Oke, oke, aku tahu, manusia memang hidup dengan cara bernapas, itu hal yang mudah saja dilakukan—kecuali mungkin bagi penderita asma dan kanker tiroid. Kalau kalian mahasiswa kedokteran, atau pernah baca novel The Fault in Our Stars, kalian pasti ngerti tanpa perlu kuberi catatan—dan seringnya kita lakukan tanpa sadar. Aku juga biasanya begitu, tapi khusus kali ini tidak. Sudah kuhitung berapa kali aku menghela napas sejak tadi. Menghela napas yang sangat berat. 15 kali. Dan kalau Mama masih merajuk, angka 15 itu akan bertambah.
Hela … embus …. Aku sedang mencoba memasok stok kesabaran, kalau-kalau kalian penasaran.
Pesan-pesan dan wanti-wanti Mama masih berlanjut, aku mengangguki semuanya, supaya cepat beres.
Pada helaan napas berat yang nomor 21, akhirnya aku tak tahan dan memilih menyela ucapannya. “Iya iya, Ma, Tata bakal hati-hati. Tata udah hafal kok nomor telepon Mama, udah Tata setting di telepon darurat. Bahkan kalau darurat beneran, Tata juga udah hafalin nomor telepon polisi, kok. Jadi …,” aku menggenggam tangan Mama lebih erat, menatapnya dengan ekspresi paling meyakinkan, “Tata pasti baik-baik aja. Tata janji bakal jaga diri dengan baik.”
Ucapanku sepertinya membuahkan hasil, karena Mama kemudian balas merekap tanganku lebih erat, ekspresinya yang tegang melembut, meski masih menyisakan resah. “Mama masih enggak yakin ini keputusan bijak bolehin kamu pindah. Kamu bahkan enggak pernah pergi jauh-jauh selama ini, apalagi sampai pindah rumah. Gimana kalau enggak ada yang bangunin kamu buat kuliah pagi, gimana kalau kamu enggak nemu makanan, siapa yang mau masak? Gimana kalau—“
Okay, here we go again ….
Kata-kata Mama soal selama ini aku jarang pergi jauh memang benar. And it thanks to Mama sendiri, karena emang Mama yang enggak bolehin. Bukan langsung enggak bolehin dengan kejam ngurung aku di kamar, atau potong uang saku, Mama bahkan enggak pernah marah ke aku. Tapi … ada banyak “tapi” yang Mama berikan kalau aku mau pergi-pergi, bahkan buat hal yang wajib macam wisata kenaikan kelas tiap akhir tahun pelajaran. Oke, itu enggak wajib, sih. Pihak sekolah membolehkan mereka yang tidak punya biaya atau berhalangan buat enggak ikut. Tapi aku punya biaya—meski bukan dari keluarga sekaya tokoh-tokoh di Crazy Rich Asians—dan tidak sedang berhalangan, tapi entah kenapa Mama selalu ikut campur: menelepon panitia wisata, menanyakan detail-detail destinasi yang akan kami kunjungi, dan selalu—selaluuu—berakhir menemukan celah tentang sesuatu yang menurutnya “tidak aman”.
“Kalau gitu anak saya enggak jadi ikut turnya. Saya enggak mungkin biarin anak saya manjat-manjat naik gunung segala. Enggak aman itu, Pak. Taruhannya bisa nyawa!”
Waktu itu setelah menguping pembicaraan Mama di telepon, aku sampai menganga saking syoknya. Enggak aman bagaimana? Padahal setahuku menurut agenda yang sudah dijelaskan, kami cuma bakal ke Malang, metik buah stroberi, itu pun jelas enggak pakai acara manjat-manjat, melainkan naik bus. Tapi siapa yang mau bantah Mama, meski dia enggak bakal marah-marah ke aku, tapi tetap saja urusannya bakal panjang, bakal belibet, bakal bertele-tele. Nanti deh aku ceritain. Sekarang, yang terpenting, aku harus segera kabur.