Masih tetap sama. Hari-hari Iyus masih tetap sama. Seperti hari-hari sebelumnya. Bangun di sekitar jam lima pagi. Nyaris bersamaan dengan Pak Candra. Hanya saja, sejak Warnet Cincai berdiri, Iyus yang lebih sering bangun terlebih dahulu.
Iyus sudah berada di Warnet Cincai lagi. Warnet ini berlokasi di kawasan Jakarta Utara. Tak jauh dari Sport Mall. Ingat Sport Mall, banyak kenangan menyeruak di dalam kepala Iyus. Kenangan akan mamanya. Kenangan akan Elia dan adik sepupunya. Hingga kenangan akan Cindy Montolulu.
Pandangan Iyus beralih ke ponselnya, yang tadinya memandangi layar komputer. Full. Iya, dua puluh unit komputer di Warnet Cincai, semuanya sudah digunakan. Kebanyakan pelanggan warnet merupakan bocah-bocah SD dan SMP; yang kalau bermain, pasti berisik sekali. Sisanya, ada seorang pemuda berpakaian kasual yang bermain Dota. Padahal, bocah-bocah ini bermain Blank of Point, sebuah permainan tembak-tembakan yang sudah dua-tiga tahun ini sering dimainkan di warnet-warnet.
Iyus menyetel lagu JK Group lagi. Nyaris selalu lagu yang sama. Lagu yang ada Cindy Montolulu. Namanya juga orang sedang jatuh cinta. Mau coba ditutup-tutupi, mana bisa. Gendang telinga Iyus langsung menangkap mana suara Cindy Montolulu. Agak seperti suara bas seorang pria, tapi nuansa mezzo-sopran masih mendominasi. Jenis suara, yang menurut Iyus, ah, untuk seorang Cindy Montolulu, nada-nada tinggi bukan menjadi persoalan. Di lagu ini pun, di bagian nada-nada tinggi, Iyus langsung menerka itu pasti suara Cindy Montolulu. Pernah Iyus mempraktikkannya ke Elia. Elia ini, meski tidak fanatik amat, cukup peduli akan dunia JK Group.
Iyus mengingat lagi peristiwa tersebut. Sebelum Bu Rena meninggal.
"Ckck... bener sih dugaan lu. Kayaknya itu suara Cinmon. Banyak yang bilang, suara Cinmon itu agak-agak berat gitu. Cocok nyanyiin yang tinggi-tinggi."
"Seriusan lo?"
Mungkin saja memang benar. Karena setiap bagian itu dinyanyikan, wajah Cindy Montolulu sering muncul selintas di kepala Iyus. Seperti sekarang ini.
Iyus tersentak. Langsung ia menggeleng-gelengkan kepala. Bocah-bocah ini, bisakah bermain sedikit lebih tenang? Iyus segera berdiri dari bangku operator. Langsung saja menghampiri meja nomor 10. Bocah berambut cepak tanpa sengaja merusakkan mouse warnet.
Memang, yang Iyus harus akui, salah satu derita menjalankan bisnis warnet adalah harus bertemu kejadian seperti ini. Tiga hari lalu, ia harus minta uang ke Pak Candra, karena memperbaiki papan tik yang beberapa tombolnya lepas. Sekarang, giliran bagian mouse yang dirusak bocah yang sepertinya masih SD.
"Wah, Tong," ujar Iyus menggeleng-gelengkan kepala. "Mainnya bisa bener kagak? Bisa ganti kagak?"
Si bocah cepak hanya cengar-cengir tak keruan.
"Ah, elu, Tong. Untung gue sadar lu masih bocah SD. Masih SD kan elu?"
"Hehehe, iya, Bang, masih kelas 4 SD."
"Gue maafin. Hitung-hitung penglaris. Lain kali, besok-besok, main yang bener."
"Siap!"
"Gue lebih kasihan, tangan lu kesetrum. Bisa copot gini."
Setelah merusakkan satu mouse, bocah itu dan dua orang temannya meninggalkan komputer masing-masing. Iyus ikut untuk menghitung biaya penggunaan internet. Tiga bocah ini tadi bermain Blank of Point. Terkadang Iyus bingung sendiri, kenapa orang, entah anak-anak maupun dewasa, heboh sendiri bermain permainan tembak-tembakan. Di warnet sebelumnya pun begitu. Saking brutalnya bermain, banyak papan tik menjadi cacat. Ada saja tombol yang lepas.