Neo!”
Liberty menyambut Neo yang baru saja memasuki pintu gerbang kampus. Mata gadis itu berbinar. Selalu begitu tiap kali bertemu Neo. Sejak awal kuliah, gadis energetik itu selalu menempel ketat pada Neo. Seolah dia tidak berminat untuk berteman dengan mahasiswa lain.
“Hai, Lib.” Neo menjawab singkat. Kemudian, dia hanya diam mendengarkan Liberty berbicara sepanjang mereka melangkah menuju ruang kuliah.
Sudah dua minggu kuliah semester pertama dimulai. Neo semakin antusias dengan kuliahnya. Dosen-dosen yang cerdas, diskusi-diskusi yang menarik, teman-teman baru dari berbagai negara. Dia memilih kelas internasional. Jadi, teman sekelasnya berasal dari berbagai negara, dengan bahasa pengantar menggunakan bahasa Inggris. Namun, Neo cukup fasih berbahasa Spanyol. Itu membuatnya mudah bergaul dengan mahasiswa dan warga setempat.
“Aku mau minta tolong, boleh?” tanya Liberty langsung menghampiri Neo setelah kuliah hari itu berakhir.
“Minta tolong apa?” Neo balik bertanya tanpa menoleh. Dia berjalan santai ke luar kelas diikuti Liberty di sampingnya.
“Ajari aku bahasa Spanyol. Kamu lancar sekali ngomong bahasa Spanyol.”
“Aku bisa lancar ngomong bahasa Spanyol karena sudah mempelajarinya sejak SMA kelas X. Itu salah satu poin yang mendapat nilai lebih saat aku mengajukan beasiswa di sini.” Dan, ada Estela yang separuh Spanyol tinggal di rumahku, tambah Neo dalam hati.
“Pantas saja. Aku kan, belum lama tinggal di Spanyol. Baru tiga bulan lebih dan sebelumnya nggak pernah belajar bahasa Spanyol. Jadi, kamu mau mengajari aku, kan? Aku akan membayarmu tentu saja.”
Neo berhenti melangkah. Memandangi Liberty. Tawaran itu cukup menarik. Walau biaya kuliah serta buku-bukunya di sini telah ditanggung dan dia mendapatkan uang saku, tawaran untuk memperoleh uang tambahan tak boleh disia-siakan. Neo sudah bertekad akan menabung supaya bisa pulang ke Jakarta saat libur panjang.
Bukan keharusan baginya untuk pulang pada masa liburan setelah setahun kuliah di sini, tapi Neo merasa harus pulang. Banyak yang ingin dia temui. Terutama ibunya yang kini hanya ditemani Estela, gadis blasteran Spanyol yang menjadi saudaranya karena mama Estela menikah dengan ayahnya. Neo, yang sudah merasakan pedih sejak orang tuanya bercerai, semakin sakit hati ketika ayahnya menikah lagi dengan mama Estela—janda beranak satu—dan kemudian pindah ke Barcelona meninggalkan dirinya. Rasa kecewa itulah yang membentuk karakter dingin Neo dan membuatnya tak mudah percaya kepada orang lain.
Seolah cobaan yang didera tak cukup sampai di situ, setelah bertahun-tahun Neo putus hubungan dengan ayahnya, tahun lalu Estela—anak tiri ayahnya—muncul ke rumah membawa kabar duka. Ayah Neo dan mama Estela meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Estela, yang telah menjadi yatim-piatu, memaksa tinggal bersama Neo dan ibunya. Neo ingat bagaimana ketika itu dia tak bisa menerima kehadiran Estela. Melihat Estela membuat rasa sakit hati akibat ditinggal ayahnya muncul kembali.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Neo tak bisa lagi mengelak. Estela telah menjadi bagian dari keluarganya. Bahkan, kini dia berterima kasih kepada Estela. Sebab, dengan keberadaan Estela di rumah, ibunya tak sendirian selama dia kuliah di Barcelona. “Kamu serius memintaku untuk mengajarimu les privat bahasa Spanyol secara profesional?” tanyanya.
“Iya, aku serius,” jawab Liberty.
“Kamu mau belajar di mana?”
“Di apartemenku?”
Neo terdiam sebentar, menimbang-nimbang. Apakah pantas jika dia hanya berdua dengan Liberty di apartemen gadis itu?
“Ada tempat yang lebih umum?” tanyanya.
Liberty memandangi Neo, lalu tergelak pelan. “Kamu cowok yang sopan banget, ya. Kamu khawatir kita bakal cuma berdua di apartemenku? Tenang saja, aku nggak tinggal sendirian, kok. Ada teman sekamarku.”