Warnet Cincai

Nuel Lubis
Chapter #5

Puisi Itu untuk Siapa?

Deretan pertama, nomor ganjil. Dari nomor satu, tiga, lima, tujuh, hingga sembilan belas. Deretan kedua, nomor genap. Dari nomor dua, empat, hingga dua puluh. Di deretan ketiga, barulah meja operator, rak (yang untuk sementara ada printer dan scanner). Ada kulkas pemberian Raja Panjaitan.

Sudah di atas pukul tujuh. Lewat beberapa menit. Belum ada tanda-tanda Warnet Cincai didatangi pengunjung. Masih sepi. Seperti hati Iyus yang belum kunjung bertuan. Ups, Iyus kan laki-laki. Seharusnya, hati yang belum juga disinggahi tuan putri. Entah di mana tuan putri Iyus. Apakah mimpi-mimpi Iyus selama ini merupakan tanda dari alam lain bahwa perempuan itu merupakan jodohnya?

Iyus bersiul-siul dengan kaku. Sebelumnya Iyus memang tidak bersiul. Iyus baru mencoba bersiul saat kelas 7 yang lalu. Itu juga, ah lihatlah sendiri, cara bersiul Iyus agak aneh. Agak dipaksa.

Dari arah komputer operator, Iyus memasang sebuah lagu. Lagu ini merupakan salah satu soundtrack dari sebuah film animasi. Dulu Iyus sangat menyukai film animasi ini. Saat itu, Iyus masih seorang pelajar putih-merah. Tak semua anak-anak diperbolehkan orangtuanya untuk menonton film di bioskop. Mana sendiri pula. Namun Iyus diizinkan mengunjungi bioskop. Demi menonton film animasi ini.

Iyus berdiri di depan kulkas. Ia menghela nafas.

Film animasi itu tentang seorang perempuan muda di sebuah kota bernama New Orleans. Sejak kecil, dia memiliki semangat dalam seni kuliner. Karena itulah dia bekerja pada dua pekerjaan sekaligus untuk menghemat uang. Pada akhirnya dia membuka restoran sendiri. Lalu, teman masa kecilnya ini mempekerjakannya untuk menyediakan minuman untuk pesta menyamar Mardi Gras yang diatur oleh ayah si teman yang kaya raya. Singkat cerita, sejak pesta Mardi Gras itulah, perempuan ini, bagaikan sebuah takdir, berjumlah dengan seorang pangeran. Si pangeran ternyata memiliki musuh, sehingga terkena kutukan, yang membuat si pangeran menjadi seekor kodok. Ujung-ujungnya, si perempuan ikut menjadi kodok, dan berjuang bersama si pangeran demi mematahkan kutukan penyihir jahat.

Iyus kembali bersiul yang masih saja kaku. Lalu ia tergelak. Dulu itu, setelah menonton film animasi tersebut, Iyus berkhayal dirinya menjadi pangeran kodok yang berharap ada tuan putri cantik agar kembali menjadi manusia.

Sekonyong-konyong pintu warnet terbuka. Kali ini yang bertandang adalah Arik, teman sesama bloger. Arik cengar-cengir.

Iyus ikut cengar-cengir.

Arik masuk semakin ke dalam warnet. Ia memilih untuk duduk di salah satu bangku.

"Bang, untuk lu, nggak ada pengecualian," goda Iyus nyengir. "Tetep bayar."

"Ah, pelit sampeyan," sembur Arik terkekeh. "Sesama konco ono harga khusus, lah. Cincai, Yus. Nama warnetnya juga cincai."

"Maksud gue, bikin namanya Warnet Cincai, bukan berarti orang-orang bayarnya cincai, Bang. Rezeki gue yang cincai. Yang bisa diatur."

"Selow, sih. Lagian aku dudu idupin komputernya."

"Gimana, Bang? Udah bisa ngelupain Kak Stella? Atau, blom bisa move-on?"

"Asyem, sampeyan!"

"Becanda, kali, Bang! Sensi banget!'

Arik terkekeh sendiri. "Aku malah bingung, Yus."

"Bingung kenapa?"

"Waktu kapan ono lanang, eh maksud aku, ada cewek gitu, dia nyatain perasaan ning aku. Aku bingung aja, apa harus terima atau nggak."

"Yah, terima aja, Bang."

"Ndak gampang iku, Yus. Nimbulin wiji-wiji tresno iku ora gampang."

Jika saat itu, Iyus dibuat risih dengan gaya bicaranya Wawan yang sewaktu-waktu bisa sok pujangga. Yang hampir selalu membuat perut Iyus mulas. Sekarang, Iyus dibuat pusing dengan gaya bicara Arik yang senang sekali menggunakan kosa kata bahasa Jawa. Meskipun itu seringnya ngoko, tetap saja Iyus sering mengernyitkan dahi.

"Alah, maksud aku itu, untuk menumbuhkan cinta itu tidak mudah, Yus."

"Nah, gitu, dong. Berbicaralah dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, Bang."

"Ah, sampeyan ono Jowo-nya, isih ndak ngerti sing aku ngomongin."

Iyus hanya nyengir.

Lihat selengkapnya