Api kecil di perapian berkedip-kedip lemah, berusaha bertahan melawan kedinginan malam yang merayap masuk melalui celah-celah jendela. Di sekitarnya, ruangan itu terasa kosong, sunyi. Hanya bayangan benda-benda lama yang menempel di dinding, seperti kenangan yang enggan pergi. Di tengah ruangan, duduk Marta, memandangi api yang seolah semakin kecil, sementara asap tipis mengepul dari nyalanya, menyebar ke langit-langit, memeluk bayang-bayang gelap yang menggantung di sudut-sudut rumah.
“Kehangatan ini, ke mana perginya?” Pikirnya dalam diam.
Dulu, di ruang ini, perapian selalu membawa rasa aman. Nyala api adalah pengingat kebersamaan keluarganya, saat tawa dan obrolan ringan memenuhi udara, saat segalanya tampak sederhana. Tapi sekarang, perapian itu terasa berbeda nyalanya masih ada, namun kehangatan itu tak lagi meresap ke dalam dirinya.
Asap yang mengepul seolah menjadi cerminan dari hidupnya memudar, tak jelas, perlahan-lahan menghilang ke udara tanpa jejak yang nyata. Kenangan yang pernah begitu dekat kini seperti asap itu sesuatu yang tak bisa lagi disentuh, hanya terlihat samar di kejauhan. Seperti hari-hari yang berlalu tanpa bisa diulang.
Marta mengulurkan tangannya, mencoba merasakan sedikit kehangatan dari api kecil itu, namun sentuhan hangat yang dulu akrab kini terasa jauh. “Kapan terakhir kali aku merasa kehangatan ini benar-benar menyelimuti kita?” pikirnya lagi. Ruangan yang sepi di hadapannya seolah menjawab dengan kesunyian yang pekat.
Di luar jendela, angin bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan yang jatuh di halaman. Angin malam membawa suara halus, seperti desahan panjang dari pohon-pohon tua yang berdiri di sekitar rumahnya. Suara itu menambah kehampaan yang ada di dalam ruangan.
“Apakah segalanya sudah berakhir seperti ini?” batinnya terus bertanya. Hubungan antara dirinya dan keluarganya, yang dulu erat dan penuh dengan kebersamaan, sekarang terasa seperti serpihan yang tercerai-berai. Sejak krisis ini melanda, ada jarak yang tak terlihat namun sangat terasa, memisahkan mereka satu sama lain. Dan perapian ini, yang dulu adalah pusat kebersamaan mereka, kini hanyalah pengingat akan keharmonisan yang sudah hilang.
Nyala api mulai redup, semakin kecil seiring dengan asap yang terus mengepul, memenuhi udara yang semakin dingin. Di atas perapian, bunga kering yang diletakkan ibunya beberapa minggu lalu tergantung, kelopaknya yang rapuh melambangkan keadaan keluarganya saat ini keindahan yang perlahan memudar, menjadi rentan dan mudah hancur.
Marta menarik napas panjang, matanya masih tertuju pada perapian. Ia teringat kembali pada perjalanannya ke sungai tentang batu yang ia temukan di tengah arus yang deras. Waktu itu, ia berpikir bahwa stabilitas adalah sesuatu yang bisa ia temukan, sesuatu yang bisa ia raih. Tapi sekarang, di hadapan perapian yang menyala redup, ia mulai meragukan pemikirannya sendiri. Apakah stabilitas benar-benar ada, ataukah ia hanyalah ilusi yang kita kejar sepanjang hidup kita?
Angin yang bertiup dari luar tiba-tiba semakin kencang, menelusup melalui celah-celah pintu dan jendela, membelai lembut wajah Marta. Seperti pesan tak bersuara, angin itu mengingatkan dia pada sebuah kenyataan perubahan tak bisa dihindari, dan kehangatan yang pernah ia rasakan mungkin tak akan pernah kembali dalam bentuk yang sama.
Di tengah kepasrahan yang perlahan melingkupinya, Marta mendengar suara langkah kaki yang pelan namun pasti mendekat dari arah belakang. Ia tak perlu menoleh untuk tahu bahwa itu adalah ibunya. Langkah yang lembut, nyaris tak terdengar, selalu menjadi ciri khas wanita yang selama ini menjadi sandaran bagi keluarganya.
“Marta,” suara Ibu Marta memecah keheningan, suaranya lembut namun penuh beban yang ia bawa sendiri. "Kenapa kau duduk di sini sendiri?"
Marta tidak langsung menjawab, matanya tetap terfokus pada nyala api yang hampir padam. “Aku hanya… merenung, Bu,” katanya akhirnya.
Ibunya duduk di sampingnya, dan untuk sejenak, keduanya terdiam, hanya ditemani oleh suara kecil dari kayu yang terbakar dan hembusan angin di luar.
"Apa yang kau pikirkan, Nak?" tanya Ibu Marta pelan.
