"Balza, kamu ke sekolah enggak hari ini!" teriak Sisil dari rumah. Tidak seperti biasanya memang. Biasanya Balzalah yang selalu menunggu di rumah Sisil.
Sisil menyinggahi rumah Balza yang berjarak dua puluh meter saja dari rumahnya.
Balza seperti orang bingung.
"Ayo, buruan sekolah, Balza. Kok anak laki-laki demen banget nyapu rumah. Sudah hampir lima kali dia nyapu rumah, Sil!" kata Tantenya. Mungkin baru pulang tadi pagi dari suatu tempat karena tadi malam memang tidak ada orang di rumah selain Balza.
"Ayo, cepetan, nanti kita terlambat!" kata Sisil lalu menarik tangan Balza dan membawa tas Balza yang sudah terletak di meja teras rumahnya.
"Kamu yang mengambil, Sil?" tanya Balza sembari berjalan ke jalan utama.
"Ngambil apaan?" tanya Sisil pura-pura tidak tahu.
"Bungkusan kecil berisi bubuk!" Balza menajamkan matanya ke arah Sisil.
"Jangan tatap aku seperti itu Balza. Mata kamu masih merah. Aku takut!" Sisil mengalihkan pandangannya.
"Jujur, Sil, aku tak mau orang lain melihat barang itu!" melihat sahabatnya mengiba Sisil pun jujur.
"Iya, sama aku. Sudah ku buang!" kata Sisil, lalu berjalan agak cepat meninggalkan Balza.
Namun, sahabatnya itu pun mengikutinya dengan berlari.
Balza terjatuh. Mungkin masih ada pengaruh obat kemarin.
Sisil yang menyadari Balza terjatuh, lalu balik menghampiri Balza.
"Tuh, kan kamu enggak hati-hati!" Sisil lalu mengulurkan tangannyanya. Balza berjalan pelan hingga mereka menunggu angkot.
Dalam angkot, sudah tidak ada lagi anak sekolah.
Sisil dan Balza turun dari angkot. Betapa terkejutnya mereka melihat beberapa siswa yang terlambat sudah di kumpulkan.
"Mampu* kita!" ucap Sisil pada Balza.
Sisil dan Balza masuk barisan yang terlambat itu. Ada sekitar dua puluh orang yang terlambat, membuat kepala sekolah berang, lalu menampar pipi siswa yang bermasalah itu.
Tidak terkecuali rejama komplek Bukit Mutiara itu.
Setelah menjalani hukuman atas keterlambatan, mereka dipersilahkan masuk.
Balza memanggil Sisil yang berjalan cepat ke kelas. Sisil berhenti sejenak.
"Maaf, membuat kamu harus merasakan hukuman tadi!" kata Balza melihat mata Sisil berkaca-kaca.
"Sudahlah, lupakan saja!" Sisil masuk ke kelasnya. Balza melihat Alive dengan nelangsa.
"Seandainya tidak ada drama mencari barang haram itu, tak mungkin Sisil akan menunggu aku, atau jika bukan karena ia oyong, ia tidak akan terjatuh tadi!" Balza membatin, lalu masuk ke kelasnya.
“Tumben, Kamu terlambat, Sil?” tanya Yana berbisik.
“Enggak, aku tadi telat bangun saja!” kilah Sisil.
“Berangkat bareng Balza?”
Sisil mengangguk pelan, lalu membuka buku cetak. Hari ini rasanya ia tidak bergairah.
***
Dua hari berlalu, sejak kejadian Balza yang hampir sakau. Sudah dua hari Balza tidak melihat Sisil. Sisil berangkat sekolah tanpa menunggu dirinya lagi.
Pagi ini, Balza berjalan mencari warung terdekat dengan rumah. Ia hendak membeli sesuatu.
"Pak, beli deterjen pak!" kata Balza ke penjual.
"Ini! Rokoknya enggak sekalian Za?" tanya yang empunya warung sembari memberikan detergen pada Balza.
"Enggak pak!" Balza menjawab dengan santai.
"Tadi malam Sisil beli rokok, katanya untuk Balza?" lanjut bapak paruh baya itu.