We Have Always Lived in the Castle

Mizan Publishing
Chapter #1

1

Namaku Mary Katherine Blackwood. Umurku delapan­ belas tahun, dan aku tinggal bersama saudari­ku­ Constance. Aku sering berkhayal bahwa se­ andai­­nya aku beruntung, aku bisa saja terlahir seba­gai manu­sia­ serigala, karena masing-masing jari te­ngah di kedua­ tanganku panjangnya sama. Namun, aku harus­ puas dengan apa yang kumiliki sekarang. Aku tidak­ suka­ membasuh diri, tidak suka anjing, tidak suka keributan. Aku suka kakakku Constance, dan Richard Plantagenet, dan Amanita phalloides, jamur topi kematian. Seluruh anggota keluargaku yang lain sudah mati.

Kali terakhir aku mengerling buku-buku perpus­ taka­an di rak dapur, buku-buku itu belum kukembalikan selama lebih dari lima bulan, dan aku bertanya-tanya­ apakah aku akan melakukan hal yang berbeda sean­­ dainya­ aku tahu bahwa buku-buku itu adalah yang terakhir,­ yang akan berdiri selamanya di rak dapur kami. Kami jarang memindahkan barang-barang, ke­ luarga Blackwood hampir tidak pernah menyibukkan diri atau bergerak. Kami memang harus mengganti benda-benda yang umurnya pendek dan tidak banyak memakan tempat—buku-buku, bunga-bunga, dan sendok­-sendok, tetapi terlepas dari itu, kami selalu memi­liki­ barang-barang yang bergeming sampai pada intinya­. Kami selalu mengembalikan barang pa­ da tem­pat­nya. Kami menyingkirkan debu-debu dan menya­pu­ kolong-kolong meja serta mengelap kursi­-kursi dan tempat tidur, foto-foto, karpet-karpet, dan lampu-lampu, tetapi kami selalu meletakkan semua­ nya di tempat yang sama. Perangkat rias yang terbuat­ dari tempurung kura-kura di meja rias ibu kami sa­ma sekali tidak pernah berpindah tempat, bahkan se­ fraksi inci pun. Keluarga Blackwood selalu tinggal di rumah­ ini, dan menata barang-barang mereka­ secara teratur­. Jika ada wanita yang akhirnya menjadi­ istri seorang­ Blackwood, akan ada tempat yang disediakan untuk barang-barangnya. Rumah kami ber­diri dengan berlapis-lapis properti Blackwood yang meme­nuhi­­ nya, dan kami menjaganya tetap kokoh di hadapan dunia.

  Aku membawa pulang buku-buku perpustakaan­ itu pada hari Jumat di akhir bulan April. Jumat dan Se­lasa adalah hari yang menyebalkan karena pada hari­-hari itu aku harus pergi ke desa. Seseorang harus pergi­ ke perpustakaan, dan berbelanja bahan makan­­ an; Cons­tance tak pernah meninggalkan kebun­nya, dan Paman­ Julian tidak bisa keluar rumah. Bukanlah kebang­ga­an­ yang mendorongku untuk pergi ke desa dua kali seminggu, atau bahkan kekeraskepalaan. Yang mendorongku­ ke sana hanyalah kebutuhan sederha­na­ akan buku-buku dan makanan. Tapi, barangkali ke­ banggaanlah­ yang mendorongku untuk selalu mam­pir ke kedai Stella untuk minum secangkir kopi se­belum pulang ke rumah. Kuyakinkan diriku bahwa itu me­ rupakan­ kebanggaan, dan bahwa aku tidak akan meng­ hindari­ kedai Stella sebesar apa pun keinginanku untuk pulang ke rumah. Namun, aku juga tahu bahwa Stella tetap­ akan melihatku lewat kalau aku ti­dak­ mampir,­ dan barangkali aku merasa ketakutan k­are­na­nya,­ dan pemikiran­ seperti itu benar-benar sesuatu­ yang tak tertahankan bagiku.

 “Selamat pagi, Mary Katherine,” Stella biasa me­ nyapa­ sembari mengelap konter dengan lap lembap, “bagai­mana­ kabarmu hari ini?” “Sangat baik, terima kasih.”

