Kata manajer yang menerimaku, aku beruntung langsung melamar pekerjaan saat itu juga, karena beberapa menit setelah kepergianku dari minimarket, ada orang lain yang ikutan melamar, lalu muncul pelamar lain lagi, sampai sang manajer harus melepas selebaran pengumuman loker itu sebelum ada lebih banyak yang salah paham.
Aku mengangguk-angguk sambil mengikuti ke mana perempuan yang, kutebak dari penampilannya, sepertinya berumur pertengahan tiga puluh. Dari tubuh suburnya, dia pasti memiliki paling tidak dua anak. Dia mengenakan kemeja lengan pendek warna cokelat emas, kemeja yang nantinya kutahu adalah seragam khusus manajer, lain sendiri dari karyawan lain di sini.
Karena kekurangan karyawan di sif pagi, jadi aku disuruh mulai kerja saja. Aku akan di-training sambil praktik langsung, padahal biasanya training dulu selama tiga hari katanya.
“Selama sif-mu, entah pagi atau malam, kamu harus membereskan barang tiga kali, atau lebih kalau memang dibutuhkan. Biasanya setelah jam-jam sibuk, barang-barang di rak sudah berantakan, beberapa item biasanya pindah ke rak lain. Jadi pastikan barang-barang itu rapi dan kembali ke tempatnya semula.
“Untuk beberapa jenis kue, biasanya yang diletakkan di dekat meja kasir, pastikan untuk menawarkannya pada pelanggan potensional. Misalnya, cupcake rasa cokelat dan red velvet itu favoritnya anak-anak SMA perempuan. Untuk muffin, biasanya ibu-ibu yang suka sama itu. Kalau sandwich, biasanya orang kantoran yang terburu-buru dan belum sarapan yang beli ini. Pastikan kue-kue itu cepat laku, karena tanggal penyimpannya tidak lama, bisa cepat kedaluarsa.
“Kamu nggak perlu angkut-angkut dus air mineral atau yang berat-berat, karyawan laki-laki yang melakukannya. Kamu cukup menatanya ke rak.
“Sampai di sini mengerti?”
Begitu sang manajer mengakhiri sesi panjang penjelasannya, aku langsung memberi anggukan. Semuanya cukup mudah menurutku, paling tidak kedengarannya.
Sebagai seseorang yang suka menata tumpukan buku di rak dan baru saja punya pengalaman menata barang-barang pribadi di dalam sebuah rumah, menata minuman atau snack atau barang-barang lainnya di minimarket ini, menurutku harusnya tak akan susah. Ya, kan?
Kalaupun susah, aku tinggal belajar.
Kalaupun bingung, aku tinggal bertanya pada karyawan lain. Pokoknya, asal tidak malu bertanya, tak akan sesat di jalan. Ya, kan?
Setelah sampai di ruangan berpintu kuning—kenapa akhir-akhir ini rasanya aku paling sering bertemu warna mencolok ini? Ya kan penampakan kontrakanmu macam itu—yang sang manajer perkenalkan sebagai ruang ganti, di sana dia menunjukkan loker yang bisa kupakai untuk menyimpan barang-barangku, lalu memberiku dua seragam. Satu berwarna ungu dari bahan kaus, ada garis-garis putih di ujung lengannya yang pendek. Satunya lagi adalah kemeja batik berwarna hijau lumut. Aku tampak kebingungan menerima seragam yang terakhir. Kalau yang warna ungu modelnya masih unisex, yang warna hijau lumut tidak. Jelas-jelas ini kemeja buat cowok. Potongan pinggangnya tak ada lekuknya sama sekali.
Seakan mengerti rasa protesku, manajer itu langsung menyambut, “Saya juga udah bilang ke Bos kalau banyak karyawan perempuan yang ngeluh sama seragam batiknya. Tapi Bos bilang, disuruh sabar, tahun depan Bos janji bakal cariin model seragam yang lebih trendi.”
Tahun depan? Emangnya aku masih kerja di sini tahun depan?
Tapi terserahlah. Paling tidak ukurannya pas semua. Untuk seragam bawahannya boleh pakai terserah asal bukan rok mini.
Manajer kemudian meninggalkanku untuk berganti seragam. Setelah ini aku disuruh langsung ke meja kasir, ada pegawai bernama Nisa yang akan memanduku.