Warna-Warna Mirna

Dimarifa Dy
Chapter #2

Mantra

Pong burung cinta kasih. Terbang di kesa berengen koneng. Hinggap di behu kidau Mir. Bertengger di behu kanan Mir. Bertelur di hati lidah Mir. Bersarang di hati tangan Mir ...

Dia lebih mendekatkan lagi kertas kusut itu, ingin membaca lebih jelas apa yang tertulis. Tulisan dalam kertas itu lebih buruk lagi. Wanita itu tidak menyerah, beberapa lama mulutnya membuka lagi.

Menetas di anak mate kanan mir. Singgah turun kedunia menunduk sendi Mir. Orang sejagat segendang alam. Sehelai sipatku tidak berubah lagi. Segendang sebelai raya. Sigat cahya wang hanya melihat mukaku-

Mestinya kata –ku semua diganti Mir, karena ingin cepat dia sering lupa menggantinya.

...

Meraba kertas kuning yang sudah lusuh itu. Mendekatkan pada lampu minyak, membolak baliknya berulang, mulutnya masih berdesis.

Mirna terbangun oleh suara berisik itu. Dia melihat ibunya memegang kertas kuning lusuh dibawah lampu minyak. Sesaat seperti nenek sihir dalam cerita Hansel dan Gretel.

Mirna mendecih, dia ingat, suatu ketika berlari kedalam hutan itu, ingin menemukan sang nenek sihir. Entahlah kenapa waktu itu dia berpikir lebih baik jadi budak si nenek sihir atau mati dalam panci masakannya daripada hidup seperti hidupnya.

Selama enam tahun mereka tinggal di tengah hutan, Mirna tidak takut apapun lagi, seolah semua cerita hantu juga hilang saat mereka mulai menetap di sana. Mirna dan ibunya bersepakat, tidak takut mati, karena itulah mereka tidak takut apapun lagi.

Pong burung cinta kasih, pong burung cinta kasih!.

“Umak!” Panggil Mirna. Gadis kecil itu duduk. Menatap ibunya dengan mata masih mengantuk. Dia tak ingin perduli kelakukan ibunya, hanya sepertinya ibunya semakin tidak waras.

Sekarang dia bukan gadis kecil umur sepuluh tahun lagi, Mirna sudah kelas dua SMP, dia sudah mengerti hal yang pantas dan tidak, hal yang benar atau tidak. Melihat ibunya terus-terusan membaca tulisan di kertas lusuh yang entah darimana, lama-lama dia juga merasa tidak waras.

“Mirna itu cantik. Tapi cantik saja tidak cukup. Dia harus punya pengasihan.”

Mirna pernah mendengar obrolan itu suatu ketika.

“Ini ilmu paling mujarab Mirna, orang-orang sering tidak berhasil melakukan ritualnya, kalau dia diberkati. Dia akan jadi gadis paling beruntung di dunia ini.”

Mirna mengintip, mata ibunya berbinar-binar.

“Kau beruntung, rumah kalian dekat muara tiga sungai!”

Kata ibunya setelah itu,

“Kau anak baik, kau anak cantik, jangan bernasib seperti Umak, ya.”

Lihat selengkapnya