We Have Always Lived in the Castle

Mizan Publishing
Chapter #2

2

Aku harus meletakkan tas belanjaan di tanah untuk­ membuka kunci gerbang. Itu hanya gem­ bok sederhana dan anak kecil mana pun pasti bisa merusaknya,­ tetapi di pintu gerbang terdapat tanda­ berbunyi PRIBADI DILARANG MENEROBOS dan tak ada yang bisa melanggarnya. Ayah kamilah yang me­ masang tanda itu, juga pintu gerbang serta gemboknya, sewaktu dia menutup jalan menuju rumah kami. Se­ belum itu, semua orang menggunakan jalan setapak tersebut sebagai jalan pintas dari desa menuju jalan raya dengan empat ujung, tempat bus-bus berhenti. Mereka­ bisa menghemat kira-kira seperempat mil perjalan­an­ kalau menggunakan jalan milik kami dan mele­wati­ pintu rumah kami. Namun, ibu kami tidak suka melihat siapa pun yang hendak melewati pin­ tu rumah­ kami, dan ketika ayah kami membawa­ ibu ka­mi untuk tinggal di rumah Blackwood, satu da­ri hal-hal pertama yang dilakukannya adalah menutup­ jalan setapak tersebut dan memagari seluruh peru­­ mah­an Blackwood, dari jalan raya sampai ke anak sungai­. Ada satu gerbang lagi di ujung jalan setapak, meski­pun­ aku jarang lewat sana, dan gerbang itu pun memi­liki­ gembok serta tanda yang berbunyi PRIBA­DI DILARANG MENEROBOS. “Jalan raya itu memang­ diba­ngun­ untuk semua orang,” kata ibu kami, “tapi pintu rumahku tidak.”

Semua orang yang datang untuk menemui kami, yang diundang dengan sopan, berkunjung melewati jalan­ masuk yang mengarah langsung dari gardu ger­ bang di jalan raya. Sewaktu kecil, aku biasa berba­ring­ di tempat tidurku di bagian belakang rumah, lalu memba­yangkan­ jalan masuk serta jalan setapak itu seba­­gai persimpangan­ di depan rumah kami, dan yang melewatinya adalah orang-orang baik, yang bersih serta­ kaya raya yang mengenakan satin berenda, yang ber­kun­jung dengan alasan benar. Sementara itu, yang mondar­-mandir di jalan setapak, yang mengendap-endap­ serta berjalan meliuk-liuk dan menepi dengan cang­gung,­ adalah orang-orang dari desa. Mereka tidak akan bisa masuk, aku biasa memberi tahu diriku ber­ ulang-ulang, sembari berbaring di kamar gelap yang memiliki­ gambar siluet pepohonan di langit-langitnya, mereka­ tidak akan pernah bisa masuk lagi; jalan seta­ pak itu sudah ditutup selamanya. Terkadang, aku ber­ diri di balik pagar, bersembunyi di dekat semak-semak, dan mengawasi­ orang-orang yang melangkah di jalan raya dari desa menuju jalan dengan empat ujung.

Sejauh­ yang kutahu, tak seorang pun dari desa yang mencoba­-coba untuk menggunakan jalan setapak itu semenjak­ ayah kami mengunci gerbangnya.

  Setelah memasukkan tas belanjaan ke dalam, aku mengunci gerbang dengan hati-hati, lalu memeriksa gembok­ untuk memastikan bahwa benda itu sudah terkunci­. Setelah yakin gembok itu terkunci, aku pun aman. Jalan setapak terasa gelap, karena setelah ayah kami menyerah untuk menjadikan tanahnya ini sebagai tujuan komersial, dia membiarkan pohon-pohon serta­ semak-semak dan bunga-bunga kecil tumbuh semau­­ nya. Kecuali, sebuah ladang gandum yang luas dan kebun­-kebun, tanah kami sesak oleh pepohonan, dan tak seorang­ pun mengetahui jalan-jalan rahasia di tanah ini, kecuali diriku sendiri.

