Warna cinta katanya seperti,
Merah yang mewakili mawar yang mekar,
Biru yang menemani air dan awan yang menyatu
Hijau seperti ilalang dan rumput yang mulai tumbuh tinggi
Orange dengan awan senjanya
Putih yang selalu menjadi warna suci
Baunya seperti hujan yang baru turun membasahi tanah
Dan seperti sebuah tanda baca koma yang selalu memberikan energi pada setiap tulisan
Seminggu setelah kepergian kami ke Banten, aku dan Hanum menjadi semakin dekat, saat itu kami pergi dengan 4 perempuan, diantaranya aku, Aeera, Ima dan Arin dan 2 laki-laki, Hanum dan Radit. Selepas seminggu berada di divisi yang baru, aku masih sering mengunjungi divisi lamaku sehabis pulang kantor.
Sore itu Hanum memanggilku untuk mengobrol diparkiran motor ketika aku selesai sholat magrib dan lagi-lagi hujan masih belum mereda sehingga membuatku terjebak dikantor untuk menunggu. Tidak apa-apa, aku suka hari hujan. Entah mengapa aku merasa sangat senang bisa mendapatkan kesempatan untuk mengobrol dengannya, Hanum yang tiba-tiba memanggilku dan memberi selamat atas kepindahanku ke divisi yang baru, saat itu aku masih belum sadar atas perasaanku padanya, aku hanya merasa senang akhirnya orang yang selalu diam seribu bahasa ini menyapaku untuk berbincang ditengah hujan.
Hanum jadi sangat banyak berkata-kata, ia banyak menanyakan tentang kepindahanku ke divisi baru, bagaimana aku lolos, mengapa aku memilih divisi itu dan banyak memuji karena aku selalu selangkah terdepan daripadanya katanya, padahal aku tidak pernah merasa seperti itu, nasib yang membawaku ada ditempatku saat itu.
“Gimana ditempat baru Al? Hebat loh kamu, berani buat berjuang dijalur lain, aku aja stuck disini aja, kayak belum PD aja Al” Celoteh Hanum.
“Tempat baru oke juga, walaupun ngak se oke di tim yang lama. Ahh biasa aja kok Num, ha ha ha, kamu juga bisa kok, buktinya aku aja yang bukan jurusan komunikasi, sastra atau jurusan yang mengarah copywriter lolos, apalagi kamu yang lulusan sastra, nanti kalau ada lowongan baru lagi di tim baruku ini aku kabarin, deh” Kataku yang diam-diam tersipu dengan pujian Hanum, aku selalu tidak bisa menyembunyikan pipiku yang memerah karena tersipu.
“Enggak dong, kamu berbeda Al, aku bisa aja dari kemarin ikutan, cuman masalahnya aku ngak sejago itu, apalagi dalam ngehayal Al, ha ha ha, sadar ngak sih Al, kalau ngehayal itu bisa ngebawa kita terjun kedalemnya tanpa kita sadarin, contohnya, ya kamu”
“Ngehayal? Itu sih hobi ku, ha ha ha, Num, setiap orang berhak kok ada diposisiku, tinggal dari kamunya aja mau atau enggak ngejalaninnya, buktinya aku perhatiin waktu aku masih ada di tim ini, kamu bisa selama ini nulis, walaupun aku ngak tau sih kamu nulis apa, ha ha ha”