Warnet Cincai

Nuel Lubis
Chapter #14

Keduanya Saling Memimpikan Masing-masing

Meskipun sudah beberapa minggu ibunya meninggal dunia, Iyus tetap merasa aneh. Ada yang ganjil saja. Dulu, sebelum meninggal, saat Iyus masih bersekolah, di jam seperti ini, sudah terdengar ada suara dari arah dapur. Sekarang tidak ada lagi keributan kecil dari arah dapur di sekitar jam lima pagi.

Iyus sedikit menegakkan tubuhnya. Kedua matanya masih agak berat untuk benar-benar membelalak. Rasanya masih ingin terus tidur dan tidur. Iyus spontan menarik nafas panjang.

Dipaksakannya agar kedua kakinya menapak di lantai. Ah, ternyata bisa juga, jika berniat sungguh-sungguh. Dengan tersaruk-saruk Iyus berjalan kecil menuju meja yang tak jauh dari tempat tidur. Lebih mirip rak buku daripada meja belajar. Begitu sampai, Iyus meraba-raba setiap permukaan meja sekaligus rak bukunya. Ada beberapa stiker tertempel. Iyus ingat meja belajar (yang kita bilang saja seperti itu) sudah berada di kamar ini sejak Iyus masih duduk di kelas 4 SD. Iyus merengek-rengek minta dibelikan meja belajar hanya karena sebuah tontonan televisi. Mirip seperti meja belajar yang Iyus pernah lihat di sebuah animasi.

Iyus tertawa terbahak-bahak saat mengenang peristiwa itu lagi. Betapa baiknya Ibu Rena saat itu. Padahal Pak Candra tidak mau membelikannya. Bu Rena terus mendesak suaminya segera membelikannya. Terbeli juga. Beberapa saat setelah meja belajar itu diantar, atau mungkin beberapa tahun, setelah Iyus berseragam putih-biru, Iyus baru tahu ibu kandungnya membelikannya meja belajar dengan penuh perjuangan. Stella yang memberitahukan Iyus saat perayaan Imlek keluarga. Iyus langsung tersedu sedan. Karena perkara meja belajar yang dibelikan seorang ibu dengan penuh perjuangan, Iyus memutuskan untuk bersekolah di sekolah kejuruan saja. Pilihan sekolah kejuruan itu sebenarnya pilihan Ibu Rena.

Sayup-sayup Iyus mendengar suara berisik. Bukan datang dari arah dapur. Suara berisik itu datang dari garasi. Terdengar suara deruman beberapa kali. Kijang itu pasti berulah lagi. Iyus mengikik sendiri. Ah, mungkin sudah saatnya Kijang itu dijual, lalu membeli mobil baru.

Iyus sekonyong-konyong ingat Kijang biru itu pun sama bersejarahnya dengan meja belajar yang ada di hadapan matanya. Kijang itu pernah mengantarkan Iyus ke SMP demi mengikuti tes masuk pendaftarannya. Ah, lagi-lagi SMP itu dipilihkan Ibu Rena kepada Iyus. Omong-omong, Iyus ternyata anak mami juga.

Iyus menguap. Dengan pandangan mata yang masih agak buram, dengan langkah yang masih agak berat, dengan perut masih keroncongan, Iyus memutuskan untuk meninggalkan kamar tidurnya. Ia tersaruk-saruk menuju arah garasi. Ternyata televisi sudah hidup. Ayahnya memasang saluran berita. Saluran televisi itu sedang menayangkan berita olahraga. Diberitakan bahwa ada sebuah klub sepak bola yang baru promosi ke divisi utama menang lagi. Sekarang klub yang dilatih oleh seorang Italia ini sedang berada di peringkat kelima dalam klasemen.

Iyus balik dulu ke dalam kamar. Ia mengambil ponsel. Segera ia mengecek klub sepak bola favoritnya berada di peringkat berapa. Ah, ternyata di luar sepuluh besar. Akhir-akhir ini klub itu sering kalah. Padahal di bursa transfer musim panas yang lalu, klub lumayan menggigit. Sejumlah pemain andal dibeli pemiliknya yang berasal dari Rusia.

Ponsel itu diletakkan lagi ke atas meja. Iyus sebetulnya agak kecewa. Yah, sudahlah. Entah itu kalah maupun menang, jika benar-benar tulus memberikan dukungan, pendukung sejati harus tetap bersama klub sepak bola favoritnya.

Iyus keluar kamar lagi. Bergegas ke arah garasi. Tampaknya ayahnya masih di garasi. Masih terdengar beberapa kali bunyi deruman. Benar saja, ayahnya sibuk memeriksa karburator Kijang biru tersebut.

"Rusak lagi, Pa?"

"Eh, kamu baru bangun, Yus? Tumben."

"Apaan, sih? Biasanya juga aku bangun di jam kayak gini. Udah mau jam setengah enam juga."

"Oh, hahaha..."

Lihat selengkapnya