Ibunya mengiris kulit pohon yang sudah berpola dengan kemiringan 45 derajat. Getah muncul dari kulit yang baru dibuka, mengalir melalui bambu ke dalam wadah tempurung kelapa yang sudah dipasang. Melakukan hal yang sama pada permukaan yang lain. Mirna mengamatinya dengan seksama. Getah yang keluar berwarna susu. Dia hapal pola itu, tapi belum pernah mencobanya.
Mirna sering mengingat itu ketika pelajaran biologi. Dan seringkali bersemangat karena dia sedikit tahu tentang pohon dan kambiumnya. Dulu saat masih SD Mirna juga suka menghibur adik-adiknya dengan bercerita bahwa sayuran yang ditanam ibunya dipekarangan depan rumah mereka itu sedang sarapan.
“Mereka makan dari matahari, Kak?”
“Ternyata jadi sayuran itu mudah ya. Tak perlu bersusah payah.”
“Iya, mereka mengisi nutrisi di tubuh mereka dari cahaya matahari.” Mirna menyukai belajar hal-hal baru seperti itu! Makanya dia kurang suka jika ada guru suka meninggalkan jam mengajar mereka.
“Wahaiii para calon koruptor, sambutlah sang calon pejabat tertinggi!” Rendy yang baru masuk melakukan ritual orasinya seperti biasanya.
“Huhhh.” sorak Ridwan, biang badung kelas Mirna.
“Aku tak bercita-cita jadi koruptor, kawan! Karena aku adalah penjaga pintu surga.” Balasnya dengan suara dimirip-miripkan dengan Rhoma Irama.
Biar bengal tapi semua orang menyukainya. Mereka membentuk komunitas di belakang.
Seseorang masuk kelas mereka lagi.
“Erlan!” Anak-anak perempuan langsung histeris. Erlangga bergaya sebentar, lalu memberi flying kiss kepada semua orang. Atap kelas seolah mau runtuh. Saking berisiknya.
“Tenang-tenang, girls! Erlan pasti nggak pernah mengecewakan fansnya,” katanya diiringi sorak huuu, Erlangga tertawa-tawa.
Cowok itu berjalan melewati kursi Mirna. Kelas kian huru-hara. Rahmi dan Reni pun mengambil bagian, ia pindah kebelakang, tumplek-blek dengan anak-anak badung itu.
Detik berikutnya, Mirna telah berada diluar, menuju perpustakaan. Yang paling dia sukai dari pelariannya, adalah kebetulan yang menyenangkan seperti ini. Sebuah sudut dan meja yang sama sebelumnya, sosok itu di sana. Perpustakaan sepi, hanya beberapa. Kalau bukan waktu istirahat atau belajarnya diintruksi keperpustakaan, cuma ada beberapa mahkluk yang mau mampir kesini, dan Mirna hafal makhluk-makhluk itu.
Salah satunya, dia.
Rama.
Mirna mengibaratkan Rama dengan warna sunset sore hari, warna yang indah meneduhkan. Kadang kala dia merasa Rama sebagai warna musim gugur. Warna pastel yang sepi. Setiap melihatnya, Mirna merasa kesepian seperti itu. Menyesalkan dia tidak sebebas remaja lainnya, tidak bahagia seperti remaja yang lain.
Mirna berjalan pada rak yang mendekati meja Rama. Mengambil buku sembarangan, memilih duduk demikian rupa, tidak terlalu dekat tapi juga tak terlalu jauh. Yang penting masih bisa melihatnya.