Tangga itu berdiri di hadapan Marta, tua dan rapuh, seolah menanggung beban puluhan tahun yang tak terucap. Setiap anak tangganya tertutup debu tebal, seperti jejak waktu yang terus berjalan tanpa ada yang berani mengusiknya. Di tengah keheningan itu, Marta merasa dunia di sekitarnya membeku. Langkah pertamanya terasa begitu berat, seolah tangga itu adalah gerbang menuju sesuatu yang tak terjangkau, sesuatu yang mengintai di balik kabut masa depan.
Mata Marta tertuju ke atas, ke arah ujung tangga yang tak terlihat jelas karena redupnya cahaya di langit-langit rumah. Tangga ini bukan sekadar kayu lapuk yang dipaku dan disusun dalam pola yang sama selama bertahun-tahun. Tidak. Bagi Marta, tangga itu adalah pengingat dari pilihan hidup yang menggantung di hadapannya. Ia bisa naik dan menghadapi apa pun yang menantinya di atas, atau ia bisa tetap di bawah, membiarkan dirinya terjebak dalam ketenangan stagnasi, tanpa tantangan, tanpa perubahan.
Tangannya menyentuh gagang tangga kayu yang kasar. Haruskah aku naik? Pertanyaan itu terus bergema dalam benaknya. Ia tak bisa melihat ke depan dengan pasti. Masa depan yang penuh ketidakpastian, tekanan dari tanggung jawab keluarga, dan krisis yang mendekat seiring dengan semakin memerahnya langit di luar jendela rumah.
Marta berbalik, menatap ke luar jendela besar di ruang tamu yang terbuka. Langit berwarna merah jingga, seolah menyala dalam amarah yang diam, sebuah pertanda bahwa waktu semakin menipis. Krisis keluarga ini bukan hanya masalah tanah dan ladang singkong yang diwariskan Abah Semar, tetapi juga warisan spiritual yang lebih besar, yang telah lama ditanam di hati mereka. Langit yang memerah itu adalah tanda sesuatu akan datang. Sesuatu yang mungkin tidak bisa ia hindari.
Keringat dingin mengalir di pelipisnya, bercampur dengan perasaan cemas yang makin dalam. Ia merasakan dadanya sesak, berat dari mimpi-mimpi yang tak pernah terwujud, mimpi yang Abah Semar tinggalkan untuknya. Impian mendirikan majelis ilmu, tempat di mana kebijaksanaan bisa bertumbuh seperti tanaman yang berakar kuat, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk seluruh komunitas. Sekarang, tangga ini adalah langkah pertama untuk mewujudkan semua itu, atau meninggalkannya selamanya.
Apakah aku siap? pikir Marta. Namun, apakah ada yang benar-benar siap menghadapi takdirnya?
Di luar, bayang-bayang pepohonan tampak gelap dan panjang, seakan menekan rumah tua itu dengan kehadirannya. Burung-burung terbang rendah, menandakan datangnya malam. Di antara keheningan senja, suara-suara samar mulai terdengar dari dalam dirinya suara Abah Semar, ibunya, bahkan dirinya sendiri.
"Jika kau tidak berani naik, Nak, bagaimana kau bisa melihat dunia dari sudut yang lebih tinggi?"
Marta menarik napas dalam. Kata-kata itu adalah kata-kata yang pernah diucapkan Abah Semar saat ia masih kecil. Tangga di rumah ini dulu adalah tempat favorit Marta untuk bermain. Setiap kali dia ragu untuk naik lebih tinggi, Abah Semar selalu mendorongnya untuk melangkah lebih jauh. Namun, sekarang, tangga ini tak lagi sekadar tempat bermain. Ini adalah pilihan yang nyata dan konsekuensinya jauh lebih besar daripada jatuh dari beberapa anak tangga.
Langkah di tangga ini bukan hanya tentang kemauan, tetapi tentang keberanian untuk menanggung beban warisan yang ditinggalkan Abah Semar. Setiap langkah yang diambilnya akan membawa dia lebih dekat ke masa depan yang dia sendiri belum siap hadapi, masa depan yang penuh dengan tantangan, tetapi juga harapan.
Namun, apa yang menunggunya di atas sana, ia tak pernah tahu. Langit di luar jendela sudah memerah, tapi di dalam rumah, bayang-bayang masa depan masih kelabu.
Tangga ini lapuk, berdebu, dan penuh kenangan menjadi lebih dari sekadar struktur fisik. Ia adalah simbol dari setiap pilihan yang harus Marta hadapi. Naik atau tetap tinggal. Menghadapi atau bersembunyi. Mewujudkan impian kakeknya atau menyerah pada ketakutan dan keraguan yang menghantuinya.
