Angin pagi tidak pernah sedingin ini di sebuah negara tropis. Daun-daun berguguran di sepanjang jalan, menghiasi trotoar Zafon yang mulai ramai dipakai orang. Mereka rata-rata memakai jaket atau kaus berlengan panjang.
Namun, bukan udara pagi itu yang membuat Weni kedinginan. Ia telah mengenakan kaus turtleneck putih yang dilapisi jaket parka dusty pink dengan celana jins panjang. Tubuh Weni jelas hangat dan nyaman. Tetapi hatinya sedikit ditaburi serpihan salju melihat pemandangan di sebuah halte.
Weni melihat M tengah membuka jaket dan memakaikannya pada Aurora. Jelas sekali tergambar keposesif-an dari wajah M. Weni tahu benar apa artinya itu. Artinya M sedang jatuh cinta. Bukan. Lebih tepatnya M kembali mencintai Aurora. Serpihan-serpihan salju di hati Weni kini membeku dan terasa menusuk-nusuk.
Ada rasa sesal yang ikut mengasah serpihan salju yang beku. Ada rasa marah yang belum muncul ke permukaan. Weni menyesal dengan perbuatannya beberapa tahun lalu karena telah memutuskan M. Ketika cinta mereka tengah mekar indah. Ketika ia pikir hubungan jarak jauh tidak bisa dipertahankan. Kemudian ia marah pada dirinya sendiri. Marah pada kakak dan temannya yang mempengaruhinya dengan kisah cinta mereka yang tidak berjalan lancar.
Kakak Weni adalah seorang wanita cantik yang telah bertunangan dan berhubungan jarak jauh selama tiga tahun. Sayangnya, tunangannya mengkhianati kakak Weni dengan menikahi wanita lain. Sahabat Weni, seorang cowok yang juga adalah sepupunya, menjalani LDR tetapi ia jatuh cinta dengan seorang gadis di kampusnya. Sepupu Weni lebih memilih gadis yang nyata dekat dengannya, yang setiap hari bisa dengan mudah ditemui.
Maka Weni tidak percaya dengan hubungan yang dipisahkan oleh jarak ratusan kilometer. Ia lebih memilih mengakhiri hubungannya dengan M ketika tahu kalau M akan kuliah di Zafon, sementara keluarganya akan pindah ke kota terpencil, dekat perbatasan di negeri itu.
Alangkah bahagianya Weni ketika mendengar kabar kalau keluarganya akan menetap di Zafon dan ia bisa menemukan M. Cowok itu masih sehangat dulu. Tetapi Weni terlalu bahagia untuk merasakan perubahan pada diri M. Ia menjadi buta hingga ia sadar kalau ada Aurora di sana. Mantan M yang juga pernah memutuskan cowok ramah itu. Mantan M yang sepengetahuannya, setelah hubungan dengan Aurora berakhir, M menjadi player. Meski M tidak pernah mengakuinya, tetapi Weni cukup jeli untuk tahu kalau M sangat menyukai gadis itu.
Rasa marah dalam diri Weni merambat keluar. Mencairkan salju beku yang menusuk hatinya. Melelehkan air mata yang sedari tadi ia tahan. Weni berbalik, tidak tahan melihat M yang tengah bercanda tawa dengan Aurora. Kemudian ia menghapus air mata mendapati Jimmi menatapnya kasihan.
"Mereka jadian?" tanya Weni dengan suara rendah.
Jimmi mengangguk. "Aku … tidak bisa berbuat apa-apa, Wen. Sorry," kata Jimmi hati-hati.
"It's okay. I'm fine." Weni melirik ke arah M dan Aurora yang kini sedang menaiki bus. "Bagaimana hubunganmu dengan Amy?" Weni mengalihkan topik pembicaraan.
"Lancar. Kuharap akan selalu begitu."
Weni tersenyum. "Amy gadis kuat. Dia pasti bisa melewati ini denganmu. Yah…." Weni menarik napas. "Seandainya aku sekuat dia. Mungkin yang sekarang bersama M adalah aku."
Jimmi hanya mengangguk kaku.
"Lawanku berat, kan? Aurora adalah lawan yang seharusnya tidak muncul di saat seperti ini." Weni tertawa kecil.
"Yah … benar. Marsh sangat terpukul dengan keputusanmu. Dia menunggu email darimu setiap hari. Tapi … siapa yang tahu Aurora hadir begitu saja dan…."
"Mereka pasangan yang serasi," ucap Aurora. Ia mencegah Jimmi melanjutkan kata-katanya. "Seperti kau dan Amy."