Marta mengepalkan tangan, bukan karena marah, tapi karena tekad. "Mimpi itu tidak diberikan begitu saja," ia ingat kata-kata kakeknya. "Mereka diperoleh, satu langkah demi satu langkah." Dia sudah lama belajar bahwa perjuangan keluarganya di tanah ini bukanlah tentang kemenangan besar, tetapi tentang ketahanan tentang tetap berjalan bahkan saat segala sesuatu terasa tak mungkin.
Ketika dia mulai merasa bahwa keputusan tinggal atau pergi adalah tentang tanah dan keluarga, sesuatu di dalam dirinya berkata lain. "Mungkin masalahnya bukan tentang ladang ini," pikir Marta. "Mungkin aku harus mulai melihat lebih jauh, lebih dalam." Rumah ini, dengan segala retakannya, bukan hanya simbol dari masa lalu keluarganya, tetapi juga cermin bagi perpecahan batinnya. Ada sesuatu di sini yang harus ia temukan, sesuatu yang mungkin tidak ada hubungannya dengan ladang sama sekali.
Marta berdiri perlahan dari kursi, setiap gerakan terasa berat. Tapi di balik beban itu, ia merasakan sesuatu yang mendesak untuk keluar keinginan untuk menemukan kebenaran yang telah lama tersembunyi di balik dinding kayu rumah ini.
Di tengah kebingungan batinnya, Marta mendengar bunyi derit pelan dari lantai, di sudut ruangan. Suara itu seolah memanggilnya, mengarahkan langkahnya ke arah sudut yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya. "Ada sesuatu di sini," bisiknya pada dirinya sendiri.
Dan pada saat itu, ketika Marta berlutut untuk memeriksa lantai yang berderit, ia tahu bahwa apa pun yang ia temukan di bawahnya, mungkin akan mengubah segalanya.
Marta menghela napas panjang, seolah mencoba melepaskan beban kenangan yang menekan dadanya. Udara di dalam rumah terasa semakin tebal, seolah menuntut kehadiran keputusan yang belum diambil. Ia tahu bahwa dinding dan lantai rumah tua ini bukan sekadar kayu yang mulai lapuk, tetapi simbol dari hubungan keluarganya yang semakin renggang. Tanpa sadar, kakinya melangkah ke ruang tengah, di mana Uwa Neman dan ibunya telah duduk, masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Keheningan di ruangan itu menunggu pecah, seperti lantai yang berderit di bawah beban yang terlalu berat.
"Ruang tengah itu terasa terlalu sempit, meski luasnya tidak pernah berubah." Setiap elemen di dalamnya seperti membawa beban berat yang tak terlihat, tetapi selalu terasa. Dinding kayu rumah yang sudah tua, dengan retakan-retakannya yang halus, mengisyaratkan waktu yang terus mengikis, seolah-olah menyimpan cerita yang tak pernah diucapkan oleh penghuni rumah ini. Mereka yang tinggal di dalamnya mulai membangun jarak, namun ruang ini terus menahan mereka dalam batas-batas yang sudah ditetapkan sejak dulu.
Marta duduk diam di kursinya, matanya menelusuri pola-pola kayu di dinding yang sudah berubah warna oleh waktu. "Setiap retakan di dinding itu bukan hanya tanda usia, tetapi juga jarak yang semakin membesar antara mereka yang pernah dekat." Lantai kayu di bawah kaki mereka berderit setiap kali seseorang bergerak, mengirimkan bunyi samar yang terasa seperti peringatan akan sesuatu yang lebih besar fondasi keluarga ini yang mulai goyah.
Meja kayu tua di tengah ruangan, tempat di mana keluarganya dulu berbagi cerita, kini menjadi tempat di mana keheningan bertahan lebih lama dari suara. Uwa Neman duduk di seberang meja, wajahnya kaku dengan sikap tegas yang sudah lama ia tunjukkan. Di sisinya, Ibu Marta menundukkan pandangan, tangannya yang keriput menggenggam sudut piring dengan gemetar halus, seperti hendak mengatakan sesuatu namun tak sanggup mengeluarkannya.
Ruangan itu seakan menyimpan setiap pertengkaran, setiap harapan yang tak terucapkan, di antara dinding-dindingnya. "Rumah ini," pikir Marta, "dulu menjadi saksi bisu bagi kebahagiaan dan impian yang tumbuh bersama di bawah atapnya. Kini, ia terasa seperti penjara yang menyekap mereka dengan kesunyian." Bahkan udara di dalamnya terasa berat, seolah-olah mengandung semua rasa kecewa dan pertanyaan yang belum terselesaikan.