Marta menatap ke bawah, ke lantai yang dingin dan keras, seolah lantai itu adalah pijakan terakhir dari kepastian. Jika ia melangkah naik, ia akan meninggalkan zona nyamannya, meninggalkan semua yang ia ketahui tentang dunia kecilnya yang aman.
Namun, jika ia tetap di bawah, ia akan terjebak dalam kebiasaan, dalam kehidupan yang stagnan, yang tak pernah bergerak maju. Ia tahu, pilihan ini bukan hanya tentang dirinya. Ini tentang keluarga, tentang impian Abah Semar, tentang majelis ilmu yang harus ia bangun demi masa depan desa. Masa depan yang tidak bisa lagi bergantung pada ladang singkong Semara.
Tangga ini, dengan segala kerumitannya, adalah simbol dari kehidupan. Dan setiap anak tangga adalah tantangan yang harus ia hadapi, satu demi satu.
Marta menatap ke langit lagi. Warna merah semakin pekat. Waktu terus bergerak. Tidak ada lagi yang bisa menahannya, tidak ada yang bisa menghindar dari kenyataan bahwa keputusan harus diambil.
“Kita tidak pernah tahu apa yang menunggu di ujung tangga, Marta,” kata-kata Abah Semar kembali terdengar di telinganya, seolah berbisik di antara desir angin yang melewati jendela terbuka. “Tapi itulah kehidupan. Kau tidak bisa berhenti hanya karena takut akan apa yang ada di depan. Langkahmu mungkin kecil, tapi setiap langkah akan membawamu lebih dekat pada apa yang harus kau temukan.”
Marta mengepalkan tangannya. Suara-suara di kepalanya mulai mereda. Keheningan itu tak lagi menakutkan, melainkan sebuah dorongan. Ia tahu bahwa ia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Setiap detik yang berlalu hanyalah pemborosan waktu. Semakin lama ia menunda, semakin jauh ia dari impian Abah Semar, dan semakin dekat desa ini pada kehancuran tanpa adanya perubahan.
Langit merah kini menjadi sebuah simbol. Bukan lagi tanda dari krisis yang menakutkan, tetapi panggilan untuk bertindak. Waktu yang terus berjalan adalah pengingat bahwa kesempatan tidak akan selalu menunggu.
Akhirnya, dengan satu tarikan napas panjang, Marta mengangkat kakinya dan meletakkannya di anak tangga pertama. Debu-debu halus berterbangan, seolah melepaskan beban bertahun-tahun yang terjebak di sana. Kakinya terasa berat, tapi ada tekad yang tumbuh di setiap langkah yang ia ambil.
Tangga ini, dengan segala simbolismenya, telah menuntun Marta untuk mengambil keputusan besar. Setiap langkah yang ia tempuh bukan hanya membawa dia lebih dekat ke puncak tangga, tetapi juga lebih dekat pada masa depan yang dia impikan masa depan di mana majelis ilmu akan berdiri, di mana warisan spiritual Abah Semar akan terus hidup, dan di mana dia akan menemukan jati dirinya sebagai penjaga warisan keluarga.
Di atas sana, entah apa yang menunggunya, Marta tahu satu hal ia telah memulai langkah pertama. Dan itu adalah langkah terpenting dari semuanya.
Marta menatap tangga itu dengan mata yang berkabut, berat hatinya tercermin dalam langkah-langkah kecil yang diambilnya. Jari-jarinya menyentuh permukaan kayu yang kasar, merasakan serpihan-serpihan yang terkelupas di bawah sentuhannya. Di sana, di bawah lapisan debu yang menumpuk selama bertahun-tahun, tersembunyi keputusan yang tidak bisa lagi ia hindari. Dengan napas berat, ia akhirnya mengangkat kakinya, langkah pertama yang terasa lebih berat dari yang ia bayangkan.
Setiap langkah di tangga tua itu seolah membawa Marta kembali ke masa lalu. Tangannya dengan hati-hati menyusuri pegangan kayu yang kasar, terasa lapuk di bawah sentuhan jari-jarinya. Tangga ini, yang selama bertahun-tahun hampir tak tersentuh, kini menjadi jalur menuju sesuatu yang lebih dalam dari sekadar loteng di atas. Di setiap anak tangga, debu tebal menutupi jejak-jejak yang hilang seperti rahasia yang disembunyikan waktu, memanggil Marta untuk membukanya kembali.
Rumah ini adalah saksi bisu dari perjalanan hidup keluarga Semar. Setiap dinding, setiap sudutnya dipenuhi oleh kenangan, tertanam dalam lapisan-lapisan cat yang kini mulai terkelupas. Suatu ketika, tempat ini penuh dengan suara suara tawa, percakapan yang hangat, dan kadang-kadang suara canda anak-anak yang berlarian di pelataran. Tapi hari ini, yang tersisa hanyalah keheningan. Seolah gema dari masa lalu itu telah lenyap bersama orang-orang yang pernah menghuni rumah ini.
