WaroX

Handi Yawan
Chapter #10

Jeda

Beberapa hari ini Ramadhan menghubungi Ki Entus lewat HP tetapi tidak pernah diangkat. Demikian pula kirim SMS tidak ada jawaban.

Ramadhan ingin tahu kabar si WaroX semenjak kunjungan si WaroX ke Istana Negara yang telah ia baca di koran dan kabar langsung dari Panglima TNI, si WaroX meninggalkan istana dalam keadaan terluka parah.

Hari ini ketika Ramadhan mencoba menghubungi kembali, ternyata HP nya diangkat dan mengenali suara Ki Entus.

“Ki Entus, saya Ramadhan. Masih ingat?” ujar Ramadhan lantang saking senang mendapatkan sambungan. Tetapi pengakuan Ramadhan harus diulang beberapa kali akibat sinyal yang buruk. Barulah Ki Entus paham siapa yang menghubunginya.

“Ki. Apa kabar Panca?” tanya Ramadhan.

“Panca waras mas!” jawab Ki Entus. “Sekarang Panca ada di Gunung Wilis untuk pemulihan.”

Ki Entus menceritakan bagaimana Panca bisa ada bersamanya. “Beberapa hari yang lalu Panca datang menemui rombongan reog yang rutin keliling di Jakarta, dalam keadaan terluka lalu jatuh pingsan.

Si mbah Rono bersama anak buahnya memberikan pertolongan sebelum mengantarkan Panca ke Ponorogo.

Lalu aku bawa Panca ke puncak gunung Wilis untuk diobati. Di puncak liman Panca sudah seminggu tinggal bersama para pendekar Warok lainnya. Aku kembali ke Padepokan dulu karena ada keperluan.”

“Syukurlah” kata Ramadhan sambil menutup pembicaraan dengan Ki Entus.

***

Esok hari pagi-pagi buta, Ki Entus berangkat naik mobil Colt T-300. Mobil tua dan butut tapi masih kuat nanjak gunung berpenumpang hanya tiga orang termasuk sopir.

Di belakang mobil seorang pembantu Ki Entus terlelap tidur di bak mobil beralaskan barang-barang.

“Warno, kemarin malam kowe sama si Eko begadang lagi?” Tanya Ki Entus kepada sopir.

“Tidak Ki,” bantah Warno. “Kan sudah tahu mau berangkat setelah shalat subuh. Kalo si Eko masih tidur, emang dia jago tidur.”

“He… he… he,” kata Ki Entus terkekeh kekeh. “Dasar si Eko. Kemarin aku tidak lihat dia ikut shalat Isya berjemaah. Mungkin sudah tidur tuh, bahkan mungkin tidak shalat Isya.” Gerutu Ki Entus sambil menengok ke belakang mobil melihat si Eko tidur lelap diatas barang-barang itu berselimut kain sarung dan mengenakan jaket berlapis-lapis untuk menepis hawa dingin.

Jarak Padepokan ke Puncak Liman hanya 45 menit dan sepagi itu masih lengang, sehingga tidak lama dalam perjalanan. Mobil telah tiba di sebuah kampung yang terletak di puncak gunung Wilis.

Di depan sebuah rumah yang besar, mobil berhenti.

Langit sudah terang, tetapi tanah di dusun itu masih diselimuti kabut. Dari tempat itu terdengar suara gemericik aliran air sungai.

Lalu terdengar suara lain saling menyahut dari ujung kampung yang segera muncul rombongan laki-laki bertelanjang dada berlari berbaris sambil berteriak sahut menyahut dan semangat. Mereka adalah para pendekar warok yang sedang berlatih.

Ki Entus puas melihat mereka giat berlatih. Lalu Ki Entus turun dari mobil dan mendapatkan si Eko menggeliat bangun tidur.

“Turunkan barang-barang ini bersama si Warno!” perintah Ki Entus. Sopir yang bernama Warno bergegas membongkar simpul tali pengikat terpal.

“Aku arep lungo niliki si thole gendeng.” Ucap Ki Entus kepada mereka sambil terus berjalan pergi ke belakang rumah.

Di belakang rumah tampak asap yang berbau harum nasi yang sedang ditanak. Asap menerobos bilik-bilik gubuk. Beberapa wanita bekerja menanak nasi dalam dandang dengan api dari kayu bakar dan ada yang menghaluskan bumbu-bumbu di atas batu penggiling.

Sementara itu seorang laki-laki menimba air di sumur untuk mengisi penuh bak yang besar dan panjang.

Di sana banyak ayam dan bebek mencari makan dari wadah-wadah kotor yang hendak dicuci dan di letakan di samping sumur timba.

Ki Entus masih terus melangkahkan kaki sampai akhirnya tiba dalam sebuah bilik bambu di belakang rumah. Bilik kecil itu letaknya bersebalahan dengan kandang kambing-kambing ditempatkan.

Beberapa ekor kerbau ditarik oleh laki-laki yang memanggul cangkul. Mereka hendak ke sawah bersama kerbau-kerbau itu menyusul para petani yang telah pergi lebih dulu.

Ki Entus membuka pintu bilik dan melihat Panca dalam keadaan dibenam dalam tanah. Tubuh Panca sepenuhnya ditimbun oleh tanah yang berbau kotoran sapi. Hanya sebatas leher dan kepala saja yang tidak ikut ditimbun dengan tanah.

Ki Entus memperhatikan wajah Panca yang matanya terpejam. Wajah dan rambut Panca kotor dan berantakan tetapi Ki Entus tampak senang melihat ada perbedaan lebih baik dibandingkan beberapa hari sebelumnya.

