Terjadi sebuah perubahan, dan tak seorang pun yang tahu, kecuali aku. Constance barangkali merasakannya juga; kuperhatikan dia sesekali berdiri di kebun dan tidak menunduk ke arah tanaman-tanaman yang dirawatnya, dan tidak memandang rumah kami pula. Dia memandang ke kejauhan, ke arah pepohonan yang menyembunyikan pagar rumah. Dan terkadang, dia memandang lama serta penasaran ke sepanjang jalan mobil, seolah-olah dia bertanya-tanya bagaima na rasanya berjalan melaluinya menuju gerbang. Aku mengawasinya. Pada Sabtu pagi, setelah Helen Clarke berkunjung untuk minum teh, Constance memandangi jalan mobil tiga kali. Paman Julian sedang tidak enak badan pada Sabtu pagi, setelah minum teh, dan dia ber baring di tempat tidurnya di kamar hangat di sebelah dapur, sembari memandang ke luar jendela di samping bantalnya dan sesekali memanggil Constance hanya agar Constance memperhatikannya. Bahkan, Jonas pun terlihat gelisah—dia bagaikan berlari menerjang badai, ibu kami dulu biasa berkata—dan aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Selama hari-hari menuju perubahan tersebut, Jonas terus saja senewen. Ia akan bangun mendadak dari tidur lelapnya, mengangkat kepala seolah-olah mendengarkan sesuatu, kemudian berdi ri dan bergerak cepat. Ia berlari menaiki tangga dan menyeberangi tempat-tempat tidur dan keluar masuk pintu, kemudian menuruni tangga serta menyeberangi aula dan melompati kursi di ruang makan. Kemudian, ia akan mengelilingi meja dan menyusuri dapur, lalu ke luar ke kebun tempat dirinya akan melambat dan berjalan-jalan, berhenti sejenak untuk menjilat satu cakarnya dan mengedikkan sebelah telinganya, serta mengamati suasana siang hari. Malam harinya, kami bisa mendengarnya berlarian, merasakan dirinya me nyeberangi kaki kami ketika kami tidur, seolah-olah dia sedang mengejar badai.
Seluruh pertanda menyuratkan sebuah perubahan. Aku bangun pada Sabtu pagi dan merasa mendengar keluargaku memanggilku. Mereka ingin aku bangun, pikirku, lalu aku sepenuhnya terjaga dan menyadari bahwa mereka semua sudah mati. Constance sendiri tidak pernah memanggilku untuk bangun. Saat aku berganti baju dan menuruni tangga pagi itu, dia sedang menunggu untuk memasakkan sarapanku, dan aku memberitahunya, “Aku merasa mendengar mereka memanggil-manggilku pagi ini.”
“Cepatlah sarapan,” katanya. “Ini hari yang menyenangkan.”
Setelah sarapan pada pagi yang menyenangkan ketika aku tidak perlu pergi ke desa, aku akan melaku kan tugasku. Setiap Rabu pagi, aku mengelilingi pagar rumah. Aku perlu memeriksanya dengan rutin untuk memastikan apakah kawat-kawatnya tidak patah dan gerbang itu terkunci dengan rapat. Aku bisa memper baikinya sendiri, menyambung kawat yang patah, me ngencangkan bagian-bagian yang longgar, dan rasanya melegakan mengetahui bahwa setiap Rabu pagi kami akan tetap aman sampai minggu depannya.
Setiap minggu pagi, aku memeriksa jimat-jimatku; kotak berisi dolar-dolar perak yang kukubur di dekat anak sungai, boneka yang kukubur di ladang yang pan jang, dan sebuah buku yang kupaku pada sebuah pohon di hutan pinus. Selama mereka tinggal di tempat-tem pat yang kutandai tersebut, tidak akan ada yang bisa mengganggu kami. Aku biasa mengubur barang-ba rang, bahkan sewaktu masih kecil. Aku ingat bahwa aku pernah memetak-metak ladang dan mengubur sesuatu di masing-masing petak untuk membuat rumputnya tumbuh lebih tinggi sementara aku bertumbuh besar, agar aku bisa selalu bersembunyi di balik rerumputan tersebut. Aku juga pernah mengubur enam butir kele reng biru di tepi anak sungai untuk mencegah sungai itu kering. “Ini harta karun untuk kau kubur,” Cons tance biasa berkata sewaktu aku kecil, memberiku koin satu penny atau pita berwarna cerah. Aku mengubur seluruh gigiku yang tanggal satu per satu dan barang kali suatu saat nanti mereka akan tumbuh menjadi naga. Seluruh tanah kami diperkaya oleh harta-harta karunku yang dikubur di sana, mengumpul tepat di ba wah permukaan tanah bersama kelereng-kelereng dan gigi-gigiku dan batu-batu warna-warni milikku—ba rangkali semuanya sudah berubah menjadi permata sekarang—berjalinan dengan kuat bagaikan jaring yang tak pernah melonggar, melainkan mengencang untuk melindungi kami.
