Langit malam begitu cerah. Sisil memandang jarum jam. Sudah pukul tujuh malam. Tadi sepulang sekolah rasanya dia benar-benar kelelahan. Masih ada pekerjaan dapur yang belum yang belum diselesaikannya.
Terdengar suara pintu diketuk.
“Sisil!” panggilnya.
“Ya, tunggu bentar ya!” Sisil melangkah ke pintu.
“Ngapain, Kamu Balza malam minggu bawa-bawa buku beginian?” ucap Sisil ketika Balza menghempaskan buku ke meja.
“Mau ngerjain PR lah! Mau ngapain juga lagi! Bantuin dong!” jawabnya santai.
“Tapi aku belum mandi, masih mau nyuci piring!”
“Ya, udah, mandi dulu gih. Biar aku yang nyuci piringnya!” ucap Balza.
“Serius?” tanya Sisil tak percaya.
“Ya, serius lah!” Balza lalu melangkah ke dapur dan mulai mencuci piring.
Mata Sisil melotot heran.
“Yah, ngapain juga berdiri di situ. Mandi gih, cepat!” suruh Balza.
“Ya, ya, ya!” Sisil tertawa. Ia pun bergegas ke kamar mandi.
Selesai mencuci piring, Balza pun ke ruang tengah.
“Yang mana coba tunjukkan PR nya!” ucap Sisil ketika sudah selesai mandi dan berpakaian.
“Sil, kamu kalau ngajarin jangan galak-galak ya!”
“Enggak-enggak!” sahut Sisil.
Sisil memperhatikan soal yang diberikan oleh guru Balza. Meskipun setingkat, Balza dan Sisil terkadang memiliki guru mata pelajaran yang berbeda.
“Nah, ini seperti ini ya, bla-bla-bla....!” perkataan Sisil sepertinya terdengar layaknya pembaca berita di telinga Balza.
“Nah, kalau yang ini, bla-bla-bla...!” Balza mendengar dengan sesekali mengangguk-angguk.
“Nah, sudah ngertikan?” tanya Sisil.
“Belum!’ kata Balza menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cantik.
Sisil terlihat kesal “Terus yang kamu angguk-angguk tadi apa Fernando, mau tiru boneka anjing di dalam mobil gitu?” kata Sisil mulai berang.
“Makanya, kalau masih sekolah itu enggak perlu pacar-pacaran, jadi bloon kan? Buat malu saja, pacar banyak, buat kayak gini aja enggak bisa!” sambung Sisil lagi.
Radon yang dari tadi menemani mereka belajar hanya bisa tertawa.
“Kamu kalau belajar yang serius dong, Balza! Kan kasihan Sisil mesti mengulang-ulang lagi!” kata Radon sambil memberikan air mineral pada Balza.
Sisil yang malas berdebat, lalu mengambil buku Balza. Ia mengisi semua jawaban pada buku latihan itu.
“Ah, kenapa tidak dari tadi, sih? Kenapa banyak sekali mukadimahnya?” kata Balza.
“Banyak gaya kamu. Tapi kamu senangkan?” kata Sisil.
Balza tersenyum lagi.
“Terima kasih, anak kecil!’ kata Balza lalu pulang mengantarkan buku.
“Aku mau tidur, jangan ganggu aku sampai pagi senin!” teriak Sisil pada Balza lalu menutup pintu kamarnya. Di kamarnya sudah ada dua adiknya yang sudah tidur.
Ya, Sisil masih tergolong muda. Rata-rata di kelasnya selisih jarak usia dengannya sekitar dua tahun atau lebih. Maklum Sisil tidak pernah duduk di kelas lima atau bisa dibilang loncat kelas.
Sisil memeluk bantal gulingnya. Malam ini jadwal kerja bundanya masuk malam. Bunda kerja dua belas jam sehari di pabrik kayu di perbatasan kota ini. Sekitar sekilo dari rumah Sisil. Sisil sangat menyayangi bundanya itu. Terkadang terbersit hatinya untuk segera selesai sekolah. Sisil benar-benar tak ingin bundanya bekerja dengan susah payah untuk menghidupi ia dan adik-adiknya.
Ngilu juga terasa di hati Sisil, ketika bundannya menyampaikan bahwa tangan rekan kerjanya terputus, hanya karena ngantuk. Atau beberapa kecelakaan kerja yang tidak bisa Sisil bayangkan lagi. Kalau sudah begitu, ia akan masuk ke kamarnya lalu menenggelamkan mukanya ke bantal. Ia tak ingin bunda dan adik-adiknya tahu bahwa ia sangat khawatir dengan pekerjaan itu.
***
Balza memang aneh. Sisil sudah mengatakan bahwa ia tak mau diganggu sampai dengan Senin pagi, tapi pagi ini dia membawakan semangkok nasi goreng.
“Sil, Sil!” kata Balza dari luar jendela.