September, 2020
Liburan hampir berakhir. Amy tidak sekali pun terlihat keluar rumah sendirian. Ia hanya akan keluar jika M atau Zelda mendampinginya. Sepanjang liburan ini, Zelda tinggal bersamanya. Cewek Zack itu terlihat sangat menyukai Ykaten.
"Aku mau pergi dengan Zack," kata Zelda pagi-pagi buta.
"Kemana?" tanya Amy dengan mata masih mengantuk. Ia masih berbaring di kamarnya.
"Ke pantai."
Amy langsung melompat duduk dengan mata terbuka sempurna.
"Tidak! Jangan ganggu kami. Tidak kali ini." Zelda menutup mulut Amy sebelum sahabatnya itu mengucapkan sesuatu.
"Jangan begitu. Aku tidak akan mengganggu kalian, kok." Amy menyingkirkan tangan Zelda dari mulutnya.
Zelda menggeleng mantap. Sepanjang liburan Amy memang terus mengekorinya, bahkan ketika ia kencan dengan Zack. Hal itu membuatnya dan Zack kesal. Pernah sekali ia dan Zack menjebak Amy untuk bertemu dengan Jimmi. Namun, begitu pulang Amy malah menghabiskan sekotak tisu. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi hari itu tetapi Zelda dan Zack jadi merasa bersalah dan akhirnya membiarkan Amy mengganggu kencan mereka. "Sekali ini aja, Am," mohon Zelda dengan dua tangan di depan dada. "Oke?"
"Baiklah," ujar Amy. Ia kembali tidur dan membiarkan Zelda pergi bersama kekasihnya. "Selamat bersenang-senang."
Sepuluh menit berselang, M mengetuk pintu kamar. Mengetahui Zelda pergi, M masuk ke dalam kamar dan menggoyang-goyang tubuh Amy yang tenggelam kembali ke dalam mimpi. "Am, bangun! Ini sudah pagi."
"Aku tahu," rengek Amy dari balik bantal.
"Kamu gak mau keliling Ykaten? Ini hari terakhir kita liburan, lho." M menarik bantal yang Amy pakai untuk menutup kepalanya.
"Duluan saja," ujar Amy. Kemudian ia berbalik telentang. "Nanti aku nyusul."
"Oke."
Amy mengintip kepergian kakaknya diam-diam. Ia bahkan bangun untuk melihat M keluar rumah dari balik tirai. M berlari kecil dengan setelan training abu tua dan sepatu hitam. Amy ingin menyusul M, menghirup udara Ykaten yang sudah lama tak ia dapati. Ia rindu aspal yang melapisi jalanannya, ia rindu langit pagi keemasannya, ia juga merindukan tempat-tempat yang dulu pernah menjadi saksi kenangan-kenangan manis masa jecilnya. Tetapi ia terlalu takut untuk bertemu Jimmi.
Amy sungguh tidak mau berhadapan dengan manusia satu itu. Untungnya, Mr. atau Mrs. Larry, bahkan ayahnya tak pernah memintanya berkunjung ke kediaman Larry sehingga ia bisa bernapas lega. Amy bahkan meminta Zack untuk menyingkirkan sahabat kakaknya itu jika mereka berpapasan.
Banyak hal yang memenuhi pikiran Amy, terutama tentang kuliahnya. Namun, sekali pikiran itu kosong, Jimmi selalu bisa masuk dengan mudah ke dalam otaknya. Seperti hantu. Padahal, Amy sudah pasrah dan beranggapan kalau cowok itu bukan jodohnya. Apalagi sekarang Jimmi bersama cewek lain. Amy ingin melupakan Jimmi. Hanya saja ia belum berhasil.
Hari mulai terang. Amy menghitung kemungkinannya bertemu Jimmi di jalan. Akan kecil hasilnya jika ia melalui jalan yang lain, tetapi jalanan itu sudah pasti memiliki kenangan yang minim. Tetapi ada kemungkinan lain, yaitu jika waktu mereka berselisih. Kemungkinan mereka bertemu akan nyaris nol.
Setelah jam menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit, Amy memutuskan untuk keluar. Ia mengenakan snapback merah-hitam dan masker untuk berjaga-jaga jika bertemu Jimmi. Kemungkinannya untuk kabur lebih cepat akan bertambah dengan masker itu.
Jalanan sudah mulai ramai. Matahari mulai terlihat terang, bulatannya sudah tak dapat tertangkap mata. Ada rasa bahagia memandangi setiap pohon tua yang ia lewati. Juga rumah-rumah yang sebagian besar masih sama seperti dulu. Ketika melewati sebuah rumah berpagar putih tinggi, Amy menaikkan kecepatan larinya. Ia bahkan tidak berani menoleh ke rumah itu. Untungnya tidak ada seorang pun yang ia temui di sana.
Putaran yang menyenangkan sekali hari ini. Amy tidak menemukan M. Kakaknya itu pasti sudah pulang dan tengah sarapan seperti kebiasannya dulu. Sedikit sesal menghinggapi dada Amy. Andai saja liburan masih beberapa hari lagi. Ia harus puas menikmati udara pagi hari itu.
Akan tetapi, kenyataannya ada yang mengganjal di hati Amy. Ada sebuah tempat yang biasa ia kunjungi dulu. Namanya tempat pelampiasan. Di sana Amy biasa berteriak sepuasnya dan melempar batu sekencangnya.
"Ayo, kesana!" ajaknya pada diri sendiri. "Sekali ini, mari tumpahkan semuanya di sana."
.
Hutan kecil di barat desa itu masih sama seperti beberapa tahun lalu. Sejuk, sedikit lembap dan asri. Di sana terdapat sungai yang mengalir berkelok dengan airnya yang jernih. Untuk ke sana, Amy harus menuruni jalan yang sedikit landai dengan semak belukar di beberapa bagian. Aliran sungai sudah terdengar dari jalanan menurun itu.
Hal pertama yang Amy lakukan saat tiba di bibir sungai adalah mengatur napas. Setelah napasnya normal, ia duduk sejenak di atas sebuah batu hitam yang permukaannya datar. Dulu, ketika SMP, ia sering mandi di sana. Bagian badan sungai dipenuhi batu besar yang berdiri kokoh seperti karang di laut. Namun, beberapa bagian membentang luas dan sering dimanfaatkan oleh anak-anak untuk bermain air.
Tak berlama-lama, Amy memungut sebuah batu kecil. Ia belum bisa berteriak karena masih merasa capek. Maka dilemparnya batu itu ke tengah sungai. Matanya mengawasi kemana arah si batu mendarat. Air di sana cukup tenang, Amy berharap agar batu itu memantul-mantul. Tetapi batu itu tenggelam.
Amy bersiap mengambil batu lain tetapi ia melihat sesuatu keluar dari tengah sungai. Tepat di tempat batunya tenggelam. "Hantu!" jerit Amy bersamaan dengan suara erangan dari arah sungai. Amy hendak kabur, tetapi kakinya tak mau bergerak. Alih-alih berlari ia malah menutup mulut, berharap makhluk apa pun itu tidak akan menyadari keberadaannya.