Debu di lantai loteng menutupi segalanya dengan selimut tipis yang nyaris sempurna, seperti waktu yang diam-diam melingkupi hidup Marta. Dulu, tempat ini adalah loteng rahasia di mana dia dan kakaknya bersembunyi ketika bermain petak umpet. Loteng yang kini terasa begitu sunyi dan hampa. Marta berhenti di anak tangga ketiga, memandang ke atas. Lampu redup di ujung langit-langit hampir tak lagi menerangi. Cahaya yang tersisa hanya berupa kilau samar, seolah terhalang oleh bayangan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Marta berbalik sejenak, menatap jendela yang terbuka di belakangnya. Langit di luar terus berubah warna merah pekat, seolah api menyala di ufuk. Warna merah itu bukan sekadar pemandangan senja yang indah, tetapi tanda bahwa krisis yang selama ini menghantuinya semakin mendekat. Apa yang dulu terasa sebagai jarak yang aman, kini tampak begitu dekat, mendesak, dan tak terhindarkan.
"Waktu semakin habis." Pikiran itu terngiang di kepalanya, berputar-putar tanpa henti.
Di kejauhan, suara gemuruh sungai mulai terdengar. Airnya mengalir deras, seolah mengiringi detak jantung Marta yang semakin cepat. Suara itu, yang dulu ia abaikan, kini terdengar begitu jelas. Seperti kehidupan yang terus berjalan, meski Marta merasa terjebak dalam keheningan dan keraguan. Suara sungai itu menciptakan kontras dengan suasana rumah yang penuh dengan kebisuan seolah alam menolak untuk berhenti, sementara rumah ini terperangkap dalam ingatan-ingatan yang tak bisa bergerak maju.
Marta berdiri diam di tangga itu, memandang ke depan dan ke belakang, terjebak di antara masa lalu dan masa depan. Tangga ini, ia sadari, bukan hanya sekadar kayu yang tersusun rapi menuju loteng. Ini adalah simbol dari perjalanannya sendiri. Setiap anak tangga yang ia naiki membawa dia lebih jauh dari kenyamanan masa kecilnya dan semakin mendekati tanggung jawab yang lebih besar warisan yang harus ia jaga, atau ia biarkan hilang ditelan debu.
Rumah tua ini dulu adalah pusat dari segala aktivitas keluarga. Pelataran tempat mereka biasa berkumpul di sore hari kini dipenuhi dengan daun-daun kering yang terus berguguran. Dulu, di bawah bayangan pohon jati besar yang menaungi rumah ini, Abah Semar sering duduk sambil memandang ke kejauhan. Marta ingat saat-saat ketika ia duduk di sebelah kakeknya, mendengarkan cerita tentang masa lalu yang seolah tak habis-habis diceritakan. Cerita tentang perjuangan, tentang kerja keras, dan tentang impian-impian yang tertunda.
Kini, tanpa kehadiran kakeknya, rumah ini terasa kosong. Tidak ada lagi cerita yang diceritakan, tidak ada lagi suara ketukan alat musik gamelan tua yang dulu menghiasi malam-malam panjang. Dinding-dinding rumah ini seolah berbicara dalam diam, mengingatkan Marta pada semua yang pernah terjadi di sini, dan semua yang mungkin akan hilang jika ia tidak melakukan sesuatu.
Di luar jendela, angin menerbangkan beberapa helai daun, menambah suasana muram yang menyelimuti rumah. Langit merah semakin menyala, memancarkan sinar yang memantul di kaca jendela, menciptakan bayangan yang hampir menyerupai api. Sementara di kejauhan, sungai terus mengalir, tak peduli pada kebisuan rumah ini, tak peduli pada waktu yang tampaknya terhenti bagi Marta.
Setiap langkah yang diambil Marta terasa seperti langkah menuju takdir yang tak bisa ia hindari. Tangan yang menggenggam pegangan tangga kini mulai gemetar, bukan karena lelah, tetapi karena beban pikiran yang menekan. Bagaimana jika aku gagal? pertanyaan itu terus muncul di pikirannya, meskipun ia berusaha untuk menepisnya.
Tangga itu seolah menantang Marta untuk mengambil keputusan besar. Ia bisa saja tetap di bawah, di dalam zona nyamannya, di tempat yang familiar. Atau, ia bisa naik, menghadapi apa pun yang menantinya di atas sana mungkin kejutan, mungkin juga kebenaran yang selama ini ia hindari.
