"Semuanya terserah kamu saja, lah, Yus. Mau kamu tutup warnet itu, itu hak kamu. Tapi, nanti kamu harus bertanggungjawab ke Om-Om kamu, yang sudah berinvestasi uang banyak-banyak untuk keberlangsungan warnet itu."
Begitulah kata-kata Pak Candra saat Iyus meminta izin untuk tidak ke Warnet Cincai. Yang sekali lagi. Pak Candra sebetulnya tidak marah. Hanya saja, jika dilihat dari ekspresinya, beliau terlihat kecewa. Jelas saja Pak Candra. Iyus tampaknya seenaknya saja dengan tanggung jawab Iyus dalam mengelola Warnet Cincai. Padahal biaya yang dikeluarkan pun tak sedikit.
Tadi pagi, di rumah Iyus, ada yang berbeda. Begitu melek, Iyus langsung mencium bau yang cukup sedap. Suara televisi terdengar pula dari arah ruang tengah. Padahal baru pukul 04.23 pagi. Saat Iyus membuka pintu dam menuju dapur, ternyata ayahnya sedang memasak nasi goreng. Yang sederhana saja. Nasi putih dengan bumbu rempah-rempah seadanya dan campuran telur mata sapi.
Di atas sepeda motor, Iyus terngiang percakapan tadi pagi.
"Eh, Pa, tumben masak pagi-pagi begini."
"Baru bangun kamu, Yus?"
"Iya."
"Papa terpikirkan Mama kamu. Tanpa sadar juga, malah terbangun tadi, sekitar jam tiga subuh. Sehabis doa juga, lalu sempat nonton tivi, tiba-tiba saja Papa ingin menggunakan kompor yang di dapur. Rasanya, sejak Mama kamu meninggal, kompor di dapur menganggur."
"Iya, Pa. Kadang aku juga kangen masakan Mama. Sejak Mama meninggal, kalau nggak katering, yah, makan di luar, atau beli gitu."
"Hahaha... maklum, lah, Yus, di rumah ini, yang bisa masak itu hanya Mama kamu. Ke depannya, daripada boros beli makanan, kamu, carilah pasangan yang bisa masak."
"Hahaha... Papa bisa aja."