Warna-Warna Mirna

Dimarifa Dy
Chapter #5

Kau Menyukainya

Kata orang cara kerja semesta itu begitu mitserius. Energi kosmik yang bersatu padu mewujudkan sebuah kebetulan atau keajaiban untuk kemudian dinamakan mereka sebagai ‘Takdir’

Begitulah sang semesta berkerja untuk sepasang manusia yang berbeda, bertemu pada pagi itu.

Bel pertanda masuk kelas berbunyi tepat Erlangga yang juga baru sampai, melihatnya dilorong sekolah. Entah karena terbawa perasaan sedih dan ketakutan kehilangan saat memikirkan ibunya. Erlangga mendekati gadis itu hanya untuk menanyakan apa dia perlu bantuan.

Gadis yang dilihatnya tengah berjongkok agak terburu-buru mengikat tali sepatunya yang terlihat berantakan. Saat mendekat, Erlangga baru menyadari sepatu itu sudah tak layak. Merasa ada bayangan di depannya, Mirna mendongak dengan mata sedikit terkejut.

Wajah terkejut dengan mata membelalak itu begitu memikat di matanya, rambutnya dikuncir dengan pita besar, beberapa dibiarkan berjatuhan dipelipisnya. Sekilas Erlangga seperti melihat Summer Finn dalam 500 Days of Summer versi asia, tentu saja!

Seperti sihir.

“Erlan, sedang apa?” Gadis itu rupanya mengenalnya, pikirnya.

“Aku kira kau butuh bantuan.” Erlangga berkedip perlahan. Mirna berdiri dan tersenyum.

“Aku ke kelas, ya.” Mirna segera berlalu.

Selanjutnya dia selalu mencari keberadaan gadis itu di manapun, mendapatkan informasi dirinya dari data siswa. Erlangga menyebutnya sambil tersenyum, saat mengetahui nama lengkapnya.

Mirna Wulandari!

***

Erlangga melihat Mirna bergerak menuju gerbang. Keningnya mengernyit heran, kenapa gadis itu pulang sesore ini. Sepertinya bukan mengerjakan majalah bulanan sekolah mereka, Mirna sering diperbantukan oleh tim majalah, meski bukan anggota tetap. Kata ketua redaksi, gadis itu pandai merangkai kata hingga enak dibaca.

Mikaila, gadis yang di depan Erlangga melihat arah mata laki-laki itu ikut menoleh.

“Gadis itu?” Mikaila berkata. “Kau menyukainya?”

Erlangga hanya tersenyum.

“Dia sedikit lucu ...” Erlangga menjawab, “Yeah, cukup menarik.”

“Wah, aku patah hati dong.”

Erlangga tertawa.

“Aku jadi merasa bersalah kalau begitu.”

Mikaila ikut tertawa, “Nggak boleh selucu ini Erlan, aku makin patah hati entar.”

“Sudah, yuk. Katanya kau mau jenguk Mama.” Erlangga mengakhiri pembicaraan. Dia melangkah menuju motornya, mengambil helm dan memberi satu untuk Mikaila.

Mirna yang masih berjalan menuju jalan besar, menoleh saat motor tersebut melewatinya. Dia melihat gadis itu memeluk Erlangga erat.

“Kalau gadis itu juga menyukaimu, dia pasti merasa cemburu denganku sekarang.” Mikaila berteriak supaya terdengar di telinga Erlangga.

“Kau pasti tidak percaya, dia sangat sering menolakku. Aku tidak percaya dia bisa cemburu seperti katamu.”

“Oh, ya. Gadis langka dong. Jadi di sana daya tariknya ya. Pantas kau sepertinya tergila-gila padanya.”

Erlangga tertawa kencang sekarang.

“Apakah itu yang terlihat?”

“Leo bilang, kau tidak pernah bisa mengalihkan matamu darinya.”

“Leo sungguh ember, ya.”

***

Erlangga melangkah masuk. Mungkin karena beberapa bulan ini perasaannya hanya memikirkan gadis itu, jadi dia menyadari, salah satu sudut perpus yang luas itu terdeteksi keberadaannya. Cowok itu memandang berkeliling tapi tak menemukannya.

Lihat selengkapnya