“Le tangi!” bentak Ki Entus.

Perlahan-lahan Panca membuka mata dan berusaha menyesuaikan penglihatan dari silau cahaya di luar. Ki Entus membungkuk dan memperhatikan mata Panca.

“Kowe wes mari sauwise dipendem limo wengi nganggo lemah rowo, rempah-rempah sing dicampur lethong sapi .” simpul Ki Entus puas. 

“Saiki piye rasane , Le?” Tanya Ki Entus.

“Enakan Ki. Saya merasa sehat.” Jawab Panca.

“Hm,” gumam Ki Entus. Lalu ia menoleh keluar dan menengok ke arah orang yang sedang menimba air.

“Bejo, gali tanah ini!” suruh Ki Entus menunda pekerjaan orang itu menimba air.

Bergegas bejo menghentikan pekerjaannya lalu mengambil cangkul yang ada diletakan di samping kandang kambing.

 

Lalu Ki Entus kembali menengok Panca. “Jadikan semua ini sebagai pengalaman!” ujar Ki Entus memberi pepatah. “Tidak semua bisa kowe lakukan. Mulai sekarang kowe harus bisa memilah-milah mana yang perlu dan mana yang tidak. tidak main labrak!

Bersyukurlah kowe masih hidup, kalau mampus! sia-sia kowe menuntut ilmu tinggi-tinggi!”

Panca mengangguk-angguk penuh khidmat meresapi omongan gurunya.

Bejo tiba sambil mengambil cangkul dan mulai menggali tanah yang menimbun Panca.

“Kalo sudah selesai, suruh si tole gendeng ini mandi. Lalu ikut kumpul di bale-bale.” Kata Ki Entus. Tanpa banyak bicara Bejo mengangguk dan lalukan perintah Ki Entus.

Sementara itu Ki Entus sendiri pergi menemui para wanita yang sedang menanak nasi di dapur. Ki Entus mengambil piring dan cangkir bersih lalu menyodorkan pada salah seorang wanita. Rupanya Ki Entus hendak mengisi perut dulu.

***

Matahari sudah naik tinggi dan terlihat di depan bale-bale Ki Entus telah duduk sambil memandang keluar. Di luar belasan laki-laki bertelanjang dada dan memakai celana panjang berwarna hitam sedang memasang kuda-kuda. Rambut mereka yang panjang diikat dengan kain hitam pula.

Kedua kaki mereka direntang lebar-lebar dan pinggang diturunkan setinggi lutut. Tangan kanan dikepal kedepan dan tangan kiri dikepal di bawah pinggang. Posisi seperti itu dipertahankan sudah ada satu jam dan hanya pergantian posisi tangan dilakukan kira-kira setengah jam kemudian.

Tampak Panca telah duduk bersila di pinggir lapangan dan di bawah sebatang pohon jati yang rindang. Panca sudah bersih setelah tadi pergi mandi. Ia mengenakan pakaian serba hitam pula.

Ki Entus melambaikan tangan supaya Panca datang. Lalu Panca bangun dan berjalan dengan khidmat melewati teman-teman seperguruannya.

Panca turut naik bale-bale dan menghadapan Ki Panca memberi hormat lalu mengambil tempat duduk disamping.

Ki Entus memperhatikan pundak kiri Panca dan terlihat lukanya sudah kering.

“Kowe harus mulai berlatih kembali biar lekas bugar.”

Terlihat pula oleh Ki Entus, luka di kedua pundak Panca lekas sembuh karena ketika di tangan si Mbah Rono saja Ia telah dirawat oleh mereka.

Lalu Ki Entus menoleh ke lapang. “Tobroni, kowe sini!” panggil Ki Entus kepada salah seorang muridnya yang menjadi ketua regu. Pria paling tinggi besar dan berada di barisan paling depan maju.

“Tobroni atur saudara-saudaramu mengulang latihan ilmu Jalasutra.”

Tobroni mengangguk paham lalu kembali ke barisan memberikan perintah kepada saudara-saudaranya. Tobroni berbicara sebentar dengan yang lain. Tidak lama kemudian tujuh orang bergegas membentuk formasi, sementara yang tidak terpilih menepi dan duduk di pinggir menjadi penonton saja.

Formasi membentuk lingkarang mengepung Tobroni yang berdiri di tengah.

Ki Entus menengok ke Panca, “kowe perhatikan baik-baik,” ucap Ki Entus. Panca memperhatikan seperti yang diminta gurunya.

Lalu pria paruh baya ini memberi aba-aba kepada formasi mulai bergerak. seketika para pengepung mulai menyerang Tobroni.

Tiba-tiba Panca melihat para pengeroyok dijatuhkan oleh Tobroni dalam gerakan cepat sehingga hanya sekejap Panca melihat bagaimana Tobroni melakukan semua itu.

“Kowe mengerti bagaimana mereka melakukannya?” Tanya Ki Entus.

“Mengerti guru, tetapi saya belum bisa melakukannya.” Aku Panca.

Lalu Warok sepuh ini bilang ke Panca, “Sekarang buang pikiran nalar dan rasional kowe.”

Ki Entus menyuruh mereka mengulangi formasi serangan tadi. Kali ini Panca telah membuang jauh-jauh pikiran rasionalnya seperti perintah Ki Entus lalu kembali memperhatikan demonstrasi jurus yang bisa membuat lawan menjadi kaku.

Lihat selengkapnya