Sesekali dia menggambar warna-warna itu dalam benaknya, dengan mengubah warna dasar dari gamis tetangganya yang menurutnya bikin sakit mata. Mirna tidak suka warna terlalu terang seperti fuschia. Warna yang tidak cocok untuk padu padan apapun, pikirnya. Mungkin warna itu hanya cocok untuk bunga pukul empat yang ditanam ibunya di pinggiran pondok mereka.
Mereka baru saja memperhatikan bunga itu. Meski sedikit heran, bunga-bunga itu ternyata juga tumbuh sepanjang jalan raya.
“Ayo bergegas, ini sudah sore.” Bunga pukul empat mekar sempurna, pertanda waktu sudah terlalu sore.
Mirna berhenti memandangnya ketika merasa bayangan itu menatapnya. Lelaki yang bersamanya tersenyum dan membenahi poni ikalnya yang jatuh di kening. Mirna yang melihat sedekat itu, sejenak merasa terpesona.
Laki-laki itu juga memandangnya dengan wajah tersenyum. Untuk saat ini, pikirnya, aku tak mau melupakan rasa bahagia ini. Aku tak mau merusak suasana ini.
Mereka berjalan bersisian lagi. Hari yang tenang dan cerah. Sesekali mobil warna sephia melewati mereka. Sejenak Mirna merasa salah dengan keadaan itu. Kenapa dia membiarkan dirinya terlena dan menikmati kebersamaan itu. Kenapa dia tak menghindar seperti biasa. Bagaimana kalau dia jatuh cinta. Pemikiran itu sangat menakutkannya. Sejauh ini dia sudah terbiasa memasang tembok antara dirinya dengan orang-orang, terutama mereka yang berada di balik dinding istana.
‘Tidak apa-apa. Sekali ini saja’ Mirna kembali menenangkan hatinya. Ya. Sekali ini saja dia membiarkan dirinya begitu dekat dengan orang itu.
“Mirna.” Lelaki itu memanggilnya. Mirna menoleh, wajah yang tadinya tersenyum, sekarang menatapnya dingin.
Mirna ketakutan, kenapa wajahnya berubah menjadi wajah Bapak.
“Matilah. Matilah!” Lelaki itu mendorongnya ke tengah jalan, bersamaan dengan itu terdengar klakson panjang dari sebuah truk! Wonggggg!
“Jangannn!” Mirna menjerit.
Mirna terbangun. Matanya terbuka.
“Kak Mirna.” Emma menatap kakak perempuannya yang baru saja terbangun di atas lepau bambu itu. Keringat membanjiri wajahnya.
“Kak Mirna mimpi buruk?” Emma melihat kakaknya keheranan. “Kenapa tidur di sini?” Mirna memandang sekeliling, lega saat mengetahui dia masih ditempat yang sama. Hutan karet.
Di depan sana ada Mang Kasim supir truk yang suka mengantar barang ke kota, sepertinya barusan dia menyerahkan titipan Umak yang biasanya menitip membeli beras. Mang Kasim segera berlalu setelah bicara dengan Emma.
Mirna membenahi posisi tubuhnya dan duduk.
“Kata teman Emma, tidur setelah waktu asyar itu memang nggak baik, Kak.” Emma meletakkan beras seberat 10 kg itu di lepau sebelah Mirna.
“Kau baru pulang? Mana Umak?” Mirna juga melihat Emma meletakkan ember dan arit lengkung yang digunakan untuk menakik getah.
“Masih mencuci di sungai.”
Mirna menatap ke depan lagi, pandangannya kosong. Kenapa dia memimpikan Erlangga. Dan kenapa lelaki itu berubah jadi wajah Bapak?
Erlangga adalah salah satu teman sekolahnya, yang sering dibicarakan teman-temannya. Seingatnya, dia tak pernah membiarkan dirinya terbawa cerita teman-temannya, tapi memang tak bisa menolak saat mereka membicarakannya.
Apa karena itu dia jadi memimpikannya, karena dia terlalu sering mendengar teman-teman menyebut nama itu saat mereka bersenda gurau.
Mirna turun, meraih berberapa diriken yang digunakan untuk mengangkut air sekalian mandi sore di sungai.
“Ada yang perlu aku cuci? Biar sekalian.” Mirna menawarkan. Emma menggeleng.
***