Marta menatap api yang mulai mengecil. “Aku memikirkan kita, keluarga ini. Dulu, api di sini selalu terasa hangat. Tapi sekarang…” Suaranya terputus, tak sanggup menyelesaikan kalimat itu.
Ibu Marta menghela napas panjang. "Dunia kita berubah, Marta. Bukan hanya karena krisis ini, tapi juga karena kita semua berubah. Kehangatan itu tak hilang, Nak. Hanya saja, ia tak selalu terlihat dengan cara yang sama."
Marta diam, mencoba memahami maksud ibunya. Tapi yang ia rasakan saat ini hanyalah rasa dingin yang merambat dari lantai batu di bawahnya.
Asap dari perapian masih mengepul tipis, melayang ke atas, seolah mencoba kabur dari ruangan yang semakin pekat oleh kenangan dan kerinduan yang tak terucap. Di atas perapian, bunga-bunga kering yang ditaruh sebagai hiasan semakin layu. Kelopaknya yang rapuh berguguran perlahan, jatuh satu per satu, seperti masa lalu yang semakin jauh, tak terjangkau.
Marta menatap bunga-bunga itu dengan tatapan kosong. Seperti itukah akhir dari semua ini? pikirnya. Segalanya perlahan layu, hilang tanpa bisa dicegah. Tapi kemudian, di tengah lamunannya, ibunya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang namun dalam.
"Bunga-bunga itu…," kata Ibu Marta, sambil menunjuk ke arah bunga kering yang hampir habis. "Meskipun mereka sudah kering, dulu mereka pernah mekar, memberi keindahan. Dan meskipun sekarang tampaknya mereka sudah habis, mereka tetap meninggalkan jejak akar yang kuat, dan biji-biji kecil yang mungkin akan tumbuh kembali."
Marta menatap ibunya, mencerna kata-kata itu. Sejenak, ia teringat pada perumpamaan yang sering diceritakan kakeknya, Abah Semar, tentang bagaimana kehidupan selalu menemukan jalannya. Bahwa meskipun segalanya tampak hilang, selalu ada kesempatan bagi sesuatu yang baru untuk tumbuh.
"Jadi, kita hanya perlu menunggu waktu?" tanya Marta, suaranya sarat dengan harapan yang baru muncul.
Ibu Marta tersenyum kecil, menepuk bahu Marta lembut. "Bukan hanya menunggu, Nak. Tapi juga menjaga, merawat, dan mempercayai bahwa kehangatan akan kembali, dengan cara yang berbeda."
Suasana melankolis di dalam ruangan masih terasa kental. Marta menatap bunga-bunga kering yang tertiup angin dan terlempar ke sudut ruangan. Di luar, angin bertiup lebih kencang, seolah membawa pesan bahwa badai akan segera datang. Namun di tengah perasaan hampa itu, ada keyakinan yang perlahan tumbuh dalam hati Marta bahwa kehidupan, seperti bunga, bisa kembali tumbuh di tempat yang tepat.
Namun, sebelum Marta bisa berkata lebih banyak, suara pintu yang terbuka keras dari arah belakang membuatnya tersentak. Bima, kakaknya, berdiri di ambang pintu dengan napas terengah-engah, wajahnya penuh dengan kekhawatiran.
"Marta, Ibu," kata Bima, suaranya tergesa. "Ada sesuatu yang terjadi di desa. Kita harus segera ke sana."
Marta menatap Bima, jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang. Di luar, angin bertiup lebih kencang, membuat pintu di belakang mereka berderak keras. Apa yang terjadi di luar sana? Marta tahu, malam ini belum selesai. Sesuatu yang lebih besar menanti mereka.
Marta menatap api yang semakin kecil, merasakan kehangatan yang dulu akrab perlahan menghilang. Suara angin di luar bertiup lembut, seolah membawa pesan bahwa apa yang dulu ada, kini hanya tinggal kenangan. Saat asap naik ke langit-langit, Marta merenungkan betapa rapuhnya hidup yang ia genggam. Setiap kepulan asap seperti serpihan dari masa lalu yang tak bisa disentuh lagi, dan rasa dingin yang merayap melalui celah-celah jendela mengingatkannya bahwa kehangatan yang dulu ada kini telah pergi.
Dapur itu, dulunya penuh kehidupan. Di sanalah pusat segala yang hangat dan penuh cinta bagi keluarga Marta sebuah ruang di mana cerita-cerita berkumpul bersama aroma masakan ibu yang selalu menggugah selera. Sekarang, dapur itu terasa asing. Kehidupan yang pernah ada di sana kini hanya tinggal bayangan, terkikis waktu dan peristiwa-peristiwa yang mengubah segalanya. Perapian yang selalu menyala, yang dulu menjadi sumber kehangatan keluarga, kini hanya mengeluarkan nyala api kecil yang hampir padam.
