Nopember, 2018
M tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk berterima kasih kepada Aurora. Apalagi gadis itu sampai membersihkan ruang depan. Ada rasa utang budi yang menggelayut di hatinya.
Matahari terbit dengan cerah seolah cahaya itu akan bertahan seharian. Padahal, ramalan cuaca di televisi yang M nyalakan mengatakan akan ada badai petir sore hari. Semua penduduk diharapkan membawa payung dan menghindari aktivitas di luar ruangan selama hujan badai berlangsung.
M menyambar salah satu payung merah jambu yang digantung di rak dekat pintu. "Aku pergi, Jimm," katanya pada Jimmi yang sedang membereskan rangkaian lengan robot di meja. Sahabatnya itu hanya bergumam dan mengangguk.
Apartemen Cendawan selalu sesepi ini. Apalagi di area tangga. Kadang, lorong turun-naik berisi anak-anak tangga itu seperti lokasi syuting film horor. Udaranya lembap dengan cat dinding yang mengelupas di sana-sini. Beberapa ubin anak tangga di lantai dua patah dan orang harus berhati-hati melangkah jika tidak mau tersandung. Untuk sebuah apartemen tua, harga sewanya cukup mahal. Tetapi karena itu di Zafon, harga tersebut tergolong cukup murah. Perbedaan harga Zafon dengan kota lain—seperti Xenter dan Ykaten—memang kejam.
Sebenarnya M cukup senang dengan apartemen tua ini. Kendati pun tangganya menyeramkan tetapi kamar-kamarnya cukup bagus dan mendapatkan sinar matahari yang cukup. Sepertinya para tangga itu sengaja ditumbalkan agar kamar-kamar di sana menjadi hangat. Selain itu, atapnya tidak berantakan sehingga ia sering ke sana untuk mengobservasi langit jika malam cerah.
Di depan pintu utama apartemen, M berhenti beberapa menit. Berharap Aurora akan muncul. Ia tidak tahu di ruangan nomor berapa gadis itu tinggal. Namun, hingga lima belas menit ia menunggu, Aurora tidak kunjung muncul. Setelah menatap angka-angka pada jam di tangan kirinya, M memutuskan untuk pergi.
***
Seperti yang diramalkan oleh badan meteorologi dan geofisika, hujan badai turun pukul tiga sore tepat sebelum Amy pulang. Gadis itu cemberut di dalam ruang organisasi siswa menatap kilatan cahaya yang sesekali menerangi curahan air dari langit. Ia lupa membawa payung.
Lorong-lorong sekolah sudah sepi. Mungkin hanya Amy saja yang berada di lantai dua. Ia tidak menemukan tanda kehidupan sedikit pun. Bukan sekali dua kali ia sendirian di sekolah ini. Ia bahkan pernah tertidur di kelas sampai pukul sembilan malam. Tentu saja Mrs. Larry—bibi Magdanya itu—kalang kabut mencarinya kemana-mana. Hasilnya ia kena omel dan setiap jam empat sore Mrs. Larry akan menelepon dan menanyakan keberadaannya.
Bosan menunggu hujan yang sepertinya tidak akan reda dalam waktu singkat, Amy berjalan-jalan di lorong kelas. Ia melewati kelas XII B, tempat ia dulu biasa ngobrol dengan Jimmi dan kakaknya. Membahas tentang materi gelap atau partikel Higgs Boson. Meski ia hanya bisa jadi nyamuk di antara dua sahabat itu jika mereka mulai membicarakan hal rumit, ia senang. Dan ia mengingat hal itu dengan baik disela benang-benang kusut memorinya yang menyangkut sains.
Kemudian ia turun ke lantai satu, menapaki selasar lab komputer dan ruang administrasi yang sedikit basah oleh angin kencang yang membawa air hujan. Di sana, ia dan Jimmi pernah mengungkapkan cita-cita masing-masing kemudian berjanji untuk berusaha mencapainya. Dan di selasar itu pula, ia mulai mengakui perasaannya pada Jimmi. Hal yang membuatnya tersenyum malu meski tidak ada orang yang akan melihat.
Ruang berikut adalah yang paling para siswa hindari, ruang konseling. Ironisnya, Amy justru sering ke sana untuk menemui Mrs. Larry. Apalagi sejak M lulus, ibu Jimmi itulah yang menjadi wali Amy. Gadis itu bahkan tinggal di rumahnya. Membuatnya memiliki predikat 'menantu idaman Mrs. Larry'—sebenarnya Amy senang dengan sebutan itu—yang diberikan oleh para murid SMA Elang.
Kenangan-kenangan masa lalu bersama M dan Jimmi terputar begitu saja. Bahkan ketika Amy melihat tetesan hujan yang masih lebat, ia melihat dirinya sendiri berlari membawa sebuah payung dengan M dan Jimmi mengejarnya. Mereka tertawa dan saling berebut untuk membuat yang lain lebih basah. Adegan kekanakan yang tak jarang mereka lakukan di musim hujan.
"Kamu belum pulang?"
Amy merinding melihat mata cokelat itu memandanginya. Tatapan mereka sama. Tiba-tiba ia salah tingkah, mundur beberapa langkah hingga menabrak pelan tembok. "Belum, Bi," katanya setelah menguasai diri.
"Tidak bawa payung?" tebak wanita seksi berbaju safari biru dongker itu sekaligus bertanya. Tubuhnya proporsional dan berisi. Wajahnya pun terlihat lebih muda dari umur sebenarnya.
Amy mengangguk sembari menarik otot pipinya membentuk cengiran polos.
"Masuklah," kata wanita yang tidak lain adalah Magdalena Larry itu sembari membuka pintu ruangannya.
"Bibi juga tidak bawa payung?" tanya Amy setelah masuk ruang konseling dan menutup pintu rapat.
Mrs. Larry tertawa. "Bukan," katanya, "tugasku belum selesai. Kamu lihat kertas ini?" Mrs. Larry mengarahkan tatapan matanya pada setumpuk kertas di atas meja. "Harus kuselesaikan hari ini."