 “Dan Constance Blackwood, apakah dia sehat?” “Sangat sehat, terima kasih.” “Dan bagaimana kabar lelaki itu?”

  “Sesehat yang bisa kita harapkan. Kopi hitam, to­long.”

  Kalau ada orang lain yang datang dan duduk di dekat­ konter itu, aku akan bisa meninggalkan ko­piku­ tanpa terlihat terburu-buru, lalu pergi dan mengang­­ gukkan­ selamat tinggal pada Stella. “Tetaplah sehat selalu,”­ dia selalu berkata secara otomatis selagi aku keluar dari kedainya.

  Aku meminjam buku-buku di perpustakaan de­ ngan saksama. Tentu saja rumah kami juga memiliki buku­-buku; ruang kerja ayahku memiliki tumpukan­ buku­ yang memenuhi dua sisi dindingnya, tetapi aku menyukai­ dongeng dan buku-buku sejarah, dan Constance menyukai buku-buku masakan. Meskipun­ tidak pernah membaca buku, Paman Julian­ senang melihat Constance­ membaca pada malam hari sela­gi dia sendiri berkutat dengan berkas-berkasnya, dan terka­dang­ dia menoleh untuk memandang Constance dan memujinya.

  “Apa yang sedang kau baca, Sayangku? Pemandang­ an yang cantik, seorang wanita dengan buku.”

“Aku membaca buku berjudul Seni Memasak, Pa­ man Julian.”

  “Mengagumkan.”

  Kami tidak pernah duduk tenang untuk waktu yang lama, tentu saja, kalau bersama Paman Julian, teta­ pi aku tidak ingat bahwa Constance atau aku pernah­ membuka­ buku-buku perpustakaan yang ma­sih ter­ simpan­ di rak dapur kami. Saat itu adalah pagi bu­lan April yang cerah­ ketika aku keluar dari perpusta­ka­an­. Matahari­ ber­sinar, dan janji-janji besar pal­su yang diutarakan­ musim­ semi muncul di mana-mana,­ me­ nampak­kan­ diri dengan janggal di tengah kemuram­an­ desa. Aku ingat bahwa aku berdiri di tangga perpus­ takaan, memegang buku-bukuku dan melihat sejenak ke arah sedikit­ daun hijau lembut di ranting-ranting yang mencuat ke langit. Seperti biasa, aku berharap bisa­ berjalan pulang dengan menyeberangi langit alih-alih melewati desa. Dari tangga perpustakaan itu, aku memang­ bisa langsung menyeberang jalan dan melang­kah­ menuju toko bahan makanan, tetapi itu berarti­ aku harus melewati toko serbaada dan para laki-laki yang duduk di depannya. Di desa ini, pria-pria tetap terlihat muda dan menggosip dan wanita-wanita menua dengan kelelahan jahat yang muram serta berdiri diam untuk menunggu pria-pria itu beranjak pulang. Pilihan lain adalah, aku bisa meninggal­kan perpustakaan dan menyusuri jalan di sisi perpustaka­an itu sampai berada di seberang toko bahan makan­an, lalu menyeberang. Itu cara yang lebih baik, meski­pun untuk­ melakukannya, aku harus melewati kantor pos dan rumah Rochester, yang dipenuhi tumpukan ka­leng berkarat dan mobil rusak, kaleng-kaleng bensin ko­song dan kasur-kasur tua, alat-alat untuk memperbaiki p­ipa­ dan bak-bak mandi yang dibawa­ pulang oleh ke­luar­ ga Harler dan—aku sungguh ya­kin—sangat mereka sukai.

  Rumah Rochester adalah yang tercantik di kota ini. Rumah itu dulu memiliki perpustakaan dengan rak walnut, aula di lantai dua, serta segerombol bunga mawar­ di sepanjang berandanya. Ibu kami dulu lahir di sana, dan seharusnya Constance berhak memiliki rumah­ tersebut. Aku memutuskan, seperti biasa, bah­ wa akan lebih aman untuk melewati kantor pos dan rumah Rochester saja, meskipun aku tidak akan me­ rasa senang melihat rumah tempat kelahiran ibuku. Sisi jalan­ yang itu biasanya sepi pada pagi hari, karena suasananya­ gelap. Tapi, setelah mengunjungi toko ba­ han makanan pun, aku tetap harus melewati toko ser­ baada untuk pulang ke rumah, dan pemikiran bah­wa aku harus melewati toko itu pulang-pergi terasa lebih tidak tertahankan bagiku.