  Karena sudah berada di rumah, aku pun melangkah dengan­ tenang. Aku sudah mengenal setiap jalan serta­ belokannya. Constance biasa memberikan nama pada­ semua benda yang hidup di sini, tapi aku sudah­ cukup­ senang mengenal mereka dari cara dan tempat­-tem­ pat mereka bertumbuh, dan betapa mereka­ telah me­ nawarkan tempat berlindung yang aman. Satu­-satunya jejak di sini adalah jejakku, yang tadi­ pergi­ ke desa dan sekarang­ pulang dari sana. Barang­kali­ aku bisa mene­mu­kan­ jejak Constance di belok­an,­ karena dia terka­dang­ datang dari jauh untuk­ menungguku, tetapi seba­gian­ besar jejak kaki Constan­ce­ berada di kebun ser­ta di rumah. Hari itu dia ber­ada di ujung kebun, dan aku melihatnya segera se­telah aku berbelok. Dia ber­diri dengan latar rumah di bela­kang­nya,­ dalam naungan­ sinar­ matahari, dan aku berlari untuk­ menghampiri­­ nya.

  “Merricat,” katanya, tersenyum padaku, “lihat se­ berapa jauh aku melangkah hari ini.”

  “Terlalu jauh,” kataku. “Barangkali kau bahkan akan mengikutiku ke desa.”

 “Bisa saja aku sudah mengikutimu,” katanya. Meskipun tahu dia hanya menggodaku, aku ter­tawa. “Kau tidak akan terlalu menyukainya,” kuberi­ tahu dia. “Ini, Pemalas, ambil bungkusan-bungkusan ini. Di mana kucingku?”

  “Dia pergi menangkapi kupu-kupu karena kau ter­ lambat. Apakah kau ingat untuk membeli telur? Aku lupa memberitahumu.”

 “Tentu saja. Ayo makan siang di halaman.”

Sewaktu kecil, aku mengira bahwa Constance ada­lah putri peri. Aku biasa menggambar dirinya, dengan rambut emas panjang dan mata sebiru mungkin oleh krayonku. Juga, rona dadu terang di masing­-masing pipinya. Gambar-gambar itu selalu mengejut­kan­ku­ karena dia memang terlihat seperti itu. Bah­kan, da­ lam masa-masa terburuk pun dia selalu ber­warna­ merah muda, putih, emas, dan tak satu pun mampu­ meredupkan­ kecerahannya. Dia orang yang paling ber­ harga dalam duniaku, selalu. Aku mengikuti­ Constance­ menyeberangi rerumputan lembut, melewati tanaman bunga yang dirawatnya, menuju rumah kami. Jonas, kucingku, berjalan keluar dari tanaman bunga dan mengikutiku.

  Constance menunggu di balik pintu depan yang tinggi­ saat aku menaiki tangga di belakangnya, kemu­ dian aku meletakkan belanjaanku di meja di aula dan mengunci pintu. Kami tidak akan membuka pintu lagi sampai sore nanti, karena sebagian besar hidup kami dihabiskan di bagian belakang rumah, di halaman, serta di kebun yang tak pernah dimasuki siapa pun. Bagian depan rumah melengkung ke arah jalan raya serta desa, menempatkan diri kami di belakang wajah desa yang galak serta tidak ramah. Meskipun kami selalu men­jaga rumah ini dengan baik, ruangan-ruangan yang selalu kami gunakan berada di belakang; dapur dan kamar­-kamar tidur dan ruangan mungil hangat mi­lik­ Pa­man Julian yang berada di dekat dapur. Di luar, terdapat pohon chestnut milik Constance dan halaman indah yang luas, juga tanaman-tanaman bunga milik Constance. Di baliknya, membentang kebun sayur yang dirawat Constance, dan melewati itu semua, terdapat pepohonan yang menaungi anak sungai. Tak seorang pun bisa melihat kami kalau kami duduk di halaman belakang.

  Aku ingat untuk bersikap lebih baik kepada Pa­man Julian saat aku melihatnya duduk di meja tua be­sar­ nya di dapur, berkutat dengan dokumen-dokumen­nya­. “Bisakah kau memberi Paman Julian permen kacang­ nya?” tanyaku pada Constance.

