Desember, 2018
M telah selesai menyimpan kertas-kertas kuis ketika ponselnya berdering. Ia melihat nama siapa yang tampil di layar kemudian menjawab panggilan tersebut. “Ya, ini Marshall. Sekarang? Ah, baiklah kalau begitu.” Ditutupnya telepon kemudian ia kembali ke ruangan Mr. Drew. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas lebih empat puluh menit. Ia harus cepat menemukan sebuah catatan milik Mr. Drew atau Aurora akan terlalu lama menunggunya.
Satu per satu M membuka buku-buku tebal yang tersusun di atas meja dan mengintip halaman demi halamannya untuk menemukan selembar kertas itu. Hingga buku terakhir ia tidak menemukan apa pun kecuali beberapa bookmark yang terbuat dari daun-daun indah yang dikeringkan. M beralih ke laci, mencari di antara barang-barang Mr. Drew yang kebanyakan berwarna biru dongker. Dikeluarkannya semua barang itu dari laci. Tidak ada.
Mr. Drew bilang kemungkinan catatan itu terselip di antara buku-bukunya atau tergeletak di atas meja begitu saja. M melihat tumpukan kertas yang ia bawa ke sana beberapa saat lalu dan tanpa pikir panjang memeriksanya lembar demi lembar. Kertas yang Mr. Drew katakan berwarna biru terang itu tidak bisa ia temukan.
M melirik lagi jam dinding yang telah menunjukkan pukul dua belas lewat dua belas menit. Ia mengembuskan napas kasar kemudian menarik napas panjang. Lebih baik jika ia mengabari Aurora. M mengeluarkan ponsel dari kantong celananya tetapi harus kecewa karena ponselnya mati. Ia lupa mengisi daya semalam. Dan tak ada charger. Dengan lesu ia duduk di kursi. Saat itulah ia melihat tempat sampah penuh oleh kertas. Mungkin di sana?
Dengan gerakan cepat ia memeriksa apakah ada secarik kertas biru yang tidak sengaja Mr. Drew tinggalkan. Semua kertas di sana putih. Tidak ada warna biru. Kemudian telepon di meja berdering. M mengangkatnya. “Ya, ini aku. Ah, begitu. Syukurlah,” katanya mendapat kabar dari Mr. Drew yang mengatakan kalau kertas biru itu ada di saku jasnya. “Tidak apa-apa. Jangan khawatir Mr. Drew.”
Jarum panjang pada jam menunjukkan angka lima. M segera menuju pintu keluar tetapi ia ingat kalau ruangan itu masih berantakan. Ia menggigit bibir dan menepuk dahi. “Damn!”
Dengan langkah gontai, M mulai membereskan buku-buku yang tadi ia buat berantakan. Sekejap saja buku itu rapi kembali beserta kertas-kertas kuis para mahasiswa hari itu. Hanya tersisa sampah kertas yang masih berserakan.
“Kukira kau asdos.” Aurora berdiri, bersandar pada daun pintu dengan kedua tangan bersilang di dada.
M menoleh dan tersenyum kecil. Rasa tidak enak yang berubah menjadi malu merayap di hati. “Ah, maaf membuatmu menunggu lama,” ucapnya tanpa berhenti memasukkan kembali sampah-sampah itu pada tempatnya.
“Jadi, pekerjaanmu merangkap janitor?” Aurora membungkuk dan membantu M memungut beberapa kertas lecek.
“Ini karena Mr. Drew memintaku menemukan catatannya.” M mengasongkan tempat sampah pada Aurora. “Terima kasih,” katanya ketika Aurora memasukkan kertas lecek ke dalammya.
“Catatannya ada di tempat sampah?”
“Kupikir bisa saja begitu.” M tersenyum kemudian meletakkan kembali tempat sampah itu di kolong meja seperti sedia kala.
“Ketemu?” Aurora berdiri dan menepuk-nepuk tangan menyingkirkan debu.
“Ya,” jawab M sambil tertawa, “di saku Mr. Drew.”
“Ha?” Aurora memutar bola mata. “Kau sudah mencari selama ini dan ternyata catatannya memang tidak ada di sini? Luar biasa!” ungkap Aurora mengeluarkan sarkasme. “Kau harus protes pada Mr. Drew.”
“Tidak perlu. Aku tidak apa-apa.”
“Ya, tentu saja. Yang menunggu hampir satu jam itu, kan, bukan kau!” protes Aurora marah.
“Maafkan aku. Aku berusaha meneleponmu tetapi ponselku mati.”