  Di luar desa, di Hill Road, River Road, dan Old Mountain,­ orang-orang seperti keluarga Clarke dan keluarga­ Carrington membangun rumah-rumah can­tik. Namun,­ mereka tetap harus menyusuri desa untuk me­ nuju Hill Road dan River Road, karena jalanan uta­ma desa juga merupakan jalan raya di seantero negara bagian­. Anak-anak Clarke dan bocah-bocah lelaki Car­ rington pergi ke sekolah swasta, dan makanan untuk dapur-dapur di Hill Road diantar dari kota-kota kecil dan kota besar. Sementara itu, surat-surat diantar de­ ngan mobil dari kantor pos ke sepanjang River Road dan me­nanjak menuju Old Mountain, tetapi orang-orang dari Old Mountain mengirim surat di dalam kota, dan orang-orang dari River Road memotong rambut mereka di kota.

  Aku selalu bingung saat orang-orang desa, yang tinggal­ di rumah-rumah kecil kotor di tepi jalan raya atau Creek Road, tersenyum serta mengangguk dan melambai­ kalau mobil keluarga Clarke dan keluarga Carrington lewat. Kalau Helen Clarke mengunjungi To­ ko Bahan Makanan Elbert untuk membeli sekaleng saus tomat, atau satu pon kopi yang lupa dibeli oleh koki­ nya, semua orang selalu menyapa, “Selamat pagi,” dan mengatakan bahwa cuaca terasa lebih me­nyenang­kan­ hari ini. Meskipun lebih baru, rumah ke­luarga Clarke tidak lebih bagus dari rumah keluarga Blackwood­. Ayah kamilah yang membawa pulang piano per­tama yang pernah dilihat di desa ini. Keluarga Carring­ton­ mempunyai­ pabrik penghancur kertas, te­tapi ke­luarga­ Blackwood memiliki seluruh bagian datar­an­ di an­ta­ ra jalan raya dan sungai. Keluarga Shep­herd dari Old Mountain­ membangun balai desa yang bernuansa­ pu­ tih dan runcing, yang didirikan di re­rumputan­ hijau­ dengan meriam di halaman depan. Pernah­ ada usulan­ untuk membuat hukum zonasi dan menggusur gu­buk-gubuk di Creek Road serta mere­novasi­ seluruh desa agar rumah-rumah di sana bentuk­nya­ sama seperti­ balai desa, tetapi tak seorang pun pernah­ menang­­ gapinya;­ barangkali karena mereka khawatir­ keluarga Blackwood­ akan ikut menghadiri rapat­ di kota untuk mendiskusikannya.

  Para penduduk desa mendapatkan­ izin dari balai kota­ untuk berburu dan memancing,­ dan selama se­ tahun sekali, keluarga Clarke dan Carrington mengun­ jungi rapat di kota dan dengan­ sungguh-sungguh bersumpah untuk menggusur halaman keluarga Harler yang penuh sampah dari Main Street, juga menying­­ kirkan­ bangku-bangku di depan toko serbaada­. Na­ mun, para penduduk desa selalu menga­lahkan­ suara mereka dengan penuh semangat setiap­ tahun­nya­.

Melalui balai kota, menjorok ke sisi sebelah kiri, adalah Blackwood Road, yang merupakan­ jalan menuju ru­ mahku. Blackwood Road melingkar di se­keliling lahan Blackwood, dan di setiap inci jalan terdapat­ pagar kawat yang dibangun oleh ayah kami. Tak terlalu­ jauh dari balai kota adalah batu hitam besar yang menandai­ gerbang masuk menuju jalan setapak,­ di mana aku bia­ sa membuka pintu kunci gerbang, mengun­cinya­ lagi, lalu melangkah menyusuri deretan hutan­ kecil. Dan, aku pun sampai ke rumah.

 Orang-orang di desa selalu membenci kami.