“Setelah makan siang,” jawab Constance. Dia mengambil­ bahan-bahan makanan dengan hati-hati dari­ kantong-kantong; makanan jenis apa pun begitu berharga­ bagi Constance, dan dia selalu menyentuh bahan­-bahan makanan dengan penghormatan tanpa kata-kata. Aku tidak diizinkan untuk membantu; aku tidak diizinkan menyiapkan makanan, atau memetik jamur, meskipun aku terkadang membawa sayur mayur dari kebun, atau memetik apel dari pohon-pohon tua. “Kita akan makan muffin,” kata Constance, nyaris menyanyi­ ketika dia memilah-milah dan meletakkan bahan­-bahan makanan. “Paman Julian akan makan te­lur, di­masak lembut dan bermentega, dan muffin serta sedikit puding.”

  “Bubur,” kata Paman Julian.

  “Merricat akan makan sesuatu yang tidak berlemak dan kaya rasa dan asin.”

  “Jonas akan menangkapkan tikus untukku,” kataku pada kucing yang duduk di lututku.

  “Aku selalu senang kalau kau kembali dari desa,” kata Constance, berhenti sejenak untuk memandang dan tersenyum padaku. “Sebagian karena kau mem­ bawa­kan­ makanan, tentu saja. Tetapi, sebagian lagi karena­ aku merindukanmu.”

  “Aku selalu senang kalau pulang dari desa,” aku memberitahunya.

  “Apakah buruk sekali?” Dia menyentuh pipiku de­ ngan cepat dengan satu jarinya.

 “Kau tidak ingin tahu.”

“Suatu saat nanti aku akan ke sana.” Ini kedua kali­nya­ dia bicara soal keluar rumah, dan tubuhku terasa dingin.

  “Constance,” kata Paman Julian. Dia mengangkat carikan kecil kertas dari mejanya dan mempelajarinya, keningnya berkerut. “Aku sepertinya tidak punya infor­ masi tentang apakah ayahmu mengisap cerutu seperti biasanya di kebun pada pagi itu.”

  “Aku yakin dia mengisap cerutu,” ujar Constance. “Kucing­ itu tadi memancing di anak sungai,” dia ber­ kata padaku. “Dia penuh lumpur.” Constance melipat­ kantong belanjaan dan meletakkannya bersama kan­ tong-kantong lain di laci, lalu meletakkan buku-buku perpus­takaan­ di rak, tempat mereka akan berada di sana selama­­nya. Jonas dan aku diharapkan untuk pergi ke sudut, tidak mengganggunya, ketika Constance be­ kerja di dapur. Menyenangkan melihatnya bergerak dengan cantik dalam cahaya matahari, menyentuh bahan-bahan makanan dengan sangat lembut. “Ini hari Helen Clarke,” kataku. “Apakah kau takut?”

  Dia menoleh untuk tersenyum padaku. “Sama sekali tidak,” jawabnya. “Aku merasa lebih baik seiring waktu, kurasa. Dan, hari ini aku akan membuat sedikit keik rum.”

  “Dan, Helen Clarke akan memekik dan melahap­ nya.”

  Bahkan sekarang pun, Constance dan aku masih sering­ bertemu kelompok kecil, kenalan-kenalan yang berkunjung melewati jalan masuk rumah. Helen Clarke membawa­ tehnya untuk diminum bersama kami se­tiap hari Jumat, dan Mrs. Shepherd, Mrs. Rice, atau Mrs. Crowley sesekali singgah pada hari Minggu se­te­lah pergi­ ke gereja untuk memberi tahu bahwa kami pasti­ bisa menikmati khotbah di sana kalau datang. Me­re­ ka­ berkunjung­ dengan berdedikasi meskipun kami­ tidak­ pernah membalas kunjungan mereka. Mereka­ biasa menghabiskan­ beberapa menit yang layak, dan terka­dang­ membawa bunga-bunga dari kebun-kebun mereka,­ atau buku-buku, atau sebuah lagu yang ba­ rangk­ali­ bisa dimainkan oleh Constance di harpa­nya­. Mereka mengobrol dengan sopan sambil tertawa ke­cil, dan selalu mengundang kami untuk berkunjung­ mes­ kipun tahu bahwa kami tidak akan pernah mengun­ jungi mereka. Mereka sopan kepada Paman Julian, dan bersabar mendengar celotehnya. Mereka menawari kami­ untuk berkendara dengan mobil mereka; mereka menganggap diri mereka teman kami.