Lampu tua yang tergantung di atas meja berpendar redup, cahaya kuningnya menyinari perabotan tua yang tak lagi segar. Angin dari jendela yang sedikit terbuka berhembus pelan, menyapu debu yang menumpuk di sudut ruangan. Setiap detik yang berlalu terasa seperti hembusan waktu yang semakin jauh dari harapan yang pernah mereka bangun bersama.
Uwa Neman, yang selama ini selalu berbicara dengan nada penuh kepastian, memulai pembicaraan. Suaranya terdengar berat, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti batu yang jatuh ke dalam sumur dalam meninggalkan gema yang bergetar di dalam hati Marta. "Ladang ini tidak akan bisa bertahan selamanya seperti ini, Marta," katanya, matanya menatap tajam ke arah Marta. "Kita harus membuat keputusan yang jelas."
Marta tetap diam, jantungnya berdetak kencang. Uwa Neman berbicara tentang rencana-rencana baru untuk ladang, tetapi setiap kata terdengar seperti ancaman, seperti pilihan yang akan mengubah segalanya. Ladang yang mereka bicarakan bukan sekadar tanah; itu adalah warisan, simbol dari perjuangan keluarga yang telah berlangsung selama generasi.
"Kadang, Marta, kita harus tahu kapan harus menyerah," lanjut Uwa Neman, suaranya masih terdengar mantap. "Bertahan tanpa hasil hanya akan membuang waktu dan tenaga."
Marta mengangguk perlahan, meskipun dalam hatinya terjadi pertentangan. Kata-kata Uwa Neman menghantamnya, tapi ia tak bisa sepenuhnya menerimanya. "Benarkah menyerah adalah satu-satunya pilihan?" pikirnya, namun ia tidak berani menyuarakan pertanyaan itu. Di hadapan keluarganya, ketidakpastian bukanlah sesuatu yang bisa ditunjukkan dengan mudah.
Ibu Marta akhirnya mengangkat pandangannya, meskipun suaranya tetap lembut. "Tanah ini telah menjadi hidup kita, Neman. Kita semua tahu itu," ucapnya pelan, namun penuh makna. "Tapi kita juga harus ingat, tanah tidak selalu memberi apa yang kita butuhkan. Kadang, kita yang harus berkorban lebih banyak."
Marta merasakan kegetiran di setiap kata yang diucapkan ibunya. Selama bertahun-tahun, Ibu Marta telah berjuang untuk mempertahankan keluarga mereka, bekerja di ladang dengan tangan yang kini mulai melemah. Tapi bahkan ia tahu, ada batas untuk setiap perjuangan.
"Apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Marta dengan suara rendah. "Apakah aku harus meninggalkan tanah ini? Atau tetap bertahan dengan segala risikonya?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, dan ruangan kembali hening. Seolah-olah setiap orang di sana sedang menimbang jawaban yang terlalu berat untuk diucapkan.
Tiba-tiba, lantai kayu di sudut ruangan berderit lebih keras dari biasanya. Semua mata tertuju pada suara itu. "Lantai ini," pikir Marta, "seperti sebuah metafora dari keluarga kami semakin lama kami berdiri di atasnya, semakin ia tak sanggup menahan beban yang ada."
Saat Marta menatap lantai yang berderit, sebuah kenangan tiba-tiba muncul. "Ada sesuatu yang pernah dikatakan Abah Semar tentang lantai ini," gumamnya dalam hati. Abah pernah mengatakan, "Fondasi rumah ini bukan hanya kayu, Marta. Fondasinya adalah kita, keluarga. Jika kita goyah, rumah ini pun akan retak."
Mungkin, retakan yang ada di rumah ini bukan hanya karena usia, tetapi karena hubungan mereka yang semakin jauh. Dan mungkin, apa yang benar-benar harus diperbaiki bukanlah ladang, tetapi bagaimana mereka saling memahami.
Marta menatap Uwa Neman, yang masih berbicara tentang rencana besar untuk masa depan, dan Ibu Marta, yang diam-diam meremas ujung piringnya. "Mungkin inilah saatnya aku membuat keputusan sendiri," pikir Marta. "Bukan keputusan yang didorong oleh ketakutan atau tradisi, tapi oleh apa yang benar-benar aku inginkan."
Di tengah ketegangan yang tak terucapkan itu, suara pintu dapur yang berderit tiba-tiba terdengar, membuat semua orang terkejut sejenak. Marta tersenyum kecil, "Pintu ini sudah rusak bertahun-tahun, tapi selalu berhasil mengendurkan ketegangan."