Setiap Selasa dan Jumat, aku pergi ke desa, dan pada hari Kamis, yang merupakan hari terkuatku, aku memasuki loteng besar dan mengenakan pakaian mereka.
Setiap Senin, kami merapikan rumah, Constance dan aku, memasuki setiap ruangan sambil membawa sapu-sapu dan lap-lap, dengan hati-hati meletakkan ba rang-barang kecil kembali ke tempatnya setelah kami mengelapnya, tidak pernah mengubah posisi sempurna sisir cangkang-kura-kura milik ibu kami. Setiap musim semi, kami membersihkan dan memoles rumah untuk setahun ke depan, tetapi setiap Senin kami tetap me rapikannya. Hanya ada sedikit sekali debu di kamar keluargaku, tapi bahkan debu sesedikit itu pun tidak kami izinkan untuk tinggal. Terkadang, Constance mencoba merapikan kamar Paman Julian, tetapi Pa man Julian tidak suka diganggu dan selalu menjaga barang-barangnya di tempatnya, dan Constance harus puas dengan hanya membersihkan gelas-gelas obat Paman Julian dan mengganti seprai tempat tidurnya. Aku tidak boleh masuk ke kamar Paman Julian.
Pada Sabtu pagi, aku membantu Constance. Aku tidak diizinkan memegang pisau, tetapi ketika dia be kerja di kebunnya, aku biasa merawat peralatannya, membuat peralatan itu tetap bersih dan berkilau. Terkadang, aku membawa keranjang-keranjang besar berisi bunga atau sayur mayur yang dipetik Constance untuk dimasak. Setiap ceruk di rumah kami berisikan makanan. Seluruh wanita Blackwood telah membuat masakan dan dengan bangga menambah persediaan makanan di ceruk-ceruk kami. Ada botol-botol selai yang dibuat oleh nenek buyut kami, dengan label-la bel tulisan pucat yang tipis, yang sekarang nyaris tak terbaca, dan acar-acar yang dibuat oleh nenek-bibi dan sayur mayur yang disimpan oleh nenek kami. Bahkan, ibu kami pun menambahkan enam botol jeli apel. Con stance bekerja sepanjang hidupnya untuk menambah kan makanan di cerukan, dan deret-deret botol milik Constance mudah dikenali sebagai yang paling cantik dan bercahaya di antara semuanya.
“Kau mengubur makanan seperti halnya aku me ngubur harta karunku,” aku terkadang berkata pada nya, dan dia menjawab: “Makanan itu berasal dari tanah dan tidak boleh terus tinggal di sana untuk mem busuk; beberapa hal harus dilakukan untuk mereka.” Seluruh wanita Blackwood telah mengambil makanan dari tanah dan mengawetkannya, dan deret-deret jeli dan acar berwarna pekat, serta berbotol-botol sayur mayur dan buah-buahan, berwarna marun dan ambar dan hijau gelap yang pekat, berdiri bersisian di ceruk kami dan akan berada di sana selamanya, sebentuk puisi dari wanita-wanita Blackwood. Setiap tahun, Constance dan Paman Julian memakan selai atau awetan atau acar yang dibuat oleh Constance, tetapi kami tidak pernah menyentuh buatan yang lainnya. Constance bilang kami akan terbunuh kalau mema kannya.
Sabtu pagi ini, aku mengoleskan selai aprikot di rotiku, dan aku memikirkan Constance, yang membuat kan roti itu dan menyisihkannya dengan telaten un tuk kumakan pada pagi yang cerah. Aku tak pernah menyangka bahwa sebuah perubahan akan datang sebelum botol selai itu dikosongkan.
“Merricat pemalas,” kata Constance padaku, “ber henti melamun di atas rotimu. Aku ingin kau mene maniku berkebun di hari yang menyenangkan ini.”