  Constance dan aku selalu bicara baik-baik dengan mereka­ karena me­reka percaya bahwa kunjungan me­ reka membuat kami­ senang. Mereka tidak pernah me­ langkah di jalan se­tapak. Kalau Constance menawari mereka setangkai kembang­ dari semak mawar, atau mengundang mereka­ untuk melihat rangkaian bunga warna-warni yang baru dan menyenangkan, mereka pun akan me­ngunjungi­ kebun, tetapi tidak pernah me­ minta untuk melangkah­ melampaui wilayah yang di­ izinkan­ bagi­ mereka­. Mereka melangkah di sepanjang ke­bun dan masuk­ ke mobil yang diparkir di depan pintu rumah,­ lalu menyetir keluar melalui gerbang besar. Bebe­rapa­ kali, Mr. dan Mrs. Carrington berkunjung untuk­ menge­tahui­ apakah mereka bisa akrab dengan kami,­ karena­ Mr. Carrington dulu teman baik ayahku. Mereka­ tidak pernah masuk atau meminum sesuatu, tapi me­reka me­nyetir menuju tangga depan pintu rumah dan duduk­ di mobil dan bicara selama beberapa menit.

  “Bagai­mana­ keadaan kalian?” mereka selalu ber­ tanya,­ meman­dangku­ dan Constance bergantian, “bagaimana kalian mengatasi semuanya? Apakah ada yang kalian butuhkan, adakah yang perlu kami lakukan? Bagaimana keadaan kalian?” Constance se­ lalu mengundang­ mereka­ masuk, karena kami telah diajar­kan­ bahwa­ tidak sopan­ untuk membiarkan para tamu bicara­ di luar rumah,­ tapi keluarga Carrington tak pern­ah­ masuk­ ke rumah kami.

  “Aku bertanya-tanya,” kataku, memikirkan mereka, “apakah keluarga Carrington akan membawakanku­ kuda kalau aku memintanya? Aku bisa menunggangi kuda itu di padang rumput yang panjang.”

  Constance menoleh dan memandangku sejenak, sedi­kit­ mengernyit. “Kau tidak akan meminta pada mere­ka,”­ katanya akhirnya. “Kita tidak meminta apa pun dari siapa pun. Ingat itu.”

  “Aku hanya bercanda,” kataku, dan dia tersenyum lagi. “Aku sangat ingin punya kuda bersayap. Kita bisa menerbangkanmu­ ke bulan lalu kembali lagi, kudaku dan aku.”

“Aku ingat saat kau menginginkan seekor griffin,” ujarnya­. “Nah, sekarang, Nona Pemalas, lekaslah dan tata mejanya.”

  “Mereka bertengkar penuh kebencian malam itu,” kata Paman Julian. “‘Aku tidak akan melakukannya,’ kata si perempuan, ‘aku tidak akan tahan, John Black­ wood,’ dan ‘kita tidak punya pilihan,’ kata si laki-laki. Aku mendengarkan dari balik pintu, tentu saja, te­tapi aku terlambat mendengar apa sebenarnya yang mereka­ pertengkarkan, kurasa tentang uang.”

  “Mereka tidak sering bertengkar,” ujar Cons­ tance.

  “Mereka nyaris selalu sopan pada satu sama lain, Keponakan,­ kalau itu yang kau maksud dengan tidak sering­ bertengkar; suatu contoh yang paling tidak me­ muaskan­ bagi kita semua. Istriku dan aku lebih sering berteriak.”

  “Terkadang, rasanya nyaris seolah-olah belum enam tahun­ berlalu,” kata Constance. Aku mengambil taplak meja­ berwarna kuning dan pergi ke luar ke halaman untuk­ menyiapkan meja. Di belakangku, kudengar Constance­ berkata pada Paman Julian, “Terkadang, aku merasa­ bersedia mengorbankan segalanya untuk mengembalikan mereka semua lagi.”

