Apakah Mahendra menjadi kapok dan insaf setelah malam itu? Ternyata tidak!
Pengampunan yang diberikan si WaroX malah Mahendra anggap kematian yang ditunda. Bagi Mahendra, ia tidak merasa tenang dan yakin suatu saat si WaroX akan datang kembali memburunya, sehingga Ia lah yang harus menentukan siapa yang harus mati.
Maka setelah beberapa hari lewat semenjak malam itu, ia telah merekrut tukang tukang pukul baru. Kali ini ia suruh para tukang pukulnya mendatangi Rumah Sakit Jiwa di Bandung tempat Panca tinggal.
“Kalian datangi Rumah Sakit Jiwa itu, lalu bunuh si Panca,” Titah Mahendra tegas.
Para tukang pukul itu mengerti apa yang harus dilakukan. Mereka telah mengatur rencana dengan matang menguasai Rumah Sakit yang hanya diurus oleh beberapa orang, sementara jumlah para tukang pukul yang dikirim oleh Mahendra sangat banyak sampai membawa beberapa mobil mini bus.
Para petugas medis dikumpulkan dalam satu tempat di ruang lobby dibawah pengawasan para preman tukang pukul itu.
Di ruang tempat Panca berada, Mahendra berdiri jauh dan dikawal para bodyguard.
Di sisi lain tampak dokter Wahyudin dibawah todongan pistol seorang bodyguard lain.
Seorang Bodyguard bertampang kasar dan rambutnya gondrong hampir menutupi wajahnya berdiri persis di depan Panca yang duduk diatas kursi rodanya.
Kali ini Panca dipaksa menghadapkan wajah ke arah mereka. Meskipun demikian tatapan matanya kosong seperti biasa. Demikian pula posisi duduknya masih seperti sebelumnya.
Sementara preman-preman profesional lain bergerombol dengan senjata lengkap berjaga-jaga mengawasi setiap gerak gerik Panca.
Bodyguard yang berdiri persis di depan wajah Panca sedang menodongkan revolver ke jidat Panca. Tapi Panca sendiri tidak sedikitpun mengedipkan kedua bola matanya dan masih dengan mulut menganga.
Bibir Mahendra mengejek Panca yang ia sangka berpura-pura bersikap seolah-olah sakit jiwa. Harus diakui oleh Mahendra, Panca seorang aktor yang hebat.
Kedua tangannya ia tarik keluar dari masing-masing saku celana, lalu bertepuk tangan pelan-pelan. Tampak tangan kanan Mahendra masih berbalut kain perban.
“Kau pantas dianugrahi Oscar,” ejek Mahendra. “Tapi sekarang aku tidak takut lagi padamu!”
“Jadi tidak usah berakting terus,” sahut Mahendra. “Kali ini Aku akan melihat Kau mampus oleh peluru si Rambo!”
Sambil berkata seperti itu, Mahendra seolah-olah memperkenalkan si Bodyguard berambut gondrong kepada Panca.
Percaya diri Mahendra masih ada sehingga berani datang tetapi justru berbeda dengan si gondrong yang dijuluki si Rambo.
Walaupun penampilannya membuat gentar yang melihatnya namun si Rambo sendiri yang paling merasakan ketegangan di dalam ruangan ini.
Reputasi si WaroX yang ia dengar telah mempengaruhinya sehingga ada tersirat raut jerih juga menghadapi orang cacat di depan matanya ini.
“Rambo!” tegur Mahendra melihat ada keraguan si Rambo yang ia kenal sebagai tukang pukul yang kejam. Tapi kali ini tampak gugup.
Seolah-olah teguran tadi mengingatkan si Rambo pada reputasinya sendiri, lalu tanpa menengok tapi pelan Ia mengangguk.
Terbersit sebuah senyum sinis pada bibir si Rambo sambil menguatkan dirinya sendiri mengokang pistol yang ia todongkan ke jidat Panca.
Ketika si Rambo mulai menarik pemicu pistol di tangannya, pelan-pelan Panca mulai bergerak.
Wajahnya yang selalu menatap kosong sejenak berkedip lalu mengangkat kepala memandang wajah si Rambo.
Si Rambo menahan tarikan pemicu pistolnya dan tetap bersiaga mengantisipasi apabila Panca bergerak tiba-tiba, ia tinggal menuntaskan tarikan pemicu pistol.
Kedua tangan Panca bertopang pada pegangan kursi lalu pelan-pelan bangun berdiri. Laras pistol yang digenggam si Rambo mengikuti gerakan Panca dan tidak pernah melepaskan ancaman ke arah jidat Panca.