Dia mengatur nampan Paman Julian, menuang susu hangatnya ke dalam teko bermotif bunga daisy kuning, lalu memotong roti Paman Julian sampai kecil dan hangat dan berbentuk bujur sangkar. Kalau makan annya terlihat besar, atau sulit dimakan, Paman Julian tidak akan memakannya. Constance selalu membawa kan nampan Paman Julian ke kamarnya setiap pagi, karena Paman Julian tidur sambil menahan rasa sakit, dan terkadang terjaga dalam kegelapan untuk menung gu cahaya pertama, juga menunggu Constance yang membawakan nampan sembari menenangkannya. Pada beberapa malam, ketika jantungnya terasa sangat sakit, Paman Julian biasa meminum satu pil lagi, kemudian terbaring sepanjang hari dengan lelah dan hampa, tidak ingin menyesap susu hangatnya, tetapi tetap ingin tahu apakah Constance sedang sibuk di dapur di samping kamarnya, atau sedang berada di kebun tempat Paman Julian bisa melihat Constance dari atas bantalnya. Pada pagi yang menyenangkan bagi Paman Julian, Constance biasa mengantarnya ke dapur untuk sarapan. Paman Julian akan duduk di meja tuanya di sudut ruangan, menumpahkan remah-remah roti di tengah catatan-catatannya, mempelajari kertas-kertasnya selagi dia makan. “Kalau aku panjang umur,” dia selalu berkata pada Constance, “aku akan menulis buku tentang ini sendiri. Kalau tidak, pastikan bahwa catatan-catatanku dititipkan pada orang berpi kiran sinis, yang tidak akan terlalu mengkhawatirkan kebenaran.”
Aku ingin bersikap lebih baik pada Paman Julian, jadi pagi ini, aku berharap dia menikmati sarapannya, kemudian ke luar ke kebun dengan menggunakan kursi rodanya dan duduk dalam naungan cahaya matahari. “Barangkali tulip akan mekar hari ini,” kataku, meman dang melalui pintu dapur yang terbuka ke arah sinar matahari.
“Baru besok, kurasa,” kata Constance, yang selalu tahu soal hal itu. “Pakai sepatu botmu kalau berjalan-jalan hari ini; hutan masih terasa lembap.”
“Akan ada perubahan yang datang,” kataku.
“Ini musim semi, Anak Konyol,” katanya, lalu meng angkat nampan Paman Julian. “Jangan menghilang se lagi aku tidak ada; ada yang harus kita kerjakan.”
Constance membuka pintu kamar Paman Julian, dan aku mendengar Constance mengucapkan selamat pagi padanya. Saat Paman Julian membalas sapaannya, suaranya terdengar parau, dan aku tahu dia sedang me rasa tidak sehat. Constance sepertinya harus berada di dekatnya seharian ini.
“Apakah ayahmu sudah di rumah, Nak?” tanya nya.
“Belum, hari ini belum,” jawab Constance. “Mari kuambilkan bantal lagi. Ini hari yang indah.”
“Dia orang yang sibuk,” kata Paman Julian. “Bawa kan aku pensil, Sayangku. Aku ingin membuat catatan tentang itu. Dia orang yang sibuk.”
“Minumlah sedikit susu; itu akan menghangatkan mu.”
“Kau bukan Dorothy. Kau keponakanku Constance.”
“Minumlah.”
“Selamat pagi, Constance.” “Selamat pagi, Paman Julian.”
Aku memutuskan bahwa aku akan memilih tiga buah kata yang penuh kuasa, kata-kata yang mengan dung perlindungan yang kuat, dan selama kata-kata hebat itu tidak diucapkan keras-keras, pasti tidak akan terjadi perubahan. Aku menulis kata pertama—melo di—di atas selai aprikot di rotiku dengan menggunakan gagang sendok, lalu memasukkan roti itu ke mulutku dan memakannya dengan sangat cepat. Aku sudah se pertiga jalan menuju keselamatan. Constance keluar dari kamar Paman Julian sambil membawa nampan.
“Dia sedang tidak sehat pagi ini,” katanya. “Dia ti dak memakan sebagian besar sarapannya dan merasa sangat lelah.”
“Kalau aku punya kuda bersayap, aku bisa mener bangkan Paman Julian ke bulan; dia akan lebih nya man di sana.”
“Lain kali aku akan membawanya pergi ke mataha ri, dan barangkali membuatkannya sedikit eggnog.”
“Segalanya terasa aman di bulan.”