Uniknya, rumah ini memiliki nama. Aku mendengarnya dari Nindy. Waktu kukatakan kenapa pakai nama segala, sudah kayak hunian mewah atau rumah-rumah di Barat saja. Nindy langsung menyedekapkan lengannya di dada, tampak tersinggung dengan ucapanku.
Aku buru-buru minta maaf karena takut nanti dia batal membolehkanku menjadi teman sekontrakannya. Sampai kudengar suara tawanya, barulah aku bernapas lega.
“Ya ampun, lucu ya, kamu nggak bisa diajak becanda. Ginian aja langsung minta maaf.”
“Soalnya ini hal serius buatku,” balasku.
“Tenang aja. Kamu tetep satu-satunya orang yang kepikiran mau kuajak tinggal bersama mengarungi bahtera susah sedih nestapa—“
Sebelum makin ngaco, aku keburu mencubit bahunya, membuatnya mengaduh lalu balas mencubitku. Aku balas mencubitnya, dia balas mencubitku, sampai akhirnya aku mengalah, membiarkan cubitan terakhirnya tak berbalas, takut cubit saling cubit malah berbuah aksi yang lebih frontal.
“Jadi apa nama rumah ini?” tanyaku waktu itu, berbaring di permadani tebal yang dihamparkan di lantai bawah kasur, sementara Nindy berada di atas kasur.
“Namanya Sunny.”
“Karena catnya yang kuning?” tebakku.
“Yup.”
“Emang dari pertama kamu ngontrak di sini catnya udah kuning? Perasaan warna hijau, deh.” Aku berusaha mengingat-ingat penampilan rumah ini beberapa tahun yang lalu.
“Memang hijau. Tapi pas mau diganti sama Bu Kos, aku request warna kuning. Dia nggak keberatan, asal aku suka katanya. Toh pilihan warna lain nggak bikin budget untuk renovasi bangunan ini jadi bertambah.”
Aku ber-oh panjang.
“Em, kenapa harus kuning? Kenapa kamu mau kuning?”
“Karena kuning itu cakep, cerah, shining, bikin mood naik banget.”
Aku melirik dengan aneh pada sahabatku itu, pada kepalanya yang menggelantung di tepian kasur. Baru kali ini aku ketemu sama orang yang warna favoritnya kuning.
“Why …?” ucapnya, mungkin menyadari kerutan di dahiku.
“Mending kita tukeran nama, deh. Nindy, meski bukan nama yang spesial-spesial banget, tapi masih lebih mending daripada namaku. Cahaya Matahari, nih ambil nama ini. Biar serasi sama warna favoritmu.”
“Nope. Thanks. I prefer Nindy.”
Aku mendengkus.
Sunny … gumamku dalam hati. Aku ingin tinggal di Sunny.