We are Not Done Yet

Fitri Fatimah
Chapter #4

Namaku yang Anu

“Udah ya jangan ketawa terus, cukup inner beauty-ku yang sinis banget ngetawain diri sendiri.” Aku mendengkus pada handphone di kupingku. Sementara pemilik suara di seberang malah makin kencang tertawa.

“Ya gimana dong, ngenes banget sih nasib percintaanmu soalnya,” sahut Nindy, masih diselingi dengan sedikit tawa.

Jadi barusan setelah memindahkan semua kardus di teras ke dalam rumah, alih-alih beres-beres dengan membongkar dan merapikan mereka, aku memilih menggeletakkan badan di sofa, dan langsung men-dial nomor satu-satunya orang yang bisa kucurhati. Nindy. 

Sebelum-sebelumnya aku sudah pernah bercerita bahwa dulu waktu SMA aku pernah punya kakak kelas yang kusengsemi. Juga sudah kuceritakan bahwa ending dari cinta diam-diam dan cinta pertamaku—yup, you dont hear it wrong, dobel sial emang—itu tidak membahagiakan. Hanya saja aku tidak pernah menyebutkan nama. Kukira apa faedahnya juga Nindy tahu nama Kak Erlang. Kukira tanpa nama pun, kisahku sudah cukup tersampaikan dengan “ngenes” (sesuai istilah Nindy tadi). Tapi siapa tahu, ternyata seseorang yang … bukan mantan, tapi cukup menyakiti hatiku semenyesakkan kelakuan mantan, ternyata adalah tetangga sebelah temanku sendiri.

Salahku juga sih, kenapa selama berteman dengan Nindy, aku tidak pernah kepo soal tetangga kanan-kirinya, padahal wacanaku soal mau ikutan pindah ke rumah kontrakannya itu sudah ada sejak kami semester 4, setahun lalu, sekitar beberapa minggu sebelum ultahku yang ke-20. Aku juga tiap kali Nindy cerita bahwa dia punya tetangga pria yang tampan dan mapan, tidak pernah menyimak dengan serius. Di kupingku kala itu, kata “mapan” konotasinya dia sudah dewasa sangat, sudah berumur, sudah paruh baya, jadi mau ngapain aku sama om-om. Kesannya kayak mau main-main sama sugar daddy, ya kan? 

“Kamu kenapa enggak pernah cerita, sih, kalau tetanggamu itu bukan om-om?”

“Lah, emang aku pernah nyebut dia om-om?”

“Enggak …,” sahutku dengan erangan. Aku ingin melempar kesalahan pada siapa saja, tapi “siapa saja” siapa? Pada timing yang mengesalkan mungkin? Kenapa sebelum-sebelumnya tiap main ke rumah ini—biasanya kalau jarak jam kelasku dengan kelas selanjutnya lumayan lama, aku sering mampir ke sini—aku tidak pernah mendapat kebetulan bertemu dengan si “om-om”. Selama ini aku tidak merasa heran, karena pikirku dia kan sudah om-om, ngapain di rumah, pasti kerja mulu di kantor, mangkanya bisa jadi mapan, workaholic sih soalnya. Ternyata si “om-om” bukanlah om-om, ternyata dia hanya beda umur dua tahun setengah tiga hari denganku.

“Emangnya kenapa sih kalaupun dia itu Kak Erlang-mu yang dulu? Kan itu udah kisah lalu. Katanya juga udah lupa.”

“Ya sih ….” Lupa, tapi kalau tiap hari ketemu gini, lupa-lupaku bisa jadi ingat.

“Terus terus, gimana kelanjutan yang tadi?”

“Yang mana?”

“Abis kamu ngasi tahu namamu, dia juga nanyain nama lengkapmu enggak?”

Lihat selengkapnya