"Tidak Ibu! Dia itu masih anak-anak. Aku ga mau!"
"Dia sudah SMA sekarang. Beberapa tahun lagi dia sudah dewasa. Lagipula Amy itu anak yang baik. Ibu tahu itu."
"Aku juga tahu, Bu. Tapi bukan itu alasannya. Aku … aku sudah punya pacar dan aku mencintainya."
"Apa? Tidak bisa. Ibu tidak setuju!"
"Bu, ayolah … ini bukan abad delapan belas."
"Fohnn …!"
Jimmi menyaksikan kakaknya pergi dengan kesal sementara ibunya berusaha untuk mengejar. Jimmi mendengar seluruh pertengkaran mereka dan menjadi heran. Di jaman modern ini, dimana orang antar benua bisa berkomunikasi dengan tatap muka dan hampir tanpa jeda, ibunya malah menjodohkan kakaknya dengan Amy.
Diam-diam Jimmi tertawa dengan kekonyolan ibunya. Mrs. Larry berpendidikan dan mendidik putra-putranya dengan demokratis. Namun, ternyata masih ada sisa kekolotan dalam dirinya.
Sore itu, seperti hari yang lain, Jimmi pergi ke rumah M. Di rumah Larry ia hampir selalu kesepian. Mr. dan Mrs. Larry sering di luar rumah hingga larut sementara Fohn tinggal di kota Zafon sejak kuliah. Jimmi sering main dan menginap di rumah teman-temannya, terutama M.
Dari jauh Amy terlihat sedang menyiram bunga yang hampir layu. Jimmi tahu pasti kalau Amy pasti lupa dengan tugas yang satu itu. Gadis tomboy itu masih memakai baju karate dengan rambut dikuncir.
Tiba-tiba Jimmi teringat pertengkaran ibu dan kakaknya tadi pagi. Ia memperhatikan wajah Amy yang kusut dan tertawa.
"Sudah tidak waras?" tanya Amy yang masih menenteng teko penyiram tanaman.
Jimmi merapatkan mulut. Tetapi ia kembali tertawa. Geli membayangkan kalau Amy menjadi kakak iparnya.
"Beneran gila. Awas!" Amy menabrak tubuh Jimmi yang menghalangi jalannya.
"Yang ini belum disiram." Jimmi menunjuk sebuah pohon krisan kecil di sudut halaman yang terlihat lesu. "Kalau kerja yang benar, dong!"
Amy melotot dan mengarahkan penyiram air pada Jimmi yang sedang bertolak pinggang, membuat Jimmi langsung berlari ke dalam rumah.
***
"Kak … suruh kawanmu ini cepat pulang!" teriak Amy ketika ia tengah menonton anime bertema romantis di ruang tengah.
"Ga bisa. Dia harus menginap malam ini!" teriak M dari dapur.
Jimmi menjulurkan lidah yang langsung dijitak oleh Amy. Keduanya sibuk saling membalas perbuatan jahil sampai M datang dan membawa beberapa buku tebal.
"Sudah selesai?" tanya kakak Amy itu pada adik dan sahabatnya.
"Dia yang mulai duluan!" tuding Amy pada Jimmi.
"Apa? Kan, kau duluan yang memukulku!" protes Jimmi tak terima.
M memutar bola mata. Pertengkaran kecil seperti ini tidak jarang terjadi. Ia melangkah menuju kamar dan berteriak, "Kalau sudah selesai kutunggu di kamar, Jimm!"
"Pergi sana!" usir Amy.
"Ga," goda Jimmi. "Aku mau lihat adegan ciumannya."
"Dih, pergi sana!"
Jimmi memperhatikan wajah Amy yang memerah. Ia tahu gadis itu tidak hanya marah, tetapi juga malu. Belakangan Jimmi senang meneliti ekspresi Amy yang berbeda-beda. Kemudian ia mengaduh karena Amy menendang bahunya. Wajah Amy tertekuk dengan sorot mata menyeramkan. "Oke, aku pergi," ucap Jimmi sambil berpura-pura kesakitan.
***
"Apa?" Amy memperhatikan Jimmi yang tengah melambaikan tangan padanya di pinggir lapangan. Kemudian ia melihat sekeliling, memastikan kalau guru olahraganya belum datang dan menghampiri Jimmi.
"Tolong kirim ini buat Celine. Oke?" Jimmi mengedipkan mata dan tersenyum, membuat teman-teman Amy iri padanya.
"Kenapa ga suruh orang lain aja, sih?" omel Amy. Ia hendak melanjutkan omelannya tetapi Jimmi mengeluarkan dua batang cokelat almond dari saku. "Oke! Beres!" seru Amy dengan senyum manis.