"Bagaimana bisa mereka membatalkan keinginan untuk mengasuh setelah dua tahun? Kalau tidak bisa menepati janji seharusnya jangan datang dan membawa anak itu sejak awal. Dimana rasa tanggung jawab mereka? Kasihan sekali anak itu..."
Hani dapat mendengar dengan jelas pembicaraan antara Ibu Kepala dengan suster - suster lainnya. Mereka sedang membicarakan anak itu, anak laki - laki yang Hani lihat berdiri di depan pintu ruangan Ibu Kepala beberapa hari yang lalu. Dan sejak saat itu, anak itu hampir setiap hari mengikutinya.
"Hentikan. Apa kau tidak ada kerjaan lain?" Hani menghembuskan nafasnya berat dan berbalik menatap bocah laki - laki itu dengan tatapan ketus seperti biasa. Bukannya menjauh setelah mendengar ucapan kasar yang keluar dari mulut kecil Hani, anak itu malah cengengesan tidak jelas dan menjulurkan tangannya ke arah Hani sambil berujar,
"Aku Alan. Kamu anak baru di sini ya?"
Hani memutar bola matanya tanpa sadar dan memutar langkahnya beranjak pergi tanpa menjawab sepatah katapun namun tetap saja, anak itu terus mengekorinya layaknya anak ayam.
Gadis itu memang masih kecil, usianya baru menginjak 8 tahun. Namun, sikap dan tingkah laku Hani terlihat jauh lebih dewasa di banding anak - anak panti lain yang seusianya. Lihatlah bagaimana cara gadis itu setiap kali merespon orang lain yang mengajaknya bicara.
Anak lainnya mungkin akan menyerah mengajak Hani berteman namun tidak dengan bocah kecil bernama Alan ini. Sejak kedatangannya di panti ia nyaris selalu mendekati Hani, mengajak gadis kecil itu bermain namun Hani selalu memasang wajah masam tidak bersahabat. Hani sudah memantapkan dirinya untuk tidak berteman dengan siapapun di tempat ini, karena baginya tidak ada yang akan mengerti dirinya selain Ibu Kepala. Lagipula, bagaimanapun Hani melihatnya, anak itu terlihat bagaikan satu di antara banyaknya bocah bodoh yang menyebalkan di tempat ini.
"Namamu Hani, ya. Kamu tahu namaku kan?"
"Ibu Kepala bilang umurmu baru 8 tahun. Kalau aku 10 tahun. Jadi aku lebih tua dua tahun."
"Hei, kau sudah pintar membaca atau belum? Mau ku ajari?"
"Hani, lihat! Ibu Kepala habis memotong rambutku. Keren, kan?"
Hani menyerah.
Setelah berhari - hari bertahan mencueki anak itu, Hani mengangkat wajahnya dimana ia bisa melihat bocah itu tersenyum memamerkan potongan rambut baru di hadapannya sambil tersenyum bodoh seperti biasa.
"Kenapa kau ingin dekat denganku?" Hani melipat tangannya di depan dada saat menatap bocah itu, ia mulai merespon ucapan demi ucapan Alan namun tetap saja nada bicaranya masih terdengar angkuh nan ketus seperti biasa.
Anak laki - laki itu hanya bisa menggaruk kepalanya sebentar mendengar pertanyaan Hani. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Memangnya perlu alasan kalau ingin berteman?"
"Kau suka padaku sejak hari pertama?" ucapan spontan Hani selanjutnya sukses membuat Alan tertawa terbahak - bahak sementara Hani hanya menatap tidak mengerti akan apa yang lucu dari tebakannya barusan. Ia hanya berpikir anak laki - laki ini begitu keras kepala mengajaknya bicara dan akrab sejak pertemuan pertama mereka tidak peduli seberapa sering Hani bersikap tidak peduli akan dirinya, mungkin saja ia tertarik pada Hani kecil bukan?
"Kau mirip adikku. Umurnya juga sama denganmu. 8 tahun." Alan kembali membuka suaranya setelah cukup lama tertawa mendengar pertanyaan Hani yang ia anggap sebuah lelucon barusan.
"Kau punya adik?" tanya Hani. Seingatnya anak ini datang sendiri ke panti saat itu. Adik mana yang sedang ia bicarakan?
"Lily. Dia adikku di 'rumah' itu. Melihatmu mengingatkanku padanya. Ia juga sok dewasa seperti dirimu tapi kau lebih kasar, haha~" jawab Alan setengah tertawa.
Hani terdiam mendengarnya. Jawaban Alan barusan mengingatkan Hani akan pembicaraan Ibu Kepala dengan beberapa suster yang sempat ia curi dengar saat sedang membicarakan kedatangan anak ini ke panti asuhan. Dari pembicaraan itu, Hani menyimpulkan sesuatu. Bahwa anak ini dulunya adalah penghuni di panti ini sebelumnya, lalu di adopsi oleh sepasang suami istri beberapa tahun lalu dan meninggalkan panti. Namun, ia kembali lagi. Momen di saat ia pertama kali bertemu Hani di depan ruangan Ibu Kepala adalah hari dimana Alan kembali ke tempat ini.
Hani merasa bahwa anak ini di buang, sama seperti dirinya.
"Kenapa?" Hani kembali membuka suaranya.
Alan memiringkan kepalanya, tidak mengerti dengan pertanyaan Hani yang terkesan menggantung tiba - tiba.
"Kenapa mereka membatalkannya?" tanya gadis kecil itu pada akhirnya memperjelas pertanyaannya membuat senyum Alan perlahan memudar dan berganti dengan raut wajah yang kosong tanpa sebab.
Ia tahu apa maksud pertanyaan gadis itu, dan gadis itu tahu apa yang sedang dialaminya. Tidak peduli bagaimana ia bersikap ceria dan seakan tidak terjadi apa-apa seperti apa kata Ibu Kepala, gadis di depannya ini terlalu pintar untuk membaca kondisinya.
"Sudahlah, lupakan saja. Anggap saja aku tidak pernah bertanya." Hani menarik nafasnya kemudian beranjak pergi dari sana, meninggalkan Alan yang memilih tidak menjawab dan mengejar Hani untuk pertama kalinya.