Barcelona terasa hangat sore ini. Neo baru selesai menghadiri mata kuliah terakhir yang membahas sejarah arsitektur kota. Dia bangkit dari duduknya. Mengobrol sebentar dengan teman Spanyol-nya sebelum keluar dari kelas.
Liberty menatap bergantian Neo dan temannya berbicara dalam bahasa Spanyol. Dia menghela napas lega setelah tak lama kemudian Neo selesai berbincang-bincang.
“Kapan aku bisa ngomong bahasa Spanyol selancar kamu?” tanyanya sambil berjalan di sisi Neo.
“Tergantung. Seberapa cepat kamu sanggup belajar bahasa asing,” jawab Neo tanpa menoleh ke Liberty.
“Kamu lupa, ya? Aku biasa tinggal di luar negeri. Aku pernah tinggal di Jerman dan itu bikin aku bisa ngomong bahasanya. Walau, yah, memang butuh waktu lama sampai aku lancar ngomong bahasa Jerman.”
Neo melirik sekilas. “Hebat, bisa bahasa Jerman. Kamu sudah pernah tinggal di negara mana saja, sih?”
“Lima tahun di Amerika, enam tahun di Indonesia, tiga tahun di Jerman, empat tahun di New Zealand, dan sekarang aku baru mulai tinggal di Spanyol. Aku akan di sini minimal lima tahun lagi sampai lulus kuliah.”
Neo berdecak. “Jadi, selama delapan belas tahun, hanya enam tahun kamu tinggal di Indonesia.”
“Dan itu ketika aku masih SD.”
“Apa pekerjaan ayahmu? Kenapa tugasnya pindah-pindah ke berbagai negara?”
Liberty terdiam sejenak. “Oh, ayahku bekerja di perusahaan yang punya cabang di berbagai negara,” jawabnya.
Neo memandangi Liberty hingga matanya menyipit. Jawaban itu tidak jelas, tapi dia enggan mengorek lebih jauh. Dia tidak terlalu peduli apa pekerjaan ayah Liberty.
“Aku minta tambah jam belajar bahasa Spanyol supaya cepat bisa,” kata Liberty setelah agak lama Neo tidak berbicara lagi.
“Maaf, aku nggak bisa. Waktuku sudah padat.”
“Kamu ini, sok sibuk.”
“Bukan sok sibuk. Tugas kuliah memang banyak. Tadi kamu bilang, kamu bisa mahir satu bahasa setelah agak lama. Santai saja, kamu punya waktu lima tahun buat belajar bahasa Spanyol pelan-pelan. Sekarang, aku mau fokus ke tugas dari Profesor Manuel.”
Liberty menoleh. “Kamu mau bikin sketsa bangunan apa?” tanyanya.
“La Sagrada Familia,” jawab Neo.
“Bangunan itu rumit banget, lho.”
“Aku akan menaklukkan kerumitannya. Kamu pilih gedung apa?” Neo balik bertanya.
“Rancangan Gaudi juga. Casa Batllo’,” jawab Liberty. Dia melirik Neo.
“Tapi kita nggak harus ngerjain sekarang. Profesor Manu ngasih waktu sampai minggu depan. Jadi, sekarang kita bisa jalan-jalan,” lanjutnya.
Sekilas Neo menoleh. Gadis itu ada benarnya juga. Setelah sibuk kuliah sejak pagi, tak ada salahnya sekarang mereka bersantai sejenak.
“Ayo!” ajak Liberty. Dia menarik tangan Neo, lalu berjalan cepat, membuat Neo terpaksa mengikutinya.
“Hei! Mau ke mana? Jangan pergi!”