Maret, 2018
Dengan langkah kaki berat dan malas-malasan, Aurora bergerak menuju sebuah taman di pusat kota Zafon. Ia menarik tali tasnya yang tersampir di kedua bahu. Wajahnya yang kusut semakin dikerutnya, berharap agar orang yang menemuinya tidak akan tahan berlama-lama bicara dengannya.
"Kenapa wajahmu seperti habis di-bully?"
Aurora berbalik ke samping dan menemukan Moz tengah membawa dua cup besar es krim. Beberapa detik selanjutnya Moz mengasongkan salah satunya pada Aurora. "Es krim?" Aurora menaikkan sebelah alis. "Memang aku anak kecil?" katanya lagi sembari menyuapkan es krim vanilla yang mulai mencair.
Moz menuntun Aurora untuk duduk di sebuah bangku yang terbuat dari pahatan batu di bawah sebuah pohon yang tidak Moz ketahui namanya. Pohon ini berdaun memanjang sebesar jari tangan dan tingginya mampu melindungi sekeliling dari sengatan matahari. Moz memilih bangku itu karenanya. Juga karena pemandangan jalanan Zafon yang sibuk terlihat jelas dibalik bunga-bunga krisan dekat pagar taman.
"Ada apa?" tanya Aurora setelah setengah es krimnya habis. Sekarang, hanya tersisa es krim rasa stroberi dengan es krim vanila berupa garis-garis halus.
"Aku—tidak … kami sudah membicarakannya dengan Papa." Moz menyendok es krimnya dengan elegan, tidak mau citra ke-eksekutif-annya memudar. "Tentang pertunanganmu."
Aurora menahan sendok di mulut kemudian menatap Moz penuh tanya. Apakah kakaknya itu datang untuk memaksanya pulang? "Kau tahu aku tidak mau." Jemari Aurora bergerak gelisah pada tangkai sendok. Ia kemudian membenamkan sendoknya jauh-jauh ke dalam es krim.
"Ya, kami tahu itu. Ayah bilang kita bisa membatalkan pertunanganmu." Tidak ada kata yang keluar dari mulut Aurora yang menganga hingga Moz dengan usil menutup mulut adik perempuannya itu. "Yah, kau bebas," ucap Moz yang memindahkan es krim Aurora ke dalam gelasnya sendiri.
Semudah itu? Aurora tidak akan percaya jika semua itu tidak ada harganya. "Apa syaratnya?" Tatapan Aurora begitu mengintimidasi Moz. Tetapi pria itu malah tertawa.
"Tidak ada pertukaran atau syarat apa pun." Moz menjilat es krim terakhirnya. Kemudian ia menatap lekat-lekat wajah adiknya yang tidak menampakkan ekspresi apa pun. "Kau tidak senang?" selidik Moz.
Aurora tidak langsung menjawab. Ia menggenggam cup es krimnya erat. Sebuah daun kering kecokelatan terbang melayang tertiup angin, menari di sekitarnya. Aurora bisa dengan jelas menangkap pergerakan daun yang tertiup angin itu dan sekonyong-konyong tangan kanannya yang bebas menangkap daun itu dengan mudah. "Apakah benar segampang ini?" gumamnya. Ia melirik Moz yang menjilati sendok plastik. "Katakan yang sebenarnya, Moz. Semuanya," desak Aurora.
Moz melempar cup dan sendok es krimnya ke keranjang sampah tepat sasaran. Ia mengelus lembut puncak kepala Aurora kemudian menarik napas. "Sean dan Heath bilang mereka akan menjalankan program kehamilan bersama istri mereka."
Aurora reflek berdiri dan melihat Moz dengan tatapan tak percaya. "Yang benar? Mereka akan melakukannya?" Aurora tahu jika Papa sangat menginginkan penerus, seorang cucu yang selalu Sean dan Heath tolak. Ketiga kakaknya memang lebih suka memelihara anak anjing dari seorang bayi.
Sean, Heath dan Moz bersikeras tidak ingin memiliki anak. Mereka khawatir jika nanti keturunannya mengalami hal yang orang tuanya alami. Tidak pernah bebas memilih dan selalu diatur.
Moz menarik tangan Aurora dan membuat adiknya duduk kembali. Disentuhnya pipi Aurora pelan. "Kami ingin setidaknya salah satu dari kita merasakan kebebasan. Kau satu-satunya adik perempuan yang kami punya. Kau berhak bahagia."
"Tapi … kalian?"
"Kau yang paling muda, Ra. Yang paling berpotensi memiliki masa depan yang masih panjang. Lagipula, Sean dan Heath sudah memutuskan tidak akan mengadopsi cara Papa mendidik kita." Moz menggenggam jemari Aurora. "Bahagialah. Untuk kami, kakak-kakakmu."
"Lalu Darren?"
"Tidak usah khawatir. Dia harus berjuang dari awal untuk mendapatkanmu. Seperti … siapa itu cowok yang tinggal di gedung yang sama denganmu?" Moz mengerutkan kening sembari mengetukkan telunjuknya di dagu. "Michael …? Mischa …? Ah, Marshall. Kurasa sekarang dia dan Darren memiliki kesempatan yang sama."
"Kami tidak memiliki hubungan, Moz." Aurora memutar bola mata.
"Well, let's see then. Kita lihat nanti."
"Kau juga akan memberiku keponakan?" Aurora mengedipkan mata nakal.