Januari, 2018
M hanya duduk saja sedari tadi, melihat Weni yang tampak nyata di depannya. Sesungguhnya ia memang tidak ingin berada di sana. Ia ingin segera kembali ke apartemen untuk merebahkan diri. Melihat Weni terasa sangat menyakitkan baginya. Lebih menyakitkan dari perpisahan mereka.
"Apa kabarmu?" tanya Weni setelah lima menit yang canggung di antara mereka.
M memaksakan diri tersenyum dan berkata, "Baik. Kamu sendiri?"
"Aku baik-baik saja. Lama tidak berjumpa."
M mengangguk. Ia memperhatikan sekeliling dan matanya melihat Darren yang menuju ke arahnya. M baru sempat memikirkan kata-kata Aurora bahwa Darren masih ada di dalam restoran itu.
"Hai, Marshall. Dia cewekmu?" tanya Darren ketika telah berada tepat di samping M.
"Oh, bukan. Dia temanku. Kau belum pulang? Mau gabung?" tawar M sambil menatap cowok berambut cokelat itu.
"Tidak. Terima kasih. Aku baru mau pulang." Darren tersenyum kemudian ia pamit dan pergi.
"Temanmu?"
"Ya. Kenalanku," jawab M cepat.
"Kau tadi bersama Aurora di sini?" tanya Weni ragu. Ia tahu kalau suasana masih canggung dan belum mencair.
"Kami makan bareng," kata M dengan anggukan kecil.
"M ... sebenarnya ... aku ingin meminta maaf atas apa yang terjadi dulu." Weni memainkan kuku-kukunya di bawah meja. "Aku—"
"Yang lalu biarkan saja berlalu, Wen. Aku sudah melupakannya," ucap M.
"Aku ... maksudku keluargaku akan tinggal di sini. Ayahku sudah memutuskan untuk membiarkan kami menetap di satu kota. Aku ... akan melanjutkan sekolah di sini."
M tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Haruskah ia senang? Melihat Weni secara langsung menyadarkannya bahwa perasaannya pada gadis itu telah berubah. M tahu benar jika seharusnya ia bahagia saat itu tetapi tidak. Rasanya biasa saja. "Baguslah kalau begitu," ucap M akhirnya dengan bibir melengkung. Ia tersenyum demi kesopanan. M tahu itu.
"Apakah kita bisa sering bertemu?" tanya Weni penuh harap.
"Mungkin. Bukankah sekarang kamu tinggal di Zafon juga?"
"Ah, iya. Kalau kita berdua senggang, mari saling bertemu."
M mengangguk kemudian meneguk lemon tea di hadapannya. Ia melirik jam tangan. "Sudah malam. Sebaiknya kita pulang."
Weni mengangguk setuju kemudian berdiri dan beranjak keluar restoran mengikuti M. Di depan pintu restoran, mereka berhenti. Gerimis kecil turun. Untungnya tak ada tanda-tanda hujan akan lebih deras.
Suasana malam menjadi sedikit lebih sepi karena gerimis. M hendak menawari Weni untuk mengantar gadis itu pulang tetapi ia ingat sebuah kalimat yang Aurora katakan penuh kemarahan padanya.