Desember, 2018
"Katakan apa maumu?" Aurora merapikan buku ke dalam tasnya tergesa. Ia berusaha nengacuhkan M tetapi pada akhirnya menyerah juga.
Sejak seminggu lalu, cowok itu selalu menunggunya di depan apartemen. Aurora selalu berangkat lebih pagi untuk menghindarinya. Setiap kali mereka bertemu di kampus, M juga selalu memanggilnya. Dan Aurora selalu lari dan sembunyi.
Tidak seharusnya Aurora menghindari M. Namun, satu hal telah membuatnya malu untuk bertemu muka dengan cowok ganteng itu. Ketika ia merawat M yang sedang sakit, ia keasikan membereskan apartemen cowok itu. Hal yang membuatnya menyesal karena pasti M sudah tahu kalau ia masih memiliki perasaan padanya.
Akan tetapi, M benar-benar telah melampaui batas kesabarannya ketika cowok itu menunggu di depan kelas usai waktu belajar selesai. Aurora tidak bisa menghindar.
"Kamu punya waktu?" tanya M yang menyandang ransel biru-merah. Ia bahkan masih memanggil 'kamu' pada Aurora. Tapi Aurora mengenal M yang masih saja baik dan sopan kepada barisan para mantan. Aurora cukup tahu diri untuk tidak gede rasa.
"Buat apa?"
"Aku cuma mau berterima kasih."
"Sama-sama. Sudah, kan? Kalau begitu selamat tinggal." Aurora beranjak pergi tetapi M berhasil mendahului dan menghalangi jalannya.
"Setidaknya ijinkan aku mentraktirmu." M tetap berusaha membujuk Aurora. Utang budinya harus terbayar tuntas.
"Aku punya cukup uang," kata Aurora mengeluarkan keangkuhannya.
M berdecak kesal. Ia lupa kalau mantan pacarnya sedari SMP ini adalah ratunya keangkuhan. "Baiklah. Kalau begitu bagaimana kalau kubantu tugas-tugasmu?"
Aurora mendongak, menatap wajah M. Kemudian keningnya sedikit berkerut. "Tawaran yang menjanjikan. Tapi aku belum punya tugas yang susah, tuh."
"Baiklah kalau begitu." M akhirnya menyerah. Gadis itu memang terlalu tangguh untuk ditaklukan. "Tapi kalau kau butuh bantuan, hubungi saja aku."
Aurora mengangguk kemudian ia benar-benar berlalu dari hadapan M.
***
"Bagaimana? Kau sudah berhasil deketin Aurora?" tanya Jimmi suatu malam setelah ia mengakhiri video call-nya dengan Amy.
"Aku cuma mau balas budi, Jimm," jawab M yang sedang membereskan teleskopnya. "Tidak lebih."
"Oh," gumam Jimmi. "Lebih juga gak apa-apa, kali."
"Apaan, sih." M menggelengkan kepala dengan sedikit senyum.
"Kau pikir aku buta?" Jimmi bangkit dari kasur. "Sejak ketemu dia, kau jadi makin sering tersenyum. Terus setiap hari kau nungguin dia cuma buat ngajak makan," kata Jimmi sembari mengelus dagu.
M hanya makin tersenyum lebar. Kemudian ia duduk di depan meja dan membuka laptop. "Dia keras kepala. Sama seperti dulu," ujarnya.
"Ya. Itu sangat jelas. Tapi itu berarti kau punya kesempatan, dong? Kau pernah menaklukannya sekali. Kali ini kau juga pasti bisa."
"Entahlah," ujar M tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.
Jimmi berdiri kemudian menopang dagu dengan siku menempel di bahu M. "Jangan bilang kau masih mengharapkan email balasan Weni. Ini sudah dua tahun, M."