 Aku biasa melakukan permainan sewaktu berbelanja. Aku memikirkan permainan anak-anak di mana papan permainannya memiliki kotak-kotak kecil, dan setiap pemain bergerak berdasarkan lemparan dadu. Angka tiga selalu berarti bahaya, semacam “kehilangan satu langkah” dan “mundur empat kotak” dan “kembali ke Mulai”, sekaligus beberapa bantuan, seperti “maju tiga kotak” dan “ambil langkah tambahan”. Tempat­ ku memulai adalah perpustakaan, dan tujuan akhirku­ adalah batu berwarna hitam. Aku harus menuruni sisi Main Street, menyeberang, lalu berjalan menanjak ke sisi lainnya sampai aku tiba di batu hitam, tempat aku akan memenangi permainan. Aku memulai dengan­ cukup baik, memutar dengan aman di sepanjang sisi sepi di Main Street, dan barangkali hari itu akan men­ jadi salah satu hari yang sangat menyenangkan. Ter­ kadang­ memang seperti itu, tetapi tidak sering terjadi­ pada pagi di musim semi. Seandainya itu adalah hari yang begitu menyenangkan, aku akan mengor­bankan­ permata sebagai rasa terima kasih.

  Aku berjalan dengan cepat dari tempat aku me­ mulai,­ menarik napas dalam-dalam untuk menerus­ kan lang­kah tanpa melihat ke mana pun. Kubawa buku­-buku perpustakaan­ dan kantong belanjaku, dan aku mengawasi kakiku bergerak secara bergantian; se­ pasang kaki yang ber­ada di dalam sepatu cokelat milik ibuku. Aku merasa­ seseorang sedang memandangku dari­ dalam­ kantor­ pos—kami tidak menerima surat, dan kami­ pun tidak punya telepon; dua-duanya mulai­ menjadi­ sesuatu yang tak tertahankan sekitar enam tahun silam­—tetapi ternyata aku bisa tahan dengan tatapan­ singkat dari kantor pos tersebut.

  Itu hanya Miss Dutton tua, yang tidak pernah te­ rang-terangan memandangi­ kami seperti halnya yang lain—hanya mengintip di antara tirai atau dari balik gorden. Aku tidak pernah melihat ke arah rumah Ro­ chester­. Aku tidak tahan membayangkan bahwa ibuku dulu­ lahir di sana. Aku terkadang bertanya-tanya apa­ kah orang-orang Harler itu tahu bahwa mereka ting­gal di rumah yang seharusnya menjadi milik Constance; sering­ sekali terdengar kebisingan dari perangkat kaleng­ yang dibuangi di halaman mereka, sehingga mereka­ tidak bisa mendengarku lewat. Barangkali mereka­ berpikir bahwa kebisingan tanpa akhir itu mampu­ mengusir iblis-iblis, atau barangkali suara itu terdengar­ merdu dan mereka menyukainya. Barangkali sikap­ keluarga­ Harler di dalam rumah itu sama seperti kelakuan mereka­ di luar, duduk di bak-bak mandi tua dan memakan makan malam dari piring-piring pecah di atas rangka mobil Ford tua, menderikkan kaleng-ka­ leng selagi mereka makan, dan berbicara dengan sua­ra­ keras­. Selalu ada semburan tanah di trotoar tempat keluarga Harler tinggal.

  Selanjutnya, aku menyeberangi jalan (kehilangan satu langkah), untuk menuju toko bahan makanan yang terletak­ tepat di seberang. Aku selalu ragu-ragu, merasa­ rapuh dan tersingkap, di sisi jalan ramai ini. Seba­gi­an­ besar kendaraan di Main Street memang ha­ nya sekadar berlalu lalang; mobil-mobil dan truk-truk melewati desa karena jalan ini merupakan bagian dari jalan raya, sehingga sopir-sopirnya nyaris tak pernah­ mengerlingku. Aku bisa mengenali mobil setempat­ hanya­ dengan melihat kerlingan jelek dari sopir­nya,­ dan aku selalu bertanya-tanya apa yang akan terjadi setiap­ kali aku melangkah dari tepi jalan. Akan­kah ada mobil­ yang mendadak melaju kencang ke arahku nya­ ris tanpa kusangka-sangka? Barangkali hanya­ untuk­ menakut-nakutiku, atau melihatku terlonjak­ kaget?­ Lalu akan terdengar suara tawa yang datang­ dari se­ luruh penjuru, dari balik tirai-tirai di kantor­ pos, dari laki-laki di depan toko serbaada, dari wa­nita-wanita yang mengintip di ambang pintu toko ba­han makan­ an, semuanya­ menonton dan mengejek, menyak­sikan­ Mary Katherine Blackwood lari terbirit-birit menghin­­ dari mobil tersebut. Aku terkadang kehi­lang­an­ dua atau bahkan tiga langkah, karena aku benar-benar me­ nunggu sampai jalanan kosong di kedua­ arah, sebelum akhirnya menyeberang.

