Langit sore mulai pudar perlahan, transisi lembut dari biru cerah menjadi ungu keabuan, seolah menyimpan rahasia yang tak pernah terucapkan. Angin berembus pelan, membawa aroma basah dari dedaunan yang gugur. Daun-daun kering jatuh diam di sekitar pelataran, menciptakan lantai alami yang renyah di bawah kaki Marta. Setiap langkahnya menimbulkan suara yang nyaris melankolis, seperti alam sedang berbisik dengan lembut, menceritakan sesuatu yang tak lagi muda namun abadi.
Ia duduk di bangku kayu, mata terpaku pada meja tua di hadapannya meja yang telah lama menjadi bagian dari rumah, dari hidupnya, namun tak pernah benar-benar disentuh. Ada sebuah laci di sana, tersembunyi selama bertahun-tahun, seperti rahasia yang menunggu momen untuk terbuka.
"Sekarang atau tidak sama sekali," gumamnya, suara serak oleh usia dan kelelahan. Ia meraih gagang laci itu, menariknya perlahan. Deritnya seperti keluhan waktu yang tertahan.
Debu-debu kecil beterbangan, menari dalam cahaya senja. Di dalam laci, tumpukan surat tua berbaris rapi. Kertasnya telah menguning, namun tinta di atasnya tetap kuat, bertahan melawan waktu. Surat-surat itu adalah warisan dari masa lalu, dari tangan kakeknya, Abah Semar seorang lelaki yang lebih dikenal karena diamnya daripada kata-katanya.
Marta meraih salah satu surat, jantungnya berdetak lebih cepat. Tangannya gemetar saat ia membuka lipatannya. Kata-kata pertama di surat itu seperti hantaman kenangan yang tiba-tiba, membawa rasa yang tak pernah benar-benar hilang kehilangan, kerinduan, harapan yang sempat terkubur.
"Untuk cucuku tercinta,
Jika surat ini kau temukan, mungkin aku sudah tak ada lagi di sisimu. Tapi ingatlah, hidup adalah perjalanan yang panjang, dan setiap langkahmu akan membawamu lebih dekat pada dirimu yang sebenarnya. Takdir bukanlah sesuatu yang datang tanpa alasan. Kitalah yang menenunnya, satu benang demi satu benang."
Marta menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata sejenak. Setiap kata dari surat itu terasa berat, menyentuh bagian terdalam dari jiwanya yang tak pernah ia sadari ada. Ia tahu, ini bukan sekadar pesan dari seorang kakek kepada cucunya. Ini lebih dari itu ini adalah pengingat bahwa hidup selalu bergerak, meski kadang kita merasa terjebak di dalamnya.
Desa tempat Marta tinggal tampak seolah terhenti oleh waktu. Setiap sudutnya berbisik tentang masa lalu tentang harapan-harapan yang pernah tumbuh dan kemudian menghilang bersama angin. Rumah-rumah tua berdiri kokoh meski berlumut, menjadi saksi bisu dari cerita-cerita yang tergantung dari setiap pohon, dari setiap retakan di dinding. Seperti desa itu sendiri, Marta tahu bahwa dirinya pun terperangkap dalam sejarah yang tak pernah benar-benar mati.
Abah Semar, kakek yang tak pernah banyak bicara, ternyata menyimpan lebih banyak dari yang pernah diduga Marta. Surat-surat ini bukan hanya sekadar pesan biasa, tetapi potongan-potongan dari hidup seseorang yang diam-diam menyulam kehidupannya dengan tenun makna.
Marta kembali mengingat kata-kata terakhir abah sebelum wafat, “Hidup ini seperti teka-teki, Marta. Kita yang harus mencari jawabannya, meski kita tak pernah yakin sudah menyelesaikannya.”
Hari-hari berlalu dengan ritme yang sunyi di desa ini, namun surat-surat itu mulai membangkitkan gejolak dalam diri Marta. Surat-surat itu seolah berbicara lebih dari sekadar kata-kata di atas kertas. Mereka seperti mengajak Marta untuk menelusuri jalur-jalur yang telah lama dia lupakan jalur yang pernah ditempuh kakeknya, dan mungkin, jalur yang juga harus ia tempuh.
Malam itu, Marta duduk di bawah langit yang pekat, ditemani segelas teh hangat dan pikiran yang berputar-putar dalam keheningan. Surat-surat dari Abah Semar ada di sampingnya, menunggu untuk dibaca, namun pikiran Marta melayang pada pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Di sebelahnya, Wira, sahabatnya sejak kecil, berdiri sambil menyalakan rokok. Asap tipis membubung ke udara, berbaur dengan dinginnya malam. “Marta, kenapa kelihatan begitu murung akhir-akhir ini?” tanyanya, nadanya ringan namun penuh pengertian.
