We're (Not) Really Break Up

Keita Puspa
Chapter #2

Chapter 2: Finding You Again

Pagi itu tidak dimulai dengan jogging keliling desa seperti biasa. Hari-hari telah berubah. M tidak lagi di Ykaten. Sekarang ia tinggal di Zafon, sebuah kota besar di negeri ini. Kebiasaan lari pagi setiap hari berganti menjadi akhir pekan saja. Itu pun jika ia tidak bangun kesiangan. 

Masa-masa kuliah ternyata melelahkan. Ia tidak tahu kalau untuk mendapatkan gelar sarjana secapek itu. Ia mungkin tahu perlu perjuangan, tetapi bahkan M tidak membayangkan kalau perjuangan itu sangat berat. 

Hari ini penerimaan mahasiswa baru. M tidak ingin ambil bagian dalam urusan itu tetapi akhirnya ia diseret seorang kating yang ia segani. Tidak enak menolaknya. Sebab, kating itu telah banyak membantu M setahun belakangan. "Hanya perlu duduk dan membagikan tanda pengenal bagi mahasiswa baru. Selebihnya, biar yang lain menangani," kata si kating yang ramah dan pintar itu ketika ia bicara pada M kala itu. 

Untungnya memang hal yang perlu M lakukan hanya duduk dan menunggu para mahasiswa baru mendatanginya. Kemudian ia melihat nama dan wajah yang tidak asing lagi baginya di salah satu tanda pengenal mahasiswa baru. 

M menunggu orang tersebut datang. Di dunia asing ini, ia hanya mengenal Jimmi pada awalnya. Jika memang orang itu masuk ke kampus ini, berarti kenalan lamanya bertambah. Hati M seolah mendapatkan angin segar. 

Namun, hingga acara dimulai orang yang M harapkan belum juga muncul. Sepertinya mahasiswa baru itu tidak akan datang hari ini. M sedikit kasihan. Sebab orang itu pastinya akan mendapatkan peringatan esok harinya. 

Saku jaket M bergetar. Cowok bermata hitam itu merogoh saku dan mengeluarkan ponsel. Sebuah panggilan dari kawan karibnya. 

"Ya, Jimm?"

"Kapan kau pulang?"

M melirik arloji. "Mungkin jam sebelas atau tengah hari. Kenapa?"

"Aku mau pergi. Kunci kutaruh dibalik keset."

" Oh, oke. Trims."  M menutup sambungan kemudian ia memutar kepala ke depan. Saat itulah ia melihat orang yang ia tunggu-tunggu itu. Otot-otot wajahnya bergerak sehingga senyumnya terkembang.

“Aurora Arka,” kata orang itu, lebih tepatnya gadis itu kepada M dan seorang lagi mahasiswa tingkat dua.

M menyerahkan kartu identitas yang menggantung pada tali hijau. “Selamat datang di Universitas Cendekia,” ucap M masih dengan senyuman lebar.

Reaksi Aurora tidak dapat dibaca. Gadis itu memang terlihat terkejut melihat wajah mantannya yang memberinya kartu identitas. Tetapi Aurora kemudian memasang wajah datar, tampak acuh, kemudian gadis itu segera berlari menuju sekumpulan mahasiswa baru yang berbaris di lorong kelas.

Sedikit kekecewaan hinggap di hati M.

***

Hujan sore itu begitu deras dan datang tiba-tiba. Aurora tidak membawa payung. Ia terjebak di halte setelah turun dari bus yang mengangkutnya dari kampus. Lagipula, sebenarnya ia belum sempat membeli payung.

Gadis itu terpaksa duduk menunggu. Hujan terlalu deras untuk ditembus. Akan terlihat menyedihkan kalau ia menembus hujan sederas itu sendirian. Hanya orang putus asa, orang yang putus cinta dan yang sedang mengalami keadaan gawat darurat yang berjalan di bawah hujan seperti ini. Aurora tidak masuk ke dalam tiga kategori itu. Setidaknya saat ini.

Sebuah bus berhenti di depan Aurora, menurunkan seorang penumpang cowok jangkung dengan rambut yang basah. Oh, ia kenal siapa cowok itu. Adik ipar M.

Jimmi melihat Aurora yang tengah memainkan gawainya. Ia duduk di ujung jauh dari Aurora, membuat gadis itu tersinggung dan merasa menjadi semacam orang dengan penyakit menular. Jimmi merogoh tas dan mengeluarkan sebuah payung merah jambu.

“Mau bareng?” tawar Jimmi. Cowok itu berjalan ke arah Aurora.

“Tidak usah,” jawab Aurora ketus dan kembali memalingkan wajahnya pada layar ponsel.

Jimmi melipat bibirnya rapat dan mengangguk kecil. “Oke,” katanya singkat kemudian meninggalkan Aurora kembali sendirian.

“Ish! Ngeselin banget! Ya, pergi saja sana! Lagipula sebentar lagi hujannya reda,” gerutu Aurora. “Lagipula kenapa dia pakai payung pink, sih?” Diperhatikannya bayangan Jimmi yang mulai bias terhalang curahan air dari langit. “Mungkin itu payung Amy? Ah … awas saja. Nanti kuceritakan kelakuannya pada pacarnya.”

Bibir Aurora beberapa kali maju demi melihat pacar Amy itu tidak terlihat lagi. Aurora merapatkan retsleting bomber-nya. Udara dingin terasa mulai menusuk. Apalagi kaus kakinya mulai basah oleh air hujan yang menyembur dari arah depan. Anginnya cukup besar. Gadis itu mendekap diri sendiri menahan gigil.

Lihat selengkapnya