Selama tinggal di Sunny, aku sudah pernah lihat penampilan Kak Erlang saat pulang kerja. Penampilannya saat berangkat kerja pun aku juga sudah pernah lihat.
Meski masih memakai kemeja dan celana yang sama, memakai tas selempang yang sama, tapi penampilan Kak Erlang saat pulang kerja jauh berbeda dari saat dia berangkat.
Saat berangkat, penampilan Kak Erlang tampak rapi. Bajunya, aku yakin sudah disetrika—entah di penatu atau oleh dirinya sendiri—dan sisiran rambutnya pun tampak klimis oleh pomade, meski tak sampai ditata dalam gaya macam-macam misal mohawk atau diponi ke depan seperti beberapa idol K-Pop. Kurasa Kak Erlang memakai pomade hanya supaya penampilannya pantas untuk dibawa kerja, demi menunjang kerapian rambutnya supaya tak cepat berantakan.
Tapi setelah beberapa jam pemakaian, pomade itu tentulah kehilangan sentuhan ajaibnya. Bukan, bukan Kak Erlang jadi jelek. Dengan rambut yang di sana sini sudah mulai acak-acakan, rambut itu malah tampak lebih natural. Membuatnya kelihatan lebih muda.
Dan aku pasti aneh karena bisa-bisanya menganggap muka berminyak Kak Erlang kelihatan seperti pancaran wajah glowing.
Tapi aku melihat semua itu—penampilan Kak Erlang saat berangkat dan pulang kerja—bukan dengan cara mengintip, kok. Cuma kebetulan saja waktu itu aku sedang berada di ruang tamu, sedang duduk di sofa dekat jendela yang kacanya warna hitam. Jadi dari dalam aku bisa melihat apa yang ada di luar dengan jelas, sementara orang dari luar tidak bisa. Persis seperti kaca jendela mobil mahal.
Kalau cuma kebetulan, kenapa bisa memperhatikan sedetail itu? Kenapa tidak cepat-cepat memalingkan muka atau pindah tempat? Katanya sudah tidak suka Kak Erlang lagi? Ya memang tidak suka. Tapi, pemandangan indah, sekali kau kebetulan melihatnya, maka jangan sia-siakan.
Nah, Kak Erlang yang muncul di hadapanku sekarang juga seindah itu. Dengan wajah berminyaknya yang glowing, dengan rambut acak-acakannya yang natural, dan aroma cologne maskulin yang bercampur dengan bau tubuhnya—hal yang tak akan bisa kuketahui dari balik jendela. Dia seindah itu, jadi tidak mengherankan kan kalau untuk beberapa saat aku terpaku dalam keterpanaan.
Seribu tahun kemudian, barulah aku tersadar.
Eh, enggak segitunya juga, sih. Tapi pokoknya, butuh waktu yang lama sampai akhirnya aku bisa mengerjap-ngerjapkan mata dan bangun dari biusan pesona Kak Erlang.
Memang bukan main pesonanya. Pantas saja dulu waktu SMA aku tergila-gila. Memang bagus seleraku.
“Ya? Kenapa, Kak?” tanyaku, lupa dengan ucapannya tadi.
Dan Kak Erlang masih dengan sabarnya mengulas senyum sebelum menjawab pertanyaanku. “Pulang bareng sama aku aja. Nggak baik cewek jalan sendirian malem-malem.”
Aku mengerutkan dahi pada ucapan Kak Erlang yang seakan rumah yang kutuju itu masih jauh. Padahal tidak sampai setengah kilometer lagi. Lagian dari Nindy dan dari pengalamanku selama beberapa hari di lingkungan ini, aku tahu di sini cukup aman. Ada banyak tiang lampu yang berdiri di tepi jalan, sehingga dari satu tiang lampu ke tiang lampu selanjutnya, sinarnya masih bisa menjangkau, jadi tak ada jalan gelap. Dan rumah para tetangga juga masih cukup dekat, jadi semisal memang ada apa-apa, suara teriakanku bakal sampai mengetuk pintu rumah mereka.
“Enggak usah, Kak. Udah deket lagian,” tolakku. Lagi pula, bayangan dibonceng Kak Erlang memberiku perasaan nano-nano yang tak bisa kudeskripsikan.
“Ya sudah, kalau kamu nggak mau ikut Kakak, Kakak temenin jalan aja sampai kontrakan.”
“Eh?” Aku terkejut mendengar usulannya. Tanganku langsung bergerak-gerak menyilang, menciptakan tanda X, mengisyaratkan “a big no”. Ada-ada aja ini Kak Erlang. Ada sepeda sehat-sehat, nggak rusak, malah mau dituntun, dan pemiliknya mau jalan kaki?! Ada-ada aja. “Beneran nggak usah, Kak Erlang. Aku baik-baik aja, kok, jalan sendirian.”
Kak Erlang dengan gesit sudah mengambil motornya, menuntunnya ke hadapanku, dia mengabaikan sinyal “a big no”ku. Kemudian dia memiringkan kepala, seakan tampak berpikir. Lalu berkata, “Pilih, kamu mau dibonceng, atau kita jalan kaki bareng-bareng.”
Aku menggigit bibir. Bingung mau memilih apa. Tidak, aku sudah tahu, kok, mana pilihan yang masuk akal. Hanya saja pikiranku lumayan terdistraksi oleh fakta bahwa ternyata Kak Erlang bisa juga jadi sosok pemaksa. Selama di SMA, aku sudah tahu bahwa dia adalah cowok yang baik dan pintar, baru sekarang aku tahu bahwa Kak Erlang bisa juga setegas ini, selumayan menyeramkan ini.
Aku meringis pada tatapan seriusnya yang dia lemparkan padaku.
“Aku ikut Kakak, deh …,” ucapku lirih, sedikit mengkeret seperti pitik di depan gelegar guntur.
Kak Erlang kemudian melepas ekspresi seriusnya. Ekspresi santun-ramah kembali terpasang di wajahnya. Dia naik lebih dulu ke atas motor. Saat aku menyusul, dari depan dia menjulurkan helm.