Okay, let me tell you about who is Kak Erlang, atau paling tidak siapa dia ketika masih SMA.
Dia salah satu anggota pembina OSIS, posisinya sebagai bendahara. Jadi ke mana-mana sering bawa buku akuntan yang panjang dan lebar, motifnya batik, warnanya selalu biru.
Nah iya, warna favoritnya memang biru, fakta ini juga diperkuat oleh pengakuannya langsung saat salah satu temannya menanyainya, kebetulan waktu itu aku sedang mendengarkan—bukan menguping loh, ya.
Makanan favoritnya di kantin adalah bakso, tanpa kecap dan saus tomat, tanpa sambal juga. Cukup dihidangkan putihan.
Minuman favoritnya adalah teh tawar. Bagaimana aku bisa tahu bahwa tehnya tawar? Apakah aku nekat minta icip? Tidak juga. Hanya saja tiap Kak Erlang memesan minuman, dia selalu bilang, "Bang, tehnya satu, nggak usah pakai gula." Yang pasti akan memancing celetukan teman-temannya yang menyebut selera Kak Erlang seperti kakek-kakek tua. Biasanya Kak Erlang hanya mengedik tak acuh, tapi di lain kesempatan pernah juga dia menimpali, "Kebanyakan minum gula nanti kalian obesitas dan beneran cepet jadi kakek-kakek."
Kak Erlang dan aku beda dua tahun, bukan dari segi umur, tapi tingkatan kelas. Kalau umur, kami beda dua tahun setengah dan tiga hari. Bagaimana aku bisa tahu sampai sedetail itu? Sudah kubilang kan aku cukup mencintainya mati-matian waktu itu, jadi aku juga mengikuti, mencari, mengorek semua hal tentangnya dengan cukup ulet. Tapi jangan mikir kejauhan sampai men-judge-ku sebagai stalker, aku tidak senekat itu. Aku tidak sampai menyelinap ke ruang guru untuk mencuri berkas data soal Kak Erlang. Lagi pula apa menariknya biodata yang isinya sekaku tiang bendera. Meski aku agak penasaran juga sebenarnya golongan darah Kak Erlang apa. Siapa tahu kalau aku mencocokkan golongan darah kami, aku dapat kepastian soal persentase kemungkinan kami berjodoh. But no thanks, aku masih punya cara lain untuk mengetahui tentang pujaanku melalui jalan yang benar, enggak kriminal.
Aku berusaha, sebisa mungkin, berada di mana Kak Erlang berada. Kalau dia ada di kantin, aku juga ke kantin, bahkan meski sebenarnya Mama sudah membawakanku bekal dan harusnya aku cukup kenyang dengan itu, tanpa perlu memesan bakso putihan dan teh tawar sebagaimana pesanan Kak Erlang. Dan ngomong-ngomong, baksonya tidak begitu kusuka, rasanya kurang nendang. Tehnya juga, hambar dan pahit, dan rasa pahitnya menempel lama di lidah. Jadi entah kenapa aku harus repot-repot beli? Sekadar properti untuk lebih mendalami jiwa Kak Erlang, begitu niatku waktu itu, begitu konyolnya. Aku memilih bangku paling dekat dengan tempatnya makan siang.
Aku juga ke perpustakaan kalau Kak Erlang ke perpustakaan. Sayang sekali selera bacaan kami sangat berbeda. Kak Erlang hanya meminjam buku-buku yang berkaitan dengan pelajaran sekolah, buku ilmiah atau nonfiksi—hal yang menurutku membosankan—dan tak pernah menyentuh rak sastra, rak paling favoritku.
Sempat terpikir olehku, kalau saja ini otak cukup jenius sehingga aku bisa melakukan akselerasi, aku bakal punya kesempatan yang lebih banyak sebagai teman kelas Kak Erlang, bahkan kalau beruntung mungkin sebagai teman sebangkunya. Sayang sekali otakku pas-pasan.
Selain kantin dan perpustakaan, aku tak punya kesempatan lain. Orang yang kusukai rupanya tipe yang suka diam di tempat—bukan secara kiasan. Paling-paling aku hanya mendapat kesempatan tambahan kalau Kak Erlang menarik sumbangan pada tiap kelas. Dia akan muncul dengan buku akuntan biru batiknya, melongok di depan pintu kelas XC, memanggil Tika—bendaraha kami—lalu serah terima uang, lalu sudah. Pergi.
Andai dia menyadari keberadaanku, yang menatapnya dengan nyalang dari bangku.
Sepertinya selama ini selama mencoba berada di mana Kak Erlang berada, aku terlalu lihai membaur, hingga tak ada kasatmatanya sama sekali di mata Kak Erlang. Dan ini membuatku lumayan menyesal. Apalagi waktu berlalu hampir satu tahun dan Ujian Nasional anak kelas tiga sudah semakin dekat, cuma tinggal sebulan lagi, habis itu mereka libur panjang.
Kepalaku jadi senewen memikirkannya. Bagaimana cara membuat Kak Erlang menyadari perasaanku hanya dalam waktu satu bulan?
Beberapa waktu yang lalu, ada salah satu teman kelasku yang dengan berani—atau nekat—nembak kakak senior langsung di depan umum. Literally di depan umum, karena waktu itu lagi jam istirahat dan teman kelasku itu memilih menghadang kakak senior pujaannya di lorong kelas, dekat lapangan basket, yang meskipun sedang tidak dipakai untuk pelajaran olahraga atau adu tanding, tapi kalau jam istirahat biasa anak-anak ngaso di sana.