  Begitu berada di tengah jalan, aku keluar dari lindungan­ pepohonan menuju sinar matahari yang terang dan memperdaya di bulan April. Sekitar bulan Juli, permukaan jalan akan terasa lunak karena panas, dan kedua kakiku akan lengket di tanah, membuat ke­ giatan menyeberang menjadi terasa lebih berbahaya (Mary Katherine Blackwood, kakinya terperangkap di ter, berjengit saat sebuah mobil memelesat ke arah­nya; berbalik,­ sepanjang jalan, dan memulai kembali), dan gedung­-gedung akan tampak lebih jelek. Seantero desa ini merupakan satu bagian, satu waktu, dan satu gaya; seolah-olah para penduduknya memang mengingin­­ kan keburukan di desa ini dan melahapnya. Rumah-rumah­ serta toko-toko seolah-olah memang sengaja didiri­kan­ secara terburu-buru dan menjijikkan, demi menye­diakan­ tempat berlindung bagi orang-orang yang membosankan dan menyebalkan, dan barangkali rumah Rochester serta rumah Blackwood dan bahkan­ balai desa pun secara tak sengaja dibawa ke sini dari negara nan jauh dan cantik, tempat orang-orang hidup­ dengan keanggunan.

  Barangkali rumah-ru­mah indah di sini adalah ha­sil rampasan—barangkali sebagai bentuk hukuman ter­ hadap­ para keluarga­ Roches­ter­ dan Blackwood atas keburukan terselubung di hati mereka?—lalu dijadikan tawan­an­ di desa ini. Barangkali kebusukan di rumah Rochester dan Blackwood,­ yang terjadi secara perlahan-lahan, me­rupa­kan pertanda datangnya keburukan para pendu­duk­ desa. Barisan toko di sepanjang Main Street selalu­ berwarna kelabu. Para pemilik toko tinggal di atas­nya, di barisan bangunan dua tingkat, dan gorden-gorden­ yang berderet di jendela-jendela lantai dua tampak­ pucat tanpa kehidupan. Apa pun yang tadinya direncanakan­ untuk memiliki warna akan kehilangan jantung­nya­ dengan cepat di desa ini. Kutukan di desa ini tidak pernah berasal dari keluarga Blackwood. Para pendu­duk­ desa memang ditakdirkan tinggal di sini, yang merupakan satu-satunya tempat yang pantas bagi mereka.

  Aku selalu memikirkan kebusukan itu ketika me­ nuju deretan toko. Aku memikirkan kebusukan hitam­ pekat yang membakar dan menyakitkan yang meng­ gerogoti dari dalam, yang menoreh dengan mengeri­­ kan. Aku mengharapkannya muncul di desa ini.

  Aku membawa daftar belanja bahan makanan; Cons­tance­ menulisnya untukku setiap Selasa dan Jum­ at sebelum aku pergi ke toko. Penduduk desa tidak menyukai fakta bahwa kami selalu mempunyai banyak uang untuk­ membayar apa pun yang kami inginkan. Kami­ telah­ mengambil uang kami dari bank, tentu saja, dan aku tahu mereka sering menggosipkan uang yang ter­sembunyi­ di rumah kami, seolah-olah uang kami berbentuk­ tumpukan-tumpukan tinggi koin emas, dan Constance, Paman Julian, dan aku duduk setiap malam, buku-buku perpustakaan kami terlupakan, bermain-main dengan koin itu, mengusap-usapnya dan menghitung, menumpuk, dan menggoyahnya, menye­ ringai­ jahat serta mengolok-olok dari balik pintu yang terkunci­. Aku membayangkan banyaknya hati yang busuk­ di desa ini, menginginkan tumpukan koin emas kami,­ tetapi mereka terlalu pengecut dan takut pada­ ke­luarga Blackwood. Saat mengeluarkan daftar be­lanja dari kantong belanjaku, aku juga mengeluar­kan­ dom­ pet agar Elbert si pemilik toko tahu bahwa aku punya uang, dan dia tidak akan bisa menolak untuk menjual apa pun kepadaku.