Marta berdiri di tengah dapur, matanya mengamati sekeliling dengan perasaan campur aduk. Kayu-kayu tua yang menjadi dinding dapur, yang dulunya memantulkan suara gelak tawa dan dentingan piring-piring saat makan malam keluarga, kini terasa sunyi, tak lagi bergema. Ia mendengar bunyi lembut angin yang berdesir dari luar, sesekali mengetuk jendela dengan ritme tak menentu.
"Sepertinya semuanya telah berubah," pikirnya sambil menghela napas panjang. Rasa kosong yang perlahan menguasai ruang itu semakin terasa dalam, seolah dapur ini sudah lama kehilangan jiwanya. Kenangan-kenangan tentang masa lalu berkelebat di pikirannya, membawa serta nostalgia akan masa-masa ketika kebersamaan adalah sesuatu yang nyata, bukan hanya impian.
Dulu, dapur ini adalah tempat keluarga berkumpul setiap malam. Ayahnya akan duduk di sudut, mengamati Marta dan Bima, kakaknya, bercanda sambil membantu ibu menyiapkan makanan. Ibu Marta akan tersenyum, menghidangkan masakan dengan cinta yang seolah terasa di setiap suapan. Tidak ada yang lebih indah bagi Marta selain momen-momen itu.
"Kehangatan itu," batinnya, "ke mana perginya?"
Setiap sudut dapur ini membawa Marta kembali ke masa lalu. Ia berjalan perlahan menuju perapian, menyentuh kayu-kayu tua yang telah menjadi saksi bisu dari segalanya dari kebahagiaan hingga kesedihan yang perlahan mulai menghancurkan keluarga mereka. Di sana, di depan perapian itu, Marta duduk, menatap api kecil yang berusaha bertahan melawan udara dingin yang merembes masuk.
"Dulu, api ini selalu besar. Selalu cukup untuk menghangatkan kita semua," pikir Marta, mengenang bagaimana api di perapian ini pernah menjadi simbol kehangatan keluarga mereka. Namun sekarang, yang tersisa hanya nyala kecil yang hampir padam. Perapian itu tetap di sana, tapi kehangatan yang diberikannya tidak lagi sama. Sama seperti keluarganya masih ada, tapi hubungan mereka terasa jauh, dingin, tak lagi menyelimuti seperti dulu.
Marta meraih sepotong kayu dari samping perapian, memasukkannya ke dalam api yang hampir mati. Saat nyala api perlahan kembali menguat, ia tersadar betapa simbolisnya perapian ini. "Jika api di sini bisa kembali menyala, mungkin… mungkin ada harapan untuk keluarga ini juga."
Namun, di luar, suara angin yang berhembus semakin keras mengingatkan Marta bahwa tidak semua bisa kembali seperti semula. Perubahan selalu datang, tak bisa dihindari. Angin itu seperti sebuah pesan tak bersuara, bahwa keluarga mereka kini berada di ambang sesuatu yang besar entah perubahan yang memperbaiki, atau justru menghancurkan.
Marta melayangkan pandangannya ke sekeliling dapur, memperhatikan benda-benda yang dulu begitu akrab namun kini terasa asing. Piring-piring yang pernah berdenting riang kini tersusun rapi di rak, tak lagi tersentuh. Meja makan yang selalu penuh dengan hidangan kini kosong, hanya menyisakan sedikit debu di atasnya.
Ia ingat ketika ayahnya masih hidup, dapur ini adalah tempat mereka semua tertawa, berbagi cerita, dan menikmati kebersamaan. Ayahnya, dengan suaranya yang berat tapi hangat, selalu membawa suasana ceria, bahkan ketika hari-hari terasa sulit. Tapi kini, dapur ini hanya dipenuhi dengan kesunyian. Ayah sudah tidak ada lagi, dan dengan kepergiannya, seolah seluruh jiwa rumah ini ikut pergi bersamanya.
Di luar, suara angin semakin kencang, memukul-mukul jendela dapur, menciptakan irama aneh yang tidak menenangkan. Marta mengalihkan pandangannya ke arah jendela, melihat bagaimana dedaunan kering beterbangan, seolah alam pun ikut berubah, tak lagi tenang seperti dulu.
"Perubahan tak bisa dihindari," pikirnya, mengenang kata-kata yang pernah ia dengar dari kakeknya, Abah Semar. "Hidup ini seperti angin, Marta. Ia datang, pergi, dan selalu berubah. Terkadang membawa kesejukan, terkadang membawa badai."
Kata-kata itu, yang dulu ia dengar dengan ringan, kini terasa seperti beban yang harus ia tanggung. Keluarganya kini adalah badai yang ia tak tahu kapan akan reda.
Duduk di depan perapian, Marta merasakan tarikan antara kenangan masa lalu dan ketidakpastian masa depan. Ia merindukan momen-momen ketika segalanya tampak sederhana, ketika dapur ini penuh dengan tawa dan obrolan ringan. Tapi ia tahu, realitas sekarang berbeda. Krisis ini krisis tanah, warisan, dan hubungan keluarganya telah mengubah segalanya.