Februari, 2021
"Terus … sesudah itu gimana?" tanya Amy antusias mendengar kisah Aurora.
"Ya … gitu lah. Kami balikan lagi," ucap Aurora sembari tersenyum riang.
"Ternyata begitu, ya. M ga pernah mau cerita. Aku bahkan baru tahu kalian balikan pas mau pindah ke Xenter."
"Oh, waktu itu Jimmi mau menciummu, ya?" Aurora tertawa, kemudian buru-buru menutup mulut menyadari kalau sekarang ada pasien lain di kamar rawat tersebut.
Amy melempar Aurora dengan selimutnya. "Kalian, kan, selalu datang di saat yang tepat."
"Sorry, Am. Aku tidak bermaksud mengganggu momen romantismu sama Jimmi." Aurora benar-benar merasa tidak enak sekarang. Apalagi, memang dia dan M kerap memergoki Amy dan Jimmi yang tengah berduaan. Bukan suatu kesengajaan, hanya saja semesta yang mengatur semuanya. Kecuali ketika di pinggir sungai. Aurora dan M sengaja menguntit Amy karena M sangat khawatir dengan keadaan adiknya pasca melihat Jimmi bersama Joan.
"Don't apologize. It's okay. Kami tetap punya momen romantis, kok."
"Aku harus tetap meminta maaf," kata Aurora lembut. "Oh, sebentar, ya … ada yang menelepon." Aurora melihat layar ponsel kemudian meninggalkan kamar setelah Amy mengangguk mengijinkannya menerima panggilan itu.
"Ya, Moz, ini aku. Ada apa?" Aurora berjalan di koridor rumah sakit perlahan. "Sedang di rumah sakit. Menjenguk teman …."
Aurora memelototi Jimmi yang melewatinya buru-buru dan langsung menuju kamar di mana Amy dirawat. Ia tidak benci Jimmi. Hanya terkadang ia kesal karena cowok itu adalah saingannya dalam hal berbagi waktu bersama M. Tidak jarang M lebih memilih Jimmi daripada Aurora. Jelas saja Aurora jadi jengkel.
"Eh? Ke sini? Tidak usah. Aku saja yang—" Aurora menatap layar ponsel dengan jengkel. Moz telah mematikan sambungan telepon. Kemudian ia berbalik untuk kembali pada Amy. "Tidak. Jimmi sudah menemaninya," kata pada diri sendiri kemudian ia memutar arah dan segera mencari M.
***
"Jadi, tahun depan kau lulus?"
Pertanyaan yang keluar dari pria yang duduk di hadapan M ini begitu mengintimidasi. Diam-diam M menarik napas dalam dan menahan tangannya untuk tidak gemetar sementara keringat mulai keluar dari punggung. "Harusnya begitu," jawab M kecut. "Aku sudah melaksanakan tugas akhir dan tinggal menunggu keputusan para juri."
"Apa rencanamu setelah lulus?" pria itu menyesap segelas americano kesukaannya tanpa melepas pandangan dari M, membuat pacar Aurora kesulitan bernapas.
"Aku mendapat tawaran dari Profesor Drew untuk menjadi asistennya. Tapi aku juga mendapatkan beasiswa S2." Kali ini suara M terdengar jelas. Kepercayaan dirinya meningkat.
"Mana yang akan kamu pilih?" Si pria melepas kacamata hitamnya dan memasukkannya ke dalam saku jas.