We are Not Done Yet

Fitri Fatimah
Chapter #2

Temanku yang Anu

“Tadi abangku nelepon, katanya dia kecelakaan. Enggak parah kok, cuma baret-baret sama ada keseleonya. Tapi itu, sepeda motornya jadi ancur. Terus dia minta tolong aku buat jadi tameng lindungin dari Ibuk. Tahu kan gimana antagonisnya ibukku. Itu Abang bukan dibawa ke rumah sakit buat berobat, tapi nanti malah dibawa ke pak mantri buat disunat. Iya, soalnya jatohnya pas mau ngapel ke rumah pacarnya, udah gitu sebelum berangkat, Abang juga kabur dari tugasnya nganterin Ibuk ke pengajian. Durhaka emang. Mangkanya dia minta aku buat pulang dulu. Kalau aku di rumah, setidaknya Ibuk bakal repot juga sama aku. Urusan Abang bakal kedistraksi dikit. So … I really sorry udah mendadak gini ninggalin kamu, Ta. Ini aku lagi di perjalanan. Kamu kalau ada kabar gimana-gimana juga balik hubungin aku, ya. I wish Tante Esa enggak ngehalangin kepindahan kamu. Bye ….”

Penjelasan panjang lebar Nindy lewat voice note kudengarkan selama berada di dalam taksi. Aku mendesah berat … rupanya masih ada saja cobaannya kalau mau pindah. Ini kalau Mama benaran tahu bahwa Nindy sedang tak ada di rumah kontrakan kami, Mama pasti auto cegat, nyuruh aku pindahannya kalau Nindy udah balik. Dan siapa yang tahu dalam kurun waktu itu Mama bakal berubah pikiran atau tidak, jangan-jangan lampu hijaunya malah kedip-kedip jadi merah.

Bahkan untuk dapat izin Mama saja aku perlu menyusun rencana ini matang selama hampir setahun. Tepatnya sejak ultahku yang ke-20 tahun lalu. Mama—seperti biasa—bertanya apa wish-ku kali ini. Apa pun itu dia bakal ngabulin. Biasanya langganan permintaanku enggak pernah jauh dari paket novel, rak buku dan perintilannya. Atau ketika umurku masih di bawah 10, aku biasa meminta gaun-gaun princess seperti yang kulihat di buku-buku dongeng. Tapi kali ini—aku perlu menghitung 1 sampai 3 dalam hati—Mama mungkin bakal cukup terkejut dengan wish-ku. 

“Tata mau pindah, Ma.”

“Pindah apa? Buku-bukumu? Memangnya yang kemarin udah enggak muat di raknya?”

Aku menggeleng.

Dan ya … malam itu bukan salah satu ultah terbaikku. Setelah kujelaskan bahwa maksudku adalah aku—bukan buku-bukuku—yang pindah ke kontrakan, Mama seketika menggeleng tegas, tidak menyetujui. Mama langsung bangkit, meninggalkan meja makan.

Oke, rupanya memang perlu waktu, pikirku ketika itu, sambil membereskan kue tar yang cuma habis sepotong. Lilin dengan angka 20 yang sudah kutiup tadi bahkan masi menyisakan asap .

Setelah itu, aku perlu berulang kali menjelaskan pada Mama bahwa aku pindahnya bukan sendirian, ada Nindy. “Mama kan suka sama Nindy,” pancingku. Kujelaskan juga bahwa dari segi umur aku sudah cukup dewasa, kalau dari segi psikis sih ya entah-entah, meski tentu aku tak bakal mengakui ini ke Mama. “Tata enggak bakal ngelakuin yang macam-macam yang bisa bahayain diri Tata kok, Ma,” ucapku. Kujelaskan pula bahwa aku pindahnya bukan ke luar negeri, cuma beda satu kota, kok. “Jadi Mama masih bisa sering ngunjungin Tata. Sekalian sambil bawain terong balado kesukaan Tata, kan,” imbuhku.

Lalu terakhir, senjata terampuhku: “Mama udah janji bakal ngabulin apa pun wish-nya Tata. Nah ini Tata pengen pindah. Plis yah, Ma … plis ….”

Mengingat seberapa besar perjuanganku meminta izin selama setahunan ini, tidak mungkin aku mau menunda-nundanya barang beberapa hari lagi. Pokoknya aku harus pindah hari ini juga, itu tekadku. 

Taksi berhenti di depan sebuah bangunan rumah bercat kuning terang, seperti matahari.

Lihat selengkapnya