 Sewaktu kecil, aku biasa memercayai bahwa suatu saat nanti aku akan tumbuh dan cukup tinggi untuk menyentuh­ bagian atas jendela di ruang tamu ibu kami. Jendela-jendela itu adalah jendela musim panas, karena rumah ini memang benar-benar dimaksud­kan untuk menjadi rumah musim panas, dan ayah kami menaruh­ pemanas ruangan hanya karena tidak ada rumah­ lagi yang bisa dituju keluarga kami ketika musim­ dingin. Kami sebenarnya berhak memiliki rumah­ Rochester di perdesaan, tetapi kami sudah lama­ kehilangannya. Jendela­-jendela di ruang tamu rumah kami memanjang dari lantai ke langit-langit, dan aku tak pernah bisa menyentuh­ puncaknya. Ibu kami biasa memberi tahu para tamu bahwa gorden satin berwarna biru muda di jendela-jendela rumah telah dibuat sepanjang empat meter. Ada dua jendela tinggi di ruang tamu, juga dua jendela tinggi di ruang makan di seberang aula, dan dari luar, jendela-jendela itu tampak sempit serta kurus dan membuat rumah ini tampak­ kerempeng dan tinggi. Namun, bagian dalam ruang tamu itu terlihat­ cantik.

  Ibu kami membawa kursi-kursi berkaki emas dari rumah Rochester, dan harpanya berada di ruang­ tamu tersebut, dan ruangan itu bersinar oleh pantul­­ an cermin-cermin serta kaca-kaca yang berkilauan. Constance­ dan aku hanya menggunakan ruangan ter­ sebut­ ketika Helen Clarke berkunjung untuk minum­ teh, tetapi kami selalu merawatnya dengan sempur­na­. Constance biasa berdiri di tangga untuk membersihkan bagian atas jendela, dan kami biasa member­sih­kan­ debu dari patung Dresden[1] mungil di atas perapian­.

Dengan menggunakan kain di ujung sapu, aku mem­ bersihkan tepian yang memiliki motif kue perni­kah­an­ di puncak dinding-dinding, menatapi ukiran putih berbentuk buah dan daun, mengelap ukiran mala­ ikat-malaikat cinta serta simpul-simpul pita, merasa­ pusing karena selalu mendongak ke atas dan me­ langkah­ mundur ke belakang, dan tertawa pada Con­ stance ketika dia menangkap tubuhku. Kami mengepel­ lantai dan menambal robekan kecil di brokat ma­war di sofa-sofa dan kursi-kursi. Ada kelambu emas di masing­-masing jendela tinggi, dan ukiran meliuk ber­ warna emas di sekeliling perapian, dan foto ibu kami menggan­tung­ di ruang tamu. “Aku tidak tahan melihat ruangan­ cantikku ini tidak rapi,” ibu kami dulu biasa berkata,­ dan karena itulah Constance dan aku tidak pernah­ diizinkan masuk ke sana, tapi sekarang kami selalu merawatnya hingga berkilau dan selicin sutra.

  Ibu kami dulu selalu menyajikan teh untuk kawan­-kawannya di meja rendah di sebelah perapian, jadi di sanalah Constance selalu menyiapkan meja untuk jamu­an­. Dia duduk di sofa bermotif mawar dengan foto ibu kami menunduk kepadanya, dan aku duduk di kursi kecilku di sudut ruangan sambil memperhatikan. Aku diizinkan membawa cangkir-cangkir dan teko-teko mungil dan mengoper roti isi serta kue, tetapi tidak­ diperbolehkan menuang teh. Aku tidak senang me­ makan­ apa pun sambil ditonton orang-orang, jadi aku selalu­ minum teh setelah pertemuan, di dapur. Hari itu, yang merupakan hari terakhir Helen Clarke ber­kun­jung untuk minum teh, Constance menata meja seperti biasa, dengan cangkir-cangkir tipis cantik ber­warna mawar yang selalu digunakan ibu kami, dan dua piring kecil berwarna perak. Yang satu berisi roti-roti isi ber­ ukuran kecil, yang satu lagi berisi keik rum yang sangat istimewa. Dua keik rum menungguku di dapur, kalau-kalau Helen Clarke memakan semua suguhan ini. Cons­ tance duduk diam di sofa; dia selalu bergeming, dan kedua tangannya rebah dengan rapi di pangkuannya. Aku menunggu di dekat jendela, menanti Helen Clarke, yang selalu datang tepat waktu. “Kau takut?” tanyaku pada Constance waktu itu, dan dia bilang, “Tidak, sama sekali tidak.” Tanpa menoleh pun, aku bisa mendengar dari suaranya bahwa tubuhnya bergeming.

  Aku melihat mobil itu berbelok ke dalam, dan me­ lihat dua orang di dalam mobil alih-alih satu; “Cons­ tance,” kataku, “dia bersama orang lain.”