  Tak penting siapa yang berada di toko itu. Aku selalu langsung dilayani; Mr. Elbert atau istri pucatnya yang serakah selalu muncul seketika untuk mengambilkan apa yang kubutuhkan. Terkadang, kalau anak sulung mereka membantu ketika sedang liburan sekolah, mereka bergegas untuk mencegah anak itu melayaniku. Dan pernah sekali, ketika seorang gadis kecil—anak yang asing di desa itu, tentu saja—mendekat pada­ku di toko tersebut, Mrs. Elbert menarik punggungnya dengan sangat keras sehingga anak itu menjerit dan menimbulkan keheningan sesaat sementara semua orang menonton, sebelum Mrs. Elbert menarik napas dan bertanya, “Ada lagi?” Aku selalu berdiri sangat tegak­ dan kaku kalau ada anak-anak yang mende­kat, karena­ aku takut pada mereka. Aku takut mereka barangkali akan menyentuhku dan ibu mereka akan mendatangiku seperti sekelompok elang bercakar. Itulah­ bayangan­ yang selalu ada di benakku—burung-burung­ memelesat turun, menyerang, merobek-robek dengan cakar setajam pisau cukur. Hari ini, aku hendak­ membeli banyak bahan makanan untuk Constance, dan melegakan mengetahui tidak ada anak kecil di toko­ itu dan tidak ada banyak wanita. Ambil belokan tambahan, pikirku, dan aku menyapa Mr. Elbert, “Selamat pagi.”

  Dia mengangguk padaku; dia tidak bisa meng­acuh­ kanku sama sekali. Wanita-wanita di toko memandangi­ kami. Aku memunggungi mereka, tetapi aku bisa mera­sa­kan­ mereka berdiri di belakangku, memegang kaleng­ atau setengah kantong biskuit atau selembar selada,­ hanya bergeming sampai aku keluar dari sini dan obrolan pun kembali berlangsung dan mereka terseret­ kembali ke kehidupan masing-masing. Mrs. Donell­ berada di suatu tempat di bagian belakang toko. Aku tadi melihatnya ketika masuk kemari, dan aku bertanya-tanya apakah dia akan sengaja keluar kalau­ tahu aku datang, karena dia selalu berusaha untuk­ mengatakan sesuatu. Dia adalah salah satu dari sedi­kit­ orang yang mau bicara denganku.

  “Ayam panggang,” kataku pada Mr. Elbert, dan istri serakahnya membuka pintu kulkas dan mengam­bil ayam dan mulai membungkusnya. “Paha kecil dom­ ba,” kataku, “Pamanku Julian selalu menyukai domba panggang­ pada awal-awal musim semi.” Seharusnya aku tidak mengatakannya, aku tahu, dan kesiap kecil me­nyelimuti toko seperti sebuah teriakan. Pikirku, aku bisa membuat mereka berlari seperti kelinci, kalau kuberi tahu mereka apa yang sesungguhnya kuinginkan, tapi mereka toh hanya akan berkumpul lagi di luar dan menontonku­ dari sana. “Bawang,” kataku sopan pada­ Mr. Elbert, “kopi, roti, tepung. Kacang walnut,” kataku,­ “dan gula, kami sangat kekurangan gula.” Di suatu­ tempat di belakangku, muncul sepintas tawa keta­kut­an,­ dan Mr. Elbert mengerling melewatiku, dengan­ singkat, kemudian kembali berkutat dengan bahan­-bahan makanan yang disusunnya di konter. Se­ben­tar lagi Mr. Elbert akan membawakan ayam dan dagingku,­ yang telah terbungkus, dan meletakkan­ nya bersama­ yang lain. Aku tidak perlu membalikkan­ tubuh­ku­ sebelum aku siap untuk pergi. “Dua kuart susu,”­ kataku. “Setengah pint krim, satu pon mente­ ga.” Keluar­ga­ Harris telah berhenti mengantarkan ba­ han-bahan yang mengandung susu untuk kami enam tahun­ yang lalu, dan sekarang akulah yang membeli susu­ dan mentega. “Dan selusin telur.” Constance lupa­ menuliskan telur di daftar belanja, tapi hanya ada dua telur di rumah. “Satu kotak permen kacang,” ka­taku­. Paman Julian akan berkutat dan sibuk dengan doku­­ men-dokumennya nanti malam, dan akan pergi tidur dengan­ tubuh lengket.

