Di dalam ruangan kepala sekolah, suasana begitu mencekam. Jika tadi geng Natasha hanya bersikap sebodo amat, tidak begitu jika berada di ruangan Bu Nana. Ketujuh anak itu kini berdiri di depan meja kepala sekolah tersebut sambil menunduk ketakutan. Siapa yang berani berkutik jika sudah memasuki ruangan wanita berusia 40-an yang memiliki wajah khas timur tengah tersebut.
Bu Nana tak sendirian. Seperti biasa jika mengurusi murid bermasalah, ia juga ditemani oleh wakil kepala sekolah yang juga merangkap sebagai guru bimbingan konseling.
“Habisnya tadi kita kesel sama anak itu, Bu.” saut Natasha. “masa udah jelas –jelas terpampang tulisan auditorium, dia nggak bisa lihat!”
Sahabatnya, Ranty menimpalinya.
“Betul, Bu. Kebodohan dia itu nyusahin orang.”
Sekarang geng Natasha sudah tak begitu tegang.
“Lagian kalau pun dia ke lantai 3, kan ada keterangan kalau auditorium di lantai 1. Pasti dia bakal turun lagi.” celetuk Lala sambil memutar – mutar rambut panjang ikalnya dan sesekali membetulkan rok seragam abu – abunya.
Bu Nana tentu saja geram.
“Kondisi sekolah hari ini tuh rame banget. Selain tahun ajaran baru, kita juga akan kedatangan guru baru.” tegas Bu Nana. “saya saja juga sampai nggak merhatiin sign segitu banyak karena tertutup orang lalu lalang. Saya akan melakukan hal yang sama jika jadi anak baru itu. Terus apa saya bodoh?”
Mereka semua langsung terdiam.
“Tetap nggak ada alasan buat kalian untuk mengerjai anak kelas 10 tadi.” lanjut Bu Nana. “apalagi sampai ribut di sekolah di lihat banyak orang!”
“Iya, Bu.” jawab geng Natasha kompak.
Bu Nana kemudian menoleh kepada geng Adhis.
“Kalian bertiga juga!” ketusnya. “sama saja kalian memancing keributan.”
Geng Adhis hanya terdiam menunduk.
“Ini bukan pertama kali kalian berantem. Sebelumnya juga gara-gara rebutan Yunan dan teman – temannya kan?”
“Saya juga udah putus sama Yunan kok, Bu.” celetuk Adhis masih dengan wajah menunduk. “lagian kebanyakan saya dan Natasha hanya salah paham aja.”
“Biasanya memang Natasha yang duluan cari masalah, Bu.” ceplos Coco. “jelas-jelas Yunan sukanya sama Adhis, eh dia yang sewot terus nyalahin Adhis.”
“Terus waktu mereka baru putus, Nat juga nyalahin Adhis gara – gara Yunan masih ngarep balikan.” celetuk Yasmin sambil membetulkan kerah putihnya.
“Udah…udah!” sergah bu Nana. “kalian mau ada masalah percintaan apa saya nggak peduli! Jangan berantem di sekolah.” ketusnya.
Bu Cinta yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara.
“Lagian kalian ini masih muda harusnya fokus berkarya, bukannya ributin cowok.”
“Udah kok, Bu.” saut Natasha enteng. “kita kan ada yang bikin podcast, konten youtube, dance dan masih banyak lagi.”
“Apalagi kita bertiga, Bu.” Adhis menunjuk teman satu geng nya. “Jauh lebih banyak prestasinya.”
Merasa tersindir geng Natasha langsung memelototi mereka bertiga.
“Udah – udah!” tegas Cinta guru tinggi semampai, berkulit putih dan berambut pirang tersebut. “perjalanan kalian tuh masih panjang. Kalau kalian cari banyak pengalaman dan mengenal banyak orang, nantinya akan menemukan cowok yang sepadan.”
“Terus kenapa ibu belum nikah?” ceplos Aurora kepada Cinta.
Natasha, Aurora dan geng nya langsung menahan tawa. Bu Nana memelototi mereka.
“Kalau saya sih lebih baik nggak nikah daripada nikah sama orang yang salah. Lagipula punya pasangan itu bukan pencapaian.” saut Cinta santai.
Para siswi yang tadi menertawakan langsung terdiam.
“Kalau kalian hanya gara-gara Yunan dan geng nya aja sampai berantem, apalagi nanti lihat guru baru kita!” celetuk Bu Nana.
Ketujuh anak yang tadinya menunduk langsung membelalakan matanya.