  Constance bergeming sejenak, kemudian dia ber­ kata dengan cukup tegas, “Kurasa tidak apa-apa.”

 Aku menoleh untuk memandangnya, tapi dia hanya terdiam. “Aku akan menyuruh mereka pergi,” kataku. “Wanita itu seharusnya tahu lebih baik daripada ini.” “Tidak,” ujar Constance. “Aku sungguh-sungguh berpikir­ ini tidak apa-apa. Lihatlah aku.” “Tapi, aku tidak ingin membuatmu takut.” “Cepat atau lambat,” kata Constance, “cepat atau lambat aku harus mengambil satu langkah.” Tubuhku dingin. “Aku ingin menyuruh mereka pergi.”

“Tidak,” kata Constance. “Jelas tidak.”

 Mobil itu berhenti di depan rumah, dan aku berjalan ke aula untuk membuka pintu, yang sebelumnya sudah kubuka kuncinya, karena tidak sopan untuk membu­ ka kunci pintu rumah di depan seorang tamu. Sa­at aku pergi ke teras, ternyata itu tidak seburuk yang kusang­ka­. Helen Clarke bukan bersama orang asing, melain­kan­ Mrs. Wright kecil, yang sebelumnya pernah berkun­­jung dan terlihat lebih ketakutan dari siapa pun. Wanita­ itu tidak akan terlalu menjadi masalah bagi Constance,­ tetapi Helen Clarke seharusnya tidak mengajak­nya­ tanpa memberitahuku terlebih dahulu.

  “Selamat sore, Mary Katherine,” kata Helen Clarke, memutari­ mobil dan melangkah ke tangga, “tidakkah siang musim semi ini menyenangkan? Bagaimana ka­ bar Constance tersayang? Aku mengajak Lucille.” Dia bersikap­ tanpa tahu malu, seolah-olah setiap hari ada yang mengajak orang asing untuk bertemu dengan Constance,­ dan aku tidak senang harus mengulas se­ nyum kepadanya. “Kau ingat Lucille Wright?” tanya­ Helen­ Clarke padaku, dan Mrs. Wright kecil yang ma­­ lang berkata dengan suara pelan bahwa dia betul­-betul­ ingin kembali berkunjung. Aku menahan pintu­ yang terbuka­ dan mereka pun masuk ke aula. Me­reka tidak mengenakan mantel karena siang itu be­gitu cerah,­ tetapi Helen Clarke masih punya sopan santun­ untuk­ menunggu sebentar, “Sampaikan pada Constan­ce­ ter­ sayang bahwa kami sudah datang,” kata He­len Clarke padaku, dan aku tahu dia memberiku waktu un­tuk memberi­ tahu Constance siapa yang telah datang. Aku menyelinap ke dalam ruang tamu, tempat Constance­ duduk bergeming, lalu berkata, “Itu Mrs. Wright, yang dulu ketakutan.”

  Constance tersenyum. “Bisa dibilang langkah per­ tama yang lemah,” katanya. “Semuanya akan baik-baik saja, Merricat.”

  Di aula, Helen Clarke sedang memamerkan tangga­ rumah­ kami kepada Mrs. Wright, menceritakan kisah akrab tentang ukirannya dan bahwa kayunya dibeli dari­ Italia. Saat aku keluar dari ruang tamu, Helen Clarke­ mengerlingku dan berkata, “Tangga ini adalah satu dari keajaiban-keajaiban di wilayah ini, Mary Ka­ theri­ne­. Sayang sekali kalau disembunyikan dari dunia. Lucille?”­ Mereka masuk ke ruang tamu.

  Constance tampak luar biasa tenang. Dia berdiri dan tersenyum dan berkata bahwa dia senang bertemu mereka. Karena Helen Clarke pada dasarnya tidak ang­ gun, dia melakukan gerakan sederhana dengan masuk ke ruangan dan duduk seperti penari balet rumit di kursi­ yang diperuntukkan bagi tiga orang. Sebelum Constance­ selesai bicara, Helen Clarke menubruk Mrs. Wright dan mendorongnya ke samping seperti bola croquet yang berguling ke sudut terjauh ruangan, tem­ pat dia duduk dengan mendadak dan tanpa terencana di atas kursi kecil yang tidak nyaman. Helen Clarke duduk­ di sofa Constance, nyaris menyenggol meja teh, dan meskipun ada cukup banyak kursi dan sebuah sofa di ruangan itu, Helen Clarke duduk begitu dekat dengan­ Constance, yang benci berdekatan dengan siapa pun selain aku. “Nah,” kata Helen Clarke sambil merentangkan tangan, “senang melihatmu lagi.”