  “Keluarga Blackwood selalu mengatur meja ma­ kan dengan baik.” Itu Mrs. Donell, bicara jelas dari suatu­ tempat­ di belakangku, dan seseorang terkikik­ dan yang lain berkata “Sst.” Aku tidak berbalik. Su­dah cukup­ bagiku untuk merasakan keberadaan mere­ka di belakangku tanpa memandang wajah datar kelabu dan mata­ mereka yang penuh kebencian. Semoga kalian semua mati, pikirku, dan aku ingin mengucapkannya­ keras-keras. Kata Constance, “Jangan biarkan mereka sadar bahwa kau terganggu,” dan “kalau kau meladeni mereka, tingkah mereka akan semakin buruk,” dan barang­kali­ itu benar, tapi aku ingin mereka semua mati. Aku ingin mendatangi toko bahan makanan di pagi hari dan melihat mereka semua, bahkan keluarga Elbert­ dan anak-anak, terkapar di sana, kesakitan dan sekarat. Aku akan masuk ke toko, pikirku, menginjak tubuh mereka, mengambili apa pun yang kusuka dari rak-rak, lalu pulang, barangkali sambil menendang Mrs. Donell saat dia terkapar di lantai. Aku tidak per­ nah menyesal kalau punya pikiran seperti itu; aku malah­ berharap semua itu akan menjadi kenyataan. “Salah kalau kau membenci mereka,” kata Constance, “itu justru akan melemahkan-mu,” tapi aku toh tetap membenci mereka, dan bertanya-tanya untuk apa se­ benarnya mereka semua diciptakan di dunia.

  Mr. Elbert meletakkan semua bahan makanan yang kubeli di konter dan menunggu, memandang melewatiku. “Hanya itu yang kubeli hari ini,” kataku padanya, dan tanpa memandangku, dia menulis har­ ga-harga di bon, menjumlahkannya, kemudian me­ nyerahkan­ bon itu padaku sehingga aku bisa memas­ tikan­ bahwa dia tidak­ mencurangiku. Aku selalu mengingatkan diri untuk mengamati gerak-geriknya dengan saksama meskipun dia tidak pernah melaku­ kan kesalahan­. Tak ba­nyak­ yang bisa kulakukan untuk­ melawan­ mereka, tetapi aku melakukan apa yang ku­ bisa. Bahan-bahan makanan itu mengisi tas belanja­ku dan tas lain di sebelahnya, dan aku sendiri yang harus­ memba­wa­nya­ pulang. Tak seorang pun akan menawari­ untuk­ membantuku,­ tentu saja, bahkan kalaupun aku mengizinkan.

  Kehilangan dua langkah. Dengan membawa bu­ ku-buku perpustakaan dan belanjaan, aku berjalan pelan,­ menuruni trotoar dan melewati toko serbaada dan pergi ke kedai Stella. Aku berhenti di pintu toko, mengisi­ benakku dengan pikiran-pikiran, agar aku merasa­ aman. Di belakangku, mulai terdengar suara gerak­an­-gerakan dan batuk-batuk kecil. Orang-orang itu siap mengobrol lagi, dan di sudut toko, Mr. Elbert barang­kali­ sedang memutar bola matanya pada satu sama­ lain dengan lega. Aku membekukan wajahku.

Lihat selengkapnya