Terdengar suara decitan motor dari luar Warnet Cincai. Iyus langsung bangkit dari bangku. Sebentar saja ia mengurus salah seorang pelanggan yang menyudahi diri untuk menggunakan jasa internet Warnet Cincai. Pelanggan itu sama seperti dirinya di masa lalu. Seseorang dengan kemeja putih dan celana panjang abu-abu. Yang membuat Iyus heran, kenapa si pelanggan ini seperti dirinya dua tahun lalu? Maksudnya adalah sama-sama menjadikan warnet sebagai pelarian saat dirinya telat dan tidak bisa masuk sekolah. Dulu Iyus seperti itu.
Iya, dulu Iyus seperti itu. Namun, saat itu Iyus tak sengaja telat datang ke sekolah. Iyus tak memiliki niat untuk membolos. Sejak melek, niatnya memang berangkat ke sekolah. Tanpa perlu dibangunkan, tanpa perlu diingatkan oleh Pak Candra atau Bu Rena, pasti Iyus sudah mulai beberes kepentingan sekolah malam sebelum berangkat sekolah. PR-PR dikerjakan. Seragam yang akan dikenakan, ia siapkan sendiri. Sepatu disemir mengkilap. Pokoknya Iyus benar-benar berniat untuk pergi ke sekolah. Baginya, sekolah bukanlah sebuah tempat yang harus dihindarkan.
Pelanggan SMA tadi juga bilang tahun ini ia kelas 12. Tahun depan dirinya akan mengikuti Ujian Nasional, lalu disibukkan diri dengan persiapan tes masuk perguruan tinggi, yang Iyus heran kenapa namanya sering berganti-ganti. Dari Sipenmaru, UNMPTN, SPMB, SNMPTN, dan, ke depannya apa lagi?!
Iyus menepuk punggung si anak SMA. "Semangat, Bro. Gue juga tahun lalu kayak lu, kok. Diusahain aja jangan sering telat."
"Maunya sih gitu, Bang," ujar si anak SMA nyengir sekaligus mengeluh. "Tapi, apa daya, dari rumah ke sekolah, seringnya ngelewatin titik-titik macet. Kadang sempet mikir mau ngekos deket sekolah aja, biar nggak sering telat."
Iyus mengangguk-angguk. "Coba omongin ke ortu lu aja. Jangan kayak gue dulu. Menjelang ujian gitu, sibuk sendiri. Yah, karena sering nggak masuk sekolah itu."
Bang Raja memperhatikan obrolan Iyus dan pelanggan Iyus yang masih SMA. Laki-laki berdarah Batak itu segera menyalakan rokok. Bang Raja pun sama. Bang Raja teringat dengan kenangan antara dirinya dan Iyus di warnetnya Koh Hendrik. Iyus masih SMA, sering telat, dinasehati Bang Raja, eh kembali terulangi, tapi ujung-ujungnya, secara ajaib Iyus bisa lulus SMA.
"Gue coba balik ke sekolah lagi. Barangkali masih bisa dibiarin ngikutin kegiatan belajar mengajar."
"Good luck."
"Ini siapa, Bang?"
"Temen gue. Dulunya dia operator warnet. Ini dia orangnya juga. Dulu setiap gue lari ke warnet kalo nggak bisa masuk ke sekolah, dia sering kasih nasihat."
Bang Raja hanya cengar-cengir.
Si anak SMA segera menghampiri sepeda motornya dan mengegas menuju sekolahnya.
Iyus lalu mengajak Bang Raja menuju sebuah rumah makan Padang yang ada di sekitar Warnet Cincai. Yang dijual di sana murah-murah. Malah ada menu Serba 10.000. Dengan uang selembar sepuluh ribu rupiah, kita sudah disuguhi nasi putih, sayur nangka, potongan rendang kecil, kuah rendang, sambal hijau, dan segelas teh tawar (tentunya, tanpa gula). Jika masih kurang, ada hiburan berupa persembahan lagu-lagu Minangkabau. Pengelolanya bukan orang Minangkabau asli, tapi senang sekali dengan kebudayaan dan bahasa Minangkabau.
Sekarang Iyus dan Bang Raja sudah berada di dalam rumah makan Padang tersebut. Mereka duduk di dekat pintu toilet. Di dekatnya, ada kaligrafi Arab, yang menurut pengakuan si pengelola, itu dibeli saat umroh beberapa tahun yang lalu. Iyus memesan dua buah Paket Serba 10.000.
"Ya elah, Yus, sama abang lu pelit banget. Masa cuma dikasih yang murah begini? Padahal baru buka usaha warnet. Minimal traktir di all-you-can-eat, lah."
"Sorry, deh, Bang. Kemarin gue tekor. Harus perbaikin satu keyboard dan satu mouse."
"Kenapa lagi? Ada yang bar-bar mainnya?"
Iyus hanya mengangguk.
"Kalo gue jadi lu, gue kebiri mereka. Gue paksa ganti duit. Enak aja. Udah biaya make internet dikasih murah, bukan berarti make internetnya harus bar-bar."
"Nggak enak, Bang, gue. Masih agak sungkanan gitu."
"Alah, dari dulu, lu juga gitu. Saking sering nggak enakan, akhirnya hubungan lu sama si cewek member kandas."
"Sialan!"