Huh! Si Rambo mendengus mengusir bayangan yang tidak ia inginkan dan ia menjadi malu pada dirinya sendiri. Lamunan barusan hanyalah wujud kejerihan si rambo atas reputasi si WaroX, padahal Panca masih duduk di atas kursi roda dan tidak bergerak sama sekali.
Tiba-tiba ... DOR!
Kepala Panca terjengkang kebelakang membentur sandaran kursi dibelakang kepala dengan keras sampai kursi roda bergerak mundur ketika tembakan dilepas oleh si Rambo.
Para tukang pukul lain sempat terkejut juga dibuatnya dengan kejadian yang seharusnya sudah mereka sangka. Sekilat mereka melihat bungkus kulit kursi dibelakang kepala Panca terkoyak. Tapi entah muntahan pelurunya terlempar kemana?
Dokter Wahyudin yang paling tidak menyangka, ada orang yang tega melakukan perbuatan seperti itu, menembak mati di tempat pada orang yang sudah hilang ingatan.
Semua pasang mata melihat pada jidat Panca timbul bulatan merah lalu mengucur darah segar membasahi turun ke hidung terus melalui sisi mulut dan langsung jatuh ke dagu, terus menetes turun ke pakaian yang segera basah oleh darah.
Kepala Panca terkulai lemah dengan kedua bola mata tetap tidak pernah berkedip dan mulut masih menganga.
Para tukang pukul yang tadi menodongkan senjata pada rahang dokter Wahyudin, kali ini melepaskan dokter ini menemui Panca. Dokter Wahyudin memeriksa keadaan Panca.
Tapi tidak lama kemudian ia mengucapkan, “Inalillahi wa’inailahi rajiun.....” sambil mengusap tangannya menutup pelupuk kedua bola mata Panca untuk selamanya.
Semua sudah yakin dan telah memastikan Panca tewas dalam satu kali tembakan peluru yang dimuntahkan si Rambo.
Mahendra puas dan pergi diikuti si Rambo lalu seluruh bodyguard lainnya menyusul ikut pergi meninggalkan Rumah Sakit.
***
Mahendra merayakan kematian Panca atau si WaroX dengan suka cita di Grand Palace, hotel mewah berbintang lima.
Wajah wajah gembira terpancar dari setiap air muka para undangan dan semua memegang segelas win, cocktail atau minuman lainnya. Ada yang duduk atau berdiri dan mengobrol berdua duaan saja, tetapi tidak sedikit yang berkelompok.
Musik riang dan easy listening dimainkan oleh kelompok band yang mahir membawakan lagu-lagunya sehingga para tamu-tamu pun tampak menyukainya.
Mahendra didampingi istrinya berkeliling menyapa tamu-tamu undangannya yang selalu balas menyapa dengan gembira pula.
Aroma asap rokok tercium dimana-mana bercampur harum parfum membuat suasana semakin meriah.
“Hi Thomas,” sapa Mahendra pada seorang tamu mudanya yang berdiri bersama seorang gadis yang mengenakan gaun malam yang simple namun tetap anggun. Mereka berdua sedang asyik memandang ke arah panggung musik. Thomas menengok dan tampak gembira mengenali suara orang yang menyapanya.
Lalu Thomas menyambut uluran jabat tangan Mahendra.
“Hi Pak Mahendra,” sahut Thomas. “Selamat, ya. Aku dengar si WaroX, kriminal pengganggu itu telah disingkirkan ...”
“Kita nikmati pesta ini saja,” ujar Mahendra, “Aku adakan semua ini untuk merayakan kesuksesan bisnis kita dan ... jangan bicarakan soal penjahat itu disini.”
“Oh tentu, tentu ...,” kata Thomas sambil menepuk tangan mereka yang masih berjabatan.
“Enjoy!” ujar Mahendra sambil melepaskan jabat tangan mereka. “Aku berkeliling dulu, mau menyapa yang lain.”
Lalu Mahendra menggandeng istrinya menemui tamu tamu yang lain.
Tiba tiba suara musik berhenti mendadak, tentu saja banyak yang bertanya-tanya apa yang terjadi?
Para pemain band di atas panggung sendiri tampak sedang kebingungan dan hanya memandang ke atas balkon tempat kontrol sound berada, tetapi tidak ada seorangpun kru terlihat berada di sana?
Ketika beberapa pemain lakukan check sound, ternyata semua alat-alat musiknya tidak ada yang berfungsi.
TROTOTOT TEAT TEOT… terdengar suara seruling warok.
Mendadak menyusul terdengar irama musik tarian Warok yang semakin lama semakin keras dari sound system.
NING NONG NING NONG ...
NING NONG NING NONG ...
NING NONG NING NONG ... GONG!