Abah Semar pernah berkata, "Hidup itu seperti menaiki tangga, Marta. Kadang kau tak tahu berapa banyak anak tangga yang harus kau naiki sebelum kau mencapai tujuan. Tapi, jika kau berhenti di tengah, kau tak akan pernah sampai."
Dan di sinilah Marta sekarang. Berdiri di anak tangga ketiga, masih jauh dari ujungnya, tetapi juga tak lagi berada di bawah. Keputusan itu belum diambil sepenuhnya, tetapi setiap detik yang berlalu semakin mendekatkannya pada pilihan.
Suara sungai yang mengalir di kejauhan semakin jelas terdengar ketika Marta mencapai anak tangga kelima. Suara itu seperti panggilan alam, mengingatkan bahwa kehidupan terus berjalan, meski apa yang ia hadapi terasa seperti kekosongan yang stagnan. Sungai itu, yang dulu sering ia kunjungi bersama kakeknya, adalah simbol dari kehidupan yang tak pernah berhenti selalu bergerak maju, menantang setiap halangan yang ada di depannya.
Marta memejamkan mata sejenak, membiarkan suara sungai memenuhi pikirannya. Suara air yang mengalir deras itu membawa ketenangan, meski di saat yang sama, mengingatkan akan urgensi dari keputusan yang harus ia buat. Hidup tak menunggu. Waktu tak menunggu.
Langit semakin memerah, seolah memberikan peringatan terakhir bahwa waktu untuk bertindak semakin dekat. Marta tahu, bahwa semakin lama ia berdiri di tengah-tengah ini, semakin dekat pula ia dengan kehilangan segalanya tanah keluarga, ladang singkong, dan yang terpenting, warisan spiritual yang Abah Semar ingin tinggalkan melalui majelis ilmu.
Akhirnya, setelah mengumpulkan keberanian, Marta melangkah lagi, perlahan namun pasti, menuju ujung tangga. Langkah demi langkah, suara detak jantungnya menyatu dengan suara sungai yang terus mengalir. Setiap anak tangga yang ia lewati, meski tertutup debu dan kenangan, adalah simbol dari pilihan-pilihan yang ia buat.
Di puncak tangga, ada sesuatu yang menantinya sesuatu yang mungkin tak bisa ia lihat sekarang, tetapi sudah menunggu sejak lama. Marta tahu, langkah ini adalah awal dari perjalanan yang lebih besar, perjalanan menuju tanggung jawab yang diwariskan kepadanya. Warisan yang tidak lagi berupa ladang atau harta benda, tetapi ilmu, kebijaksanaan, dan impian besar untuk komunitasnya.
Ia mengepalkan tangannya, bukan karena takut, tetapi karena tekad yang mulai mengakar di dalam dirinya. Aku tidak bisa berdiam diri lebih lama lagi. Ia tahu bahwa waktu untuk bertindak telah tiba, dan jika ia tidak melangkah sekarang, semuanya akan terlambat.
Di kejauhan, sungai terus mengalir, dan langit yang memerah semakin pekat, menjadi saksi bisu dari keputusan besar yang akan ia ambil.
Langit di luar terus berubah, warna merahnya semakin pekat, menekan jiwanya. Krisis ini bukan hanya tentang ladang, tetapi tentang dirinya tentang keputusan yang harus ia buat untuk mempertahankan apa yang paling berharga. Dengan tekad yang perlahan tumbuh, Marta menyadari bahwa ia tidak bisa bersembunyi dari tanggung jawab ini. Langkah kakinya di tangga terasa seperti tanda pertama dari keberanian yang perlahan terbentuk dalam dirinya.
Saat Marta mencapai puncak tangga, kakinya ragu-ragu berhenti di anak tangga terakhir. Di depan matanya terbentang loteng yang sepi, dipenuhi bayang-bayang masa lalu. Ruangan itu tampak tak berubah sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di sana bertahun-tahun lalu, tapi rasa yang melingkupi tempat itu berbeda. Suara-suara dari rumah yang dulu pernah ramai kini hanya tinggal bisikan, tertinggal dalam keheningan yang nyaris mencekam. Di luar jendela kecil, langit yang memerah semakin menyala, menandakan krisis yang tak bisa dihindari.
Di sudut loteng, di bawah bayang-bayang perabotan lama, ibunya duduk diam di kursi kayu yang sudah berderit termakan usia. Tatapannya lembut namun penuh dengan keteguhan, seolah menunggu Marta untuk mengambil langkah berikutnya. Rumah ini, krisis keluarga, dan tanggung jawab yang menunggu, semua seperti tergantung di udara, belum terselesaikan.
“Ibu,” sapa Marta pelan, suara gemuruh sungai dari kejauhan seolah menjadi latar yang tak henti-hentinya mengiringi percakapan mereka.