“Kalau aku boleh menaruh luka, mungkin itu bukan sebuah tanda baca koma, tapi untuk sebuah tanda baca titik, karenanya aku bertemu dengan jalan hampa ini, karenanya aku tak pernah kenal bagaimana mengakhiri tanpa berhenti untuk menyapa”.
Jakarta, 2018.
Sebait puisi yang ia lontarkan ini seakan menyiratkan suatu kesedihan yang mendalam, ada apa dengannya? Pikirku. Apa yang ia tutupi atau apa yang ia sembunyikan sehingga aku tak pernah tau jalan dan caranya berpikir, sekeras apa ia bangkit dan mencoba kembali? Jelas sekali ia menunjukan rasa pedihnya yang mendalam, namun ia pernah berkata, “Puisi itu indah, dia ngak harus dimaknai dari satu sisi aja, semua orang berhak untuk mendeskripsikannya dengan perasaan masing-masing”.
Aku mulai membaca bait demi bait puisi yang terlontar dalam buku hariannya, mencoba menelaah, kepada siapa hatinya terpecah-pecah saat itu? Aku terlalu takut untuk bertanya namun hati tak kunjung berhenti untuk tidak penasaran dan akhirnya memutuskan untuk bertanya melalui pesan singkat dimalam itu dengan sebuah foto tulisannya yang hampir blur karena saat itu aku sedang terduduk di busway yang berjalan diatas jalanan yang cukup rusak.
“Untuk siapa?” Tanyaku.
Aku tercengang dengan jawaban yang ia berikan.
“Ha ha ha, aku malu ngebahasnya, aku juga sudah lupa untuk siapa, benerkan aku malu sumpah” Katanya.
Kalimatnya semakin membuatku ingin bertanya lebih jauh dan lebih dalam, namun tanganku berhenti tanpa membalas, aku mengalihkan pikiranku dengan jalanan yang semakin malam semakin macet, 1 jam di perjalanan namun tak kunjung sampai ditempat tujuan. Seketika aku menerawang jauh dalam lamunanku malam itu, dalam bisikan kalimatnya dan kantuk yang mulai menerjang ditengah perjalanan. Jakarta serasa asing untuk ditaklukan malam itu. Aku semakin penasaran dengan seluruh bait-bait puisi lainnya, tidak mungkin seseorang melupakan makna tulisannya.
***
Ini adalah tahun 2017, bagiku ini adalah tahun keberuntunganku karena akhirnya aku berhasil mewujudkan impianku untuk bergabung di perusahaan impianku walaupun aku berpisah divisi dengan Saguna.
Aku masih ingat kata-kata Saguna kala itu, ketika pertamakalinya aku mengumumkan kelolosanku di perusahaan ini.
“Tuh kan, gw bilang juga apa, lo pasti lolos, soalnya lo punya niat sih” Saguna membuyarkan lamunanku malam itu.
Setelah 3 bulan lamanya aku tinggal di Australia untuk menenangkan pikiranku, aku kembali ke Jakarta dengan tekad yang baru dan impian lama yang belum pernah terlupakan, yaitu masuk di perusahaan impian yang pernah menolakku di tahun 2016. Aku berhasil membuktikan pada Saguna bahwa aku mampu lolos untuk menjadi karyawan disana.
“Thanks Sa, tapi kita pisah ya, gw pikir bakal se tim bareng lo” Cemas ku.
“Ngak apa-apa Al, disini tuh orangnya baik-baik, welcome-welcome semua sama orang, mangkanya gw seneng banget kerja disini, percaya deh sama gw, lo pasti bakal kerasan kerja disini, ngak akan percuma deh, kepulangan lo ke Indo kali ini Al” Saguna menepuk pundakku yang mulai cemas didepan kantor HRD.