"Pintu itu selalu tahu kapan harus berbicara," kata Ibu Marta sambil tertawa kecil, meskipun ada air mata di sudut matanya. Sejenak, ketegangan di ruangan itu mencair, memberi mereka napas panjang sebelum kembali ke realitas yang berat.
Namun, di balik momen ringan itu, Marta tahu bahwa kenyataan di luar rumah ini tidak sebaik apa yang tampak. Desa Sinar Loka, tempat mereka hidup selama ini, perlahan-lahan mulai berubah. Tanah yang dulu subur kini kering, dan sistem yang dulu melindungi petani kini tak lagi berpihak pada mereka. Marta melihat dengan jelas bahwa mereka yang bekerja keras di ladang tak lagi dihargai, sementara mereka yang tinggal jauh dari tanah ini, yang punya kuasa, menentukan nasib para petani kecil seperti keluarganya.
"Ini bukan hanya tentang keluarga kita," pikir Marta. "Ini tentang semua orang di desa ini yang bergantung pada tanah yang kian tandus."
Ketika percakapan kembali bergulir tentang masa depan ladang, Marta merasakan ada keputusan besar yang semakin mendekat. Ia tahu bahwa apapun yang ia putuskan akan membawa dampak yang besar, bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk seluruh keluarganya.
Dan pada saat itu, ketika matahari mulai tenggelam di luar jendela, Marta berkata pelan namun jelas, "Besok, aku akan ke ladang." Semua orang di ruangan itu berhenti. Ibu Marta menatapnya, penuh pertanyaan, dan Uwa Neman menunggu, ingin tahu apa yang akan diungkapkan Marta selanjutnya.
Tapi Marta belum siap untuk mengatakannya. "Besok," ulangnya, dengan tekad yang semakin jelas di hatinya, "aku akan membuat keputusanku."
Keheningan yang tercipta setelah kata-kata Uwa Neman menggantung di udara, seolah-olah setiap anggota keluarga menunggu waktu untuk melanjutkan. Mata Marta bergerak dari wajah Uwanya ke ibunya, yang masih memandang lantai dengan tangan yang gemetar di atas piring. Suara napas mereka terdengar dalam keheningan, sebelum akhirnya Ibu Marta mengangkat wajahnya, membawa sesuatu yang lebih dari sekadar jawaban, tetapi kebenaran yang telah lama tertanam di dalam hatinya. "Tanah ini, Neman..." ucapnya pelan namun tegas, seolah-olah kata-kata itu memulai babak baru dalam percakapan mereka.
"Tanah ini bukan hanya sekedar tanah, Neman." Suara Ibu Marta terdengar lembut namun tegas di ruang tengah yang dipenuhi keheningan. Di hadapan meja kayu tua yang usianya hampir sama dengan rumah ini, mereka duduk. Uwa Neman di satu sisi, dengan pandangan yang penuh pertimbangan, sementara Marta, yang duduk sedikit lebih jauh, hanya mendengarkan. Kata-kata Ibu Marta seperti angin sepoi yang tiba-tiba hadir, membawa kehangatan dan juga luka. "Ini adalah tempat di mana doa-doa kita tertanam bersama akar-akar singkong yang tumbuh. Setiap butir keringat yang jatuh di tanah ini adalah perpanjangan dari nyawa keluarga kita."
Mata Marta berpindah dari ibunya ke Uwa Neman. Di wajah Uwanya tergambar keraguan, sebuah pertempuran batin yang tampak jelas di balik sorot matanya yang berusaha terlihat kuat. Uwa Neman menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku tahu, Kak," jawabnya, suaranya rendah dan penuh pertimbangan. "Tapi dunia di luar sana tidak peduli pada doa-doa kita. Mereka tidak tahu tentang harapan yang terkubur di tanah ini. Mereka hanya tahu satu hal perubahan. Dan kita tak bisa terus menggenggam masa lalu, seolah itu adalah tali yang tak pernah putus."
Marta merasakan perasaan aneh menjalari dadanya. Kata-kata Uwa Neman seolah berputar dalam pikirannya seperti angin yang bergelung di antara dinding rumah tua ini. Tradisi yang selama ini mereka pertahankan, apakah benar-benar tak bisa bertahan di tengah dunia yang terus berubah? Apakah tali yang selama ini mengikat mereka bersama benar-benar bisa putus begitu saja?
"Tali yang kau maksud," Ibu Marta melanjutkan, matanya menatap lurus ke Uwa Neman. "Bukan hanya sekadar tali yang mengikat kita pada masa lalu, Neman. Itu adalah tali yang juga membuat kita tetap berdiri sampai hari ini. Apakah kita begitu mudah memotongnya hanya karena dunia di luar sana berubah?"