Marta menghela napas panjang. “Ada surat-surat dari Abah Semar. Isinya... rumit. Terasa seperti teka-teki.”
Wira tersenyum tipis, matanya tajam dalam keheningan malam. “Kau tahu, Marta, hidup itu seperti sebutir pasir. Sendirian, ia tampak tak berarti. Tapi di tangan yang tepat, ia bisa menjadi sesuatu yang lebih berharga, bahkan mutiara. Mungkin surat-surat itu adalah mutiara yang belum kau pahami sepenuhnya.”
Marta hanya diam, membiarkan kata-kata Wira menggantung di udara. Dalam diam itu, ia merasa semakin yakin bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggu di balik setiap kata, setiap surat.
Pagi berikutnya, Marta bangun dengan perasaan yang berbeda. Tekad mulai tumbuh dalam dirinya, meski ia sendiri belum tahu ke mana semua ini akan membawanya. Namun satu hal yang pasti ia tidak bisa lagi duduk diam, membiarkan waktu berlalu tanpa tindakan.
Marta mengepalkan tangannya. Surat-surat dari Abah Semar adalah kunci. Kunci untuk memahami sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Dan seperti yang kakeknya katakan, hidup ini adalah perjalanan, dan langkah pertama harus diambil, seberat apa pun itu.
Ia menyadari, perubahan bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba. Ia adalah akumulasi dari keputusan-keputusan kecil, dari langkah-langkah kecil yang diambil dengan penuh keyakinan.
Dan saat ia melangkah keluar dari rumah, angin pagi yang segar seolah berbisik padanya, memberikan dorongan yang ia butuhkan untuk melangkah maju.
Angin yang berembus pelan membawa kenangan dari masa lalu, seolah mendorong Marta untuk bertindak, bukan hanya merenung. Di balik ketenangan pelataran rumah itu, tersimpan rahasia yang belum pernah benar-benar ia sentuh. Langkahnya terasa berat saat ia mendekati meja tua, tangannya terulur ke arah laci. Ketika jari-jarinya menyentuh kayu yang kasar, Marta menyadari bahwa apa pun yang ia temukan di dalamnya, akan mengubah cara ia melihat dunia sekitarnya dan keluarganya. Ia menarik napas panjang, membuka laci itu, dan membiarkan masa lalu hadir kembali dalam bentuk surat-surat yang kini terserak di hadapannya.
Marta duduk di pelataran rumah, diterpa angin sepoi yang membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Di sekelilingnya, suasana sore bertransisi perlahan, membawa keheningan yang menelusup ke dalam jiwanya. Surat-surat yang ia temukan di laci tua itu berserakan di atas meja kayu. Sehelai di antaranya menarik perhatiannya lebih dari yang lain tulisannya tampak lebih tegas, seolah kata-kata yang tertoreh di kertas itu memiliki urgensi tersendiri.
Perlahan, Marta membuka surat itu. Bau kertas tua yang tercium membuatnya seperti kembali ke masa kecil, saat ia sering bermain di pelataran ini sementara Abah Semar duduk diam di kursinya, memandang ke luar dengan tatapan yang penuh pemikiran. Surat ini terasa seperti jembatan ke masa lalu ke saat-saat yang tak pernah sepenuhnya ia pahami ketika itu.
"Marta, cucuku,
Kau mungkin sudah dewasa saat menemukan surat ini. Aku berharap, ketika kau membacanya, kau telah siap menerima warisan yang lebih besar dari sekadar tanah dan ladang singkong yang kau rawat. Dunia ini lebih dari sekadar apa yang tampak. Di tanah ini, bukan hanya tanaman yang bisa tumbuh, tapi juga ilmu, pemahaman, dan kebijaksanaan."
Marta berhenti sejenak, meresapi kalimat-kalimat itu. Ada sesuatu yang lebih mendalam dalam pesan ini sesuatu yang melampaui harta atau properti fisik. Abah Semar, yang selama ini ia kenal sebagai lelaki pendiam dan sederhana, ternyata menyimpan visi yang begitu besar tentang warisan keluarga. Bukan hanya harta benda, tapi juga sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang lebih abadi ilmu dan kebijaksanaan.
“Aku ingin mendirikan majelis ilmu di sini, di pelataran ini. Tempat di mana kita semua bisa belajar dan berbagi ilmu, tak hanya untuk keluarga kita, tapi juga untuk masyarakat di sekitar kita. Ilmu adalah harta yang tak akan pernah habis, Marta. Jika kita bisa menanamkan benih ilmu di hati orang-orang, maka kita telah memberikan sesuatu yang lebih bernilai daripada ladang singkong atau rumah besar sekalipun.”
