"Mama..." Sasa masuk ke dalam kamar mamanya dan langsung menangis dalam pelukannya.
"Sasa, ada apa?"
Sasa tidak berbicara apapun ia hanya menangis dan mamanya pun tidak bertanya banyak, ia hanya terus mengelus rambut putri semata wayangnya itu. Sejam lamanya Sasa menangis, bukan waktu yang lama mengingat sudah sepanjang malam ia juga menangis.
"Ada apa sayang? Apa kau sudah ingin bercerita?"
"Aku putus dengan Ara dan itu juga berarti akhir dari persahabatan kami."
Mama hanya menatap Sasa dan memegang kedua tangan anaknya, "Mama yakin itu jalan yang terbaik, Sa."
"Mama juga pikir ini yang terbaik?"
Mama mengangguk, "coba kamu buka laci itu, Sa."
Sasa membuka laci di samping kasur mamanya, ada sebuah amplop cokelat di dalamnya. "Ini apa ma?"
Mama mengambil amplop itu dan membukanya, "surat cerai mama dengan papa kamu."
Sasa terkejut dan tidak percaya apa yang ia dengar, "Ada apa ma? kenapa tiba-tiba?"
"Ini tidak tiba-tiba, Sa. Seharusnya ini yang mama lakuin sejak dulu. Maafin mama, sayang karena baru sadar dan baru melakukan ini."
"Maksud mama?"
"Kamu dan Ara menjadi seperti ini, ada kesalahan dari mama dan papa juga di dalamnya. Seharusnya mama memikirkan kamu lebih lagi. Seharusnya mama memikirkan kalau mama terus bertahan dengan papa itu akan menyakiti kamu dan selama ini kamu harus selalu menahannya. Selalu menajdi tempat pelampiasan dari kesedihan mama."
"Mama..."
"Ara datang ke sini dan membuat mama tersadar, Sasa."