Warnet Cincai

Nuel Lubis
Chapter #4

Ada Pujangga di Warnet Cincai

Kali ini giliran Wawan yang diundang ke Warnet Cincai. Karena Wawan masih menjadi operator di warnetnya Koh Hendrik, laki-laki yang terkadang gaya bicaranya m seperti seorang pujangga ini baru bisa datang di hari minggu. Itu juga datangnya di sore hari. Setelah Maghrib. Iyus juga biasanya beribadah minggu di pagi hari. Yang pada akhirnya, sesuai kesepakatan, Wawan datang di minggu sore. Wawan harus menyelesaikan sifnya dulu di warnetnya Koh Hendrik.

Di minggu sore ini, Warnet Cincai ramai. Tak jauh berbeda dengan warnet-warnet lainnya, yang lebih sering ramai di akhir pekan. Banyak remaja sekolah dan remaja mahasiswa yang menghabiskan sabtu-minggu di warnet. Seringnya mereka bermain online game. Dari dulu tak pernah berubah situasinya. Sejak Iyus masih bekerja sebagai operator warnet di warnet orang, sampai mengelola warnet sendiri. Terkadang pula ada bocah SD menyusup untuk ikut bermain pula.

Suasananya ramai. Terkadang ada suara teriakan dari pengguna komputer. Suara-suara dari setiap game yang dimainkan memenuhi ruangan warnet. Hingga hari minggu ini, karena sering berkutat di warnet, Iyus sampai hapal suara ini datangnya dari game mana, sementara suara itu datangnya dari game apa.

Oh iya, pertemuan dengan Wawan pun sama seperti pertemuan dengan Bang Raja. Mendapatkan perlakuan serupa. Sama-sama ditraktir menu Serba 10.000 dari rumah makan Padang yang menjadi langganan Iyus.

Pesanan sudah diantarkan.

"Ah, Yus, pelit dikau. Seharusnya Dikau mentraktir makan di all-you-can-eat. Daku mau mencoba mencicipi hotpot."

Seperti biasa, perut Iyus melilit setiap mendapati Wawan ber-pujangga lagi. Sembari merengut, Iyus membalas, "Mana ada duit gue, Bang. Untung warnet selama beberapa hari ini nggak seberapa. Nanti, deh, kalo omsetnya terus naik, akhir tahun gue traktir hotpot."

Wawan terkekeh.

Sebelum makan, baik Wawan dan Iyus berdoa terlebih dahulu. Iyus melipat tangan. Wawan menengadahkan tangan. Setelah itu, barulah mereka makan. Sambil mencicipi nasi dan lauk rendang ukuran kecil (yang lebih banyak kuah rendang), Wawan dan Iyus saling mengobrol.

"Gue ada kepikiran bikin warnet juga, Yus," ujar Wawan kembali ke mode bukan pujangga. Mode yang nyaman untuk diajak mengobrol. Mode khas orang-orang gaul ibukota.

"Yah, udah, bikin, dong." ucap Iyus terkekeh.

"Yah, nggak asal main bikin-bikin aja. Lu dulu bikin warnet keluar berapa?"

"Nggak terlalu inget, Bang. Semuanya diurusin bokap gue. Tapi, sih, kalo nggak salah, ada kali keluar seratus juta. Itu juga ada dana dari om-om gue, Bang. Plus, ada juga dari kenalannya bokap. Bang Raja juga sempet nyumbang."

"Si Raja ngasih juga?"

"Iya, nggak banyak tapi. Waktu itu, yang gue inget, dia sumbang sepuluh juta, sama donasiin satu kulkas sama kipas angin gantung. Kulkas yang tadi lu lihat, itu pemberian dia."

"Kira-kira kalo cuma ada lima komputer aja, bisa nggak?"

"Bisa-bisa aja, sih. Waktu masih sekolah dulu, gue sempet nemu warnet yang cuma punya tiga komputer. Itu juga nggak bisa dipake main game. Kalo mau untung banyak, yah, bener kata Bang Raja, kali, yah. Minimal sedia sepuluh komputer, dan harus ada akses ke game-game online yang lagi digandrungi orang. Seringnya yang masuk warnet tuh, yang gue lihat juga, kalo nggak mahasiswa, yah anak SMA. Plus, bocah-bocah SD yang kalo pada main, bar-bar gitu mainnya. Kemarin-kemarin itu, satu mouse dirusak bocah SD."

Wawan hanya mengangguk-anggukkan kepala sembari makan.

"Warnet di sana gimana kabar? Masih rame?"

Lihat selengkapnya