Mata Marta mulai berkaca-kaca. Pelataran ini, yang kini tampak sunyi dan sepi, pernah menjadi pusat kehidupan bagi keluarganya. Tempat berkumpul, tempat di mana cerita-cerita dibagikan, dan kini, tempat di mana harapan untuk masa depan yang lebih besar ditanamkan oleh Abah Semar.
Pelataran rumah itu sendiri adalah bagian dari cerita. Pohon-pohon besar yang menaungi rumah telah berdiri di sana selama beberapa generasi. Setiap dahan dan daun seperti menyimpan kenangan dari masa-masa yang telah berlalu perayaan, pertemuan keluarga, tawa anak-anak yang berlarian di bawah rindangnya, dan kini, menjadi saksi dari pergulatan batin Marta yang tengah merenungkan arti sebenarnya dari warisan yang ditinggalkan kakeknya.
Marta merasa seolah bagian dari sejarah panjang yang pernah tertoreh di tanah ini. Di bawah pohon-pohon itu, Abah Semar dulu duduk, merencanakan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar menanam singkong atau mempertahankan tradisi pertanian keluarga.
"Kita mungkin bisa kehilangan harta benda, Marta, tapi ilmu dan kebijaksanaan akan selalu bertahan. Itulah mengapa aku ingin majelis ilmu ini berdiri di sini. Tempat ini bukan sekadar tanah bagi keluargamu, tapi juga tanah bagi benih-benih pengetahuan yang kita tanam bersama. Bawa orang-orang ke sini, biarkan mereka belajar dan tumbuh seperti pohon-pohon yang kokoh di sekitarmu."
Surat itu menggetarkan hati Marta. Apa yang kakeknya inginkan bukanlah sesuatu yang mudah, tapi itu adalah visi yang luar biasa. Abah Semar tak pernah berbicara banyak tentang ambisi atau cita-citanya, namun kini Marta tahu bahwa di dalam dirinya, ada keinginan kuat untuk mengubah dunia di sekelilingnya dimulai dari komunitas kecil di desa ini.
Dalam ingatan Marta, Abah Semar adalah sosok yang diam, tetapi selalu memiliki aura bijak di sekitarnya. Dia jarang mengucapkan nasihat secara langsung, tetapi setiap tindakannya selalu penuh makna. Abah Semar adalah orang yang percaya bahwa perubahan besar dimulai dari hal-hal kecil seperti mengajarkan seorang anak cara menanam pohon atau bagaimana membaca ayat-ayat kitab suci dengan baik. Hal-hal ini, meskipun sederhana, adalah langkah pertama menuju perubahan yang lebih besar.
Namun kini, melalui surat ini, Marta melihat sisi lain dari kakeknya. Sisi yang penuh visi, yang ingin memberikan lebih dari sekadar materi kepada keluarganya dan masyarakatnya. Abah Semar ingin meninggalkan warisan spiritual yang tak akan pernah habis, sebuah majelis ilmu yang menjadi pusat pertumbuhan komunitas mereka.
“Majelis ini akan menjadi rumah bagi ilmu, Marta. Di sinilah kita akan mengajari anak-anak kita untuk berpikir, bukan hanya bekerja dengan tangan, tapi juga dengan hati dan pikiran. Aku percaya, jika kita bisa melakukannya, maka desa ini akan tumbuh lebih dari sekadar ladang singkong atau kebun kelapa. Desa ini akan menjadi tempat di mana orang-orang datang untuk mencari kebijaksanaan.”
Marta kembali duduk, merasakan berat tanggung jawab yang kini ada di pundaknya. Abah Semar telah meninggalkan cetak biru untuk sesuatu yang luar biasa, dan kini, Marta harus memutuskan apakah ia akan meneruskan visi itu atau membiarkannya terkubur bersama kenangan masa lalu.
Desa tempat Marta tinggal bukanlah desa yang besar, tetapi setiap sudutnya menyimpan cerita. Rumah-rumah tua berdiri kokoh di sepanjang jalan utama, seolah-olah waktu tidak pernah bergerak di sini. Orang-orang di desa ini hidup dengan tradisi yang telah ada selama beberapa generasi. Mereka adalah petani yang bekerja keras dari pagi hingga sore, namun di balik kesederhanaan itu, ada kerinduan untuk sesuatu yang lebih besar sesuatu yang lebih dari sekadar ladang dan hasil panen.
Melalui deskripsi Andrea Hirata, latar desa ini dipenuhi dengan nuansa kehidupan yang mendalam. Setiap pohon, setiap bangunan, seolah memiliki nyawanya sendiri, berdiri sebagai saksi dari sejarah panjang yang belum sepenuhnya diungkapkan. Marta tahu, desa ini memiliki potensi yang besar, dan mungkin, majelis ilmu yang Abah Semar impikan adalah kunci untuk membuka potensi itu.