  “Betapa baiknya kalian mengundang kami,” kata Mrs. Wright sambil mencondongkan tubuh ke depan. “Sungguh tangga yang cantik.”

  “Kau kelihatan sehat, Constance. Apakah kau su­ dah mengurus kebun?”

  “Aku tidak tahan untuk tidak mengurusnya, pada hari sebagus ini.” Constance tertawa; dia melakukannya dengan sangat baik. “Sangat menyenangkan,” katanya pada Mrs. Wright. “Barangkali Anda juga senang ber­ kebun? Hari-hari cerah pertama ini sungguh menye­ nangkan­ bagi orang yang senang berkebun.”

  Dia bicara sedikit terlalu banyak dan sedikit terlalu cepat, tetapi tak ada yang memperhatikannya selain aku.

  “Aku menyukai kebun,” sembur Mrs. Wright. “Aku sangat­ menyukai kebun.”

  “Bagaimana kabar Julian?” tanya Helen Clarke se­ belum­ Mrs. Wright selesai bicara. “Bagaimana kabar Julian tua?”

  “Sangat baik, terima kasih. Dia berharap bisa ber­ gabung­ dengan kita untuk minum teh sore ini.” 

“Pernahkah kau bertemu Julian Blackwood?” ta­ nya Helen Clarke pada Mrs. Wright, dan Mrs. Wright, meng­ge­lengkan kepala, berkata, “Aku akan senang berte­mu­ dengannya, tentu saja; aku telah mendengar­ begi­tu­ banyak—” lalu dia berhenti bicara.

“Dia sedikit eksentrik,” kata Helen Clarke, terse­ nyum pada Constance seolah-olah hal itu tadinya sebu­ ah ra­ha­sia. Aku berpikir, kalau “eksentrik” mempu­nyai arti­ seperti­ yang tercantum di kamus—menyimpang dari kewajaran—Helen Clarke-lah yang jauh lebih ek­ sentrik­ dari Paman Julian, dengan gerak-gerik aneh dan pertanyaan-pertanyaannya yang tak terduga, dan sikapnya yang mengajak orang asing kemari untuk­ mi­ num teh. Paman Julian sendiri hidup dengan mulus,­ dengan­ pola yang terencana, bulat dan rapi. Seharus­ nya Helen Clarke tidak menyebut orang lain memi­liki­ sifat yang tidak dia miliki, pikirku, teringat un­tuk ber­ sikap lebih baik pada Paman Julian.

  “Constance, kau selalu menjadi teman terdekat­ku,” kata Helen Clarke, dan aku heran karena dia benar-benar tidak sadar bahwa Constance sungguh menghin­ dari kata-kata seperti itu. “Aku akan memberimu nasi­hat­ sedikit saja, dan ingat, nasihat ini datang dari seorang teman.”

  Aku pasti tahu apa yang akan dia katakan karena sekujur tubuhku mendadak dingin. Seluruh kunjungan ini dimaksudkan untuk berakhir dengan apa yang akan dikatakan Helen Clarke selanjutnya. Aku duduk ren­ dah di kursiku dan memandang lekat pada Constance, berharap­ dia bangkit dan lari, berharap agar dia tidak mendengar apa yang akan terucap, tetapi Helen Clarke meneruskan, “Ini musim semi, kau masih muda, kau masih­ cantik, kau punya hak untuk bahagia. Kembali­ lah ke dunia.”

Dulu, bahkan sebulan lalu saat masih musim di­ ngin, kata-kata seperti itu akan membuat Constance mundur­ dan lari. Sekarang, aku melihat bahwa dia telah­ mendengarkan­ dan tersenyum, meskipun dia menggelengkan kepalanya.

  “Kau telah menghukum dirimu cukup lama,” kata Helen Clarke.

  “Aku sangat bersedia untuk mengundang kalian makan siang—” Mrs. Wright memulai.

Lihat selengkapnya