WARNA RASA DISETIAP HUJAN

Vy
Chapter #8

Warna Rasa Mungkin Kelabu

Sampai kapan rasa ini harus terpendam jauh?

Sampai kapan harus mengerti waktu?

Sampai kapan hanya terdiam membisu didepanmu?

Sampai kapan tak bergeming jika melihat indahnya kilau matamu?

Sampai kapan aku harus menunggu kau untuk mengerti dan paham?

Aku berkaca-kaca ketika seorang Hanum mengajakku untuk pergi bersamanya kesalah satu pameran buku, aku pikir mungkin karena kita mempunyai hobi yang sama, sama-sama suka membaca buku, sama-sama akan diam disatu ruangan toko buku dengan jangka waktu lama saking hausnya dengan buku-buku. Tentu saja aku mengiyakan ajakan Hanum hari itu. Aku juga terharu dengan semangat yang ia berikan kepadaku, sungguh tak terpikir olehku ia akan mengatakan hal tersebut. Aku suka caranya menyemangatiku, aku seperti mendapatkan kekuatan dalam menjalani pekerjaan baruku darinya. Seandainya kami bisa satu divisi kembali, mungkin akan lebih menyenangkan.

Mengobrol sepanjang hujan turun adalah favoritku dengannya, membicarakan kesukaanku, hobiku dan gaya menulisku, serta membicarakan Hanum yang sering membuat puisi dan prosa pada buku catatannya, hingga akhirnya hujan berhenti dan Hanum memutuskan untuk lanjut bekerja dan aku lanjut pulang. Aku jadi sering merasa selalu ada hal baik dan selalu ada dia disetiap hujan turun.

Sabtu pagi kami janjian distasiun kereta Pasar Minggu, karena kosan Hanum tidak jauh dari sana, bekas hujan yang semalam masih terasa wanginya di pagi itu, Jakarta sedang diguyur hujan beberapa hari ini, namun kali ini semesta mendukung perjalanan kami, walaupun cuaca masih terlihat mendung. Kukira Hanum akan telat, masih teringat rasanya menunggu seseorang disuatu tempat dari mulai senang sampai rasanya mati rasa, nyatanya Hanum lebih dulu sampai, aku kagum pada ketepatan waktunya. Kami berencana untuk berangkat bersama sebelumnya dan akan menemui teman-teman sekampus Hanum di lokasi langsung. Aku merasa deg-degan bertemu dengan teman-temannya. Padahal kalau dipikir-pikir kesempatanku untuk berkenalan orang lebih banyak.

Kata Hanum teman-temannya ini sudah seperti saudaranya sendiri, banyak sahabatnya yang juga merantau kedaerah Jakarta akhir-akhir ini, dua diantaranya yang akan kami temui di pameran buku.

“Mereka ini salah satu sahabat-sahabatku Al, yang satu udah lama disini, baru banget married, yang satunya lagi baru banget keterima kerja disini, sahabat lainnya masih banyak, tapi kita mencar-mencar” Ucap Hanum disepanjang perjalanan kami dengan kereta.

“Oooh, sahabat kamu berapa orang Num? Termasuk Radit bukan?”

“Iya Radit juga, kita ber 5, aku dan Radit memang udah disini duluan, yang satu lagi di Jakarta juga, cuman dia lagi ngak bisa ikut karena kerja, yang satu lagi di Darwin, dia ikut WHV, naah yang satu lagi itu dia masih di Padang, udah married juga, kalau ngak salah dalem waktu deket ini dia mau ke Jakarta sama istrinya pas temenku pulang dari Darwin”

“Oooh terus yang 2 ini, yang bakal kita temuin ini? Ngak masuk hitungan? Atau beda jurusan?”

“Hmm yang dua ini anak sastra juga Al, tapi mereka perempuan, he he he, ini ngak masuk hitungan cuman mereka memang sahabat kita juga, sama-sama berjuang bareng dulu waktu skripsi, tapi mereka lebih dulu lulus dari aku, IPK mereka juga lebih tinggi dari aku, loh, he he he, kan aku anaknya gitu Al dulu, suka main-main kalau kuliah, ha ha ha”

“Ha ha ha, aseli aku bener-bener ngakak dengernya, Num, seorang kamu ternyata dulu kuliah bisa nakal juga, yaa, ha ha ha, yaah, ngak apa-apalah, nakal waktu kuliah maa biasa Num, kalau nakalnya telat itu yang bingung, ha ha ha, kadang aku iri orang bisa ya, ngepertahanin sahabat-sahabatnya, aku aja punya temen suka ngak nentu Num” Aku menerawang jauh pada masa laluku yang sering berpindah tempat karena mengikuti ayahku untuk dinas lama diluar kota. Kenal beberapa orang namun tak pernah sampai se langgeng atau sedekat itu.

“Kenapa ngak nentu Al? Bukannya berteman dengan banyak orang lebih baik?”

“Iya baik sih, cuman aku ngak punya teman yang bener-bener jadi sahabat aku banget gitu Num, kamu bakal bisa ngerasain kalau kamu ada di posisiku Num, he he he, ngak punya temen yang langgeng tuh, rasanya ngak enak Num”

“Ngak apa-apa Al, temen tuh ibarat anak, ada istilah banyak anak banya rezeki, temen juga gitu banyak temen banyak rezeki, amiin, he he he, kan kalau banyak temen kita jadi tau dunia”

Kagum adalah kalimat pertamaku jika ada pertanyaan tentang Hanum. Setiap barisan kalimat yang ia ucapkan selalu membuat hatiku terasa mengaguminya, bahasanya yang dewasa namun tetap menggunakan intonasi dan kalimat-kalimat yang mudah dimengerti olehku. Lama-lama Hanum mulai terbiasa menunjukan siapa dia, bagaimana masa lalunya, banyak cerita tentang dia yang belum pernah aku dengar dari orang lain dan keluar langsung dari mulutnya, aku jadi semakin penasaran dengan cerita kelanjutannya, terutama selalu penasaran dengan siapa ia bercakap ditelfon yang selalu berdering ketika ia sedang bekerja.

Hari itu kereta sumpek karena mungkin weekend, orang-orang berlibur atau memang ada keperluan kedaerah yang akan kami singgahi, Hanum berdiri tepat agak dibelakangku disebelah kiri dengan tangannya memegang pegangan kereta disebelah kananku agar badanku tertahan dengan lengannya kalau-kalau kereta mulai bergoyang karena padatnya orang dan aku mulai terdorong kebelakang. Aku jadi salah tingkah sendiri melihat perlakuannya yang melindungiku.

Lihat selengkapnya