"Di desa ini, Marta, kita tidak hanya menanam tanaman. Kita menanam masa depan. Kita menanam harapan. Majelis ilmu ini akan menjadi tempat di mana orang-orang tidak hanya belajar tentang dunia, tetapi juga tentang diri mereka sendiri. Di sini, kita akan menumbuhkan generasi yang lebih baik, yang tidak hanya bekerja untuk hidup, tetapi hidup untuk memahami."
Kata-kata itu menembus hati Marta. Ia memandang sekeliling, memandang desa yang selama ini ia anggap sebagai tempat yang tak pernah berubah. Tapi mungkin, perubahan yang sesungguhnya sedang terjadi di dalam dirinya sendiri.
Di tengah pergolakan batinnya, Marta mulai mempertimbangkan apa yang akan terjadi jika ia mengikuti visi kakeknya. Mendidirikan majelis ilmu bukanlah tugas yang mudah, dan ia tahu tantangan yang akan ia hadapi akan besar. Tapi surat-surat ini memberikan peta yang jelas bukan hanya untuk membangun sebuah bangunan fisik, tetapi juga untuk membangun sesuatu yang lebih abadi, sesuatu yang bisa bertahan dari generasi ke generasi.
Ia mengepalkan tangannya, bukan karena marah, tetapi karena tekad yang mulai tumbuh. Abah Semar telah menanam benih impian itu dalam dirinya, dan sekarang, Marta harus memutuskan apakah ia akan menyirami benih itu dan membiarkannya tumbuh.
Sambil menatap langit yang perlahan mulai berubah menjadi jingga, Marta merasakan sesuatu yang berbeda. Daun-daun kering yang berserakan di sekitarnya tak lagi tampak seperti simbol kematian atau akhir, tetapi lebih seperti penanda dari perubahan musim perubahan yang membawa harapan baru. Kilauan samar di langit sore menjadi simbol dari harapan yang mungkin tak selalu terlihat jelas, tapi selalu ada, menunggu untuk ditemukan.
Marta menghela napas panjang dan tersenyum tipis. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Majelis ilmu yang Abah Semar impikan akan berdiri. Pelataran ini, desa ini, dan keluarganya akan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada sekadar tanah atau harta benda. Ini adalah warisan sejati yang akan ia teruskan warisan ilmu, kebijaksanaan, dan harapan.
Kata-kata di surat itu terasa seperti benih yang perlahan tumbuh dalam diri Marta, tetapi bukannya memberikan jawaban, ia justru merasa semakin terjebak dalam keraguan. Warisan kakeknya lebih dari sekadar tanah, namun bagaimana caranya ia memahami sesuatu yang tak bisa ia sentuh? Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Marta beranjak dari pelataran, mencari sosok yang mungkin bisa memberinya petunjuk ibunya. Langkahnya berat, namun hatinya memanggilnya untuk melanjutkan. Di dalam rumah, ibunya sudah menunggu, seakan tahu bahwa putranya akan membutuhkan nasihat lebih dari sekadar kata-kata di atas kertas.
Langit di luar telah menggelap ketika Marta menyelesaikan surat terakhir dari tumpukan itu. Lampu di teras rumah mulai berpendar lemah, menciptakan bayangan yang mengapung di atas lantai kayu tua. Pelataran yang dulu ramai kini sunyi, hanya dihiasi suara gemerisik dedaunan kering yang jatuh satu per satu. Di dalam, suara ibunya terdengar samar-samar, berkutat dengan piring-piring di dapur, memberikan ketenangan dalam ritme yang konstan.
Surat-surat itu telah membuka pandangan Marta tentang sesuatu yang lebih besar daripada sekadar tanah yang diwariskan. Pikirannya penuh dengan gagasan tentang majelis ilmu yang diimpikan oleh Abah Semar, warisan spiritual yang lebih dalam dari sekadar harta benda. Namun ada keraguan dalam dirinya bisakah ia melanjutkan apa yang kakeknya mulai? Apa artinya semua ini?
Dengan berat hati, Marta beranjak dari kursinya dan menuju dapur. Ibunya, yang kini tengah membereskan peralatan makan malam, menoleh padanya dengan senyum tipis. "Kau kelihatan lelah, Nak," katanya lembut sambil meletakkan piring terakhir di rak. "Sudah membaca semua surat dari Abah?"
Marta mengangguk pelan, duduk di bangku dekat jendela. Cahaya remang lampu menerangi wajahnya yang penuh pikiran. "Surat-surat itu mengandung lebih dari yang pernah aku bayangkan, Bu," ucapnya